tag:theconversation.com,2011:/id/isu-anak-muda/articles Isu Anak Muda – The Conversation 2025-10-30T10:01:09Z tag:theconversation.com,2011:article/268390 2025-10-30T10:01:09Z 2025-10-30T10:01:09Z Stigma membuat perusahaan enggan merekrut orang dengan ‘Down syndrome’, studi saya menawarkan solusinya <blockquote> <p>● Bulan kesadaran <em>Down syndrome</em> Oktober ini patut menjadi sebagai momen refleksi tentang partisipasi kerja yang amat minim.</p> <p>● Partisipasi teman-teman <em>Down syndrome</em> nyatanya paling sedikit di antara disabilitas lainnya.</p> <p>● Perlu perhatian dan partisipasi semua pihak untuk bisa mengubah stigma di dunia pekerjaan.</p> </blockquote> <hr> <p>Bulan Oktober adalah <a href="https://ndss.org/down-syndrome-awareness-month">bulan Kesadaran sindrom Down (<em>Down syndrome</em>)</a> yang khusus didedikasikan untuk meningkatkan kesadaran terhadap hak-hak penyandang <em>Down syndrome</em> di seluruh dunia termasuk Indonesia. </p> <p>Ini khususnya soal angka partisipasi kerja orang <em>Down syndrome</em> di banyak negara menjadi yang <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/09638288.2019.1570356">terendah</a> dibandingkan teman-teman disabilitas lainnya. </p> <p>Kondisi tersebut disebabkan oleh <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/jar.12375">tantangan personal dan berbagai hambatan sistemik</a> yang dihadapi orang <em>Down syndrome</em>.</p> <p>Akibatnya, teman-teman dengan <em>Down syndrome</em> dilabeli banyak stigma negatif untuk bisa diterima di dunia profesional. Padahal, hal tersebut tidak sepenuhnya benar.</p> <figure> <iframe width="440" height="260" src="https://www.youtube.com/embed/BCcvLG7GCG8?wmode=transparent&amp;start=0" frameborder="0" allowfullscreen=""></iframe> </figure> <p>Bahkan, kondisi di Eropa hanya sedikit lebih baik. Dalam indeks <a href="https://www.inclusion.eu/inclusion-indicators-2024-key-findings">Europe Inclusion Indicators 2024</a> benua yang terkenal sangat mengedepankan inklusivitas hanya mendapat skor 4 dari 10 terhadap pemerataan pekerjaan bagi penyandang disabilitas intelektual, termasuk <em>Down syndrome</em>.</p> <p>Kondisi yang terjadi lebih memprihatinkan di Tanah Air. Sulit untuk mencari akses data tentang berapa jumlah penyandang disabilitas, khususnya <em>Down syndrome</em>. </p> <p>Tanpa data yang akurat, akan sulit bagi pemerintah dan organisasi terkait untuk merancang kebijakan dan program yang relevan.</p> <hr> <p> <em> <strong> Baca juga: <a href="https://theconversation.com/menyembunyikan-penyandang-disabilitas-tidak-selalu-diskriminatif-banyak-keluarga-yang-hanya-ingin-melindungi-192952">"Menyembunyikan" penyandang disabilitas tidak selalu diskriminatif, banyak keluarga yang hanya ingin melindungi</a> </strong> </em> </p> <hr> <p>Namun, riset yang saya kerjakan bersama Christine Soo dan <a href="https://theconversation.com/profiles/aleksandra-luksyte-95180">Aleksandra Luksyte</a> dari The University of Western Australia Business School (dalam proses <em>review</em>) menunjukkan benang kusut stigma negatif tersebut bisa diurai sehingga membuka peluang lebih besar bagi pekerja dengan <em>Down syndrome</em>. </p> <p>Caranya dengan kolaborasi antar pihak untuk mengatasi hambatan masuknya orang dengan <em>Down syndrome</em>.</p> <h2>Tantangan penyandang <em>Down syndrome</em></h2> <p>Pada umumnya, penyandang <a href="https://www.aaidd.org/docs/default-source/sis-docs/aaiddfaqonid_template.pdf?sfvrsn=9a63a874_2"><em>Down syndrome</em></a> menghadapi tantangan personal aspek kognitif dan keterampilan sosial.</p> <p>Keterbatasan ini memengaruhi kemampuan penalaran, pemecahan masalah, dan pemahaman konsep abstrak. Adapun tantangan keterampilan sosial dapat memengaruhi interaksi interpersonal dan adaptasi di lingkungan baru.</p> <p><div data-react-class="TiktokEmbed" data-react-props="{&quot;url&quot;:&quot;https://www.tiktok.com/@jakarta_foodie/video/7497550392218209591&quot;}"></div></p> <p>Akibatnya muncul stigma masyarakat terhadap rendahnya kemampuan kerja penyandang <em>Down syndrome</em>. Ini menjadi tembok tebal bagi calon pekerja dengan <em>Down syndrome</em>. </p> <p>Padahal, bekerja merupakan hak setiap warga negara untuk meningkatkan kemandirian dan kualitas hidup, memfasilitasi pengembangan diri, meningkatkan kepercayaan diri, dan membangun keterampilan sosial.</p> <p>Selain stigma, minimnya program transisi sekolah ke sektor kerja formal atau pelatihan vokasi turut berkontribusi pada terbatasnya kesempatan kerja bagi penyandang <em>Down syndrome</em>. </p> <p>Meskipun banyak tantangan, setiap orang dengan <em>Down syndrome</em> tetap memiliki kelebihan unik dan potensi yang mendukung kemampuan bekerja. </p> <hr> <p> <em> <strong> Baca juga: <a href="https://theconversation.com/jalan-panjang-menuju-pendidikan-inklusif-bagi-penyandang-disabilitas-di-universitas-128316">Jalan panjang menuju pendidikan inklusif bagi penyandang disabilitas di universitas</a> </strong> </em> </p> <hr> <p>Banyak di antara mereka menunjukkan <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/22495411/">karakteristik positif</a>, seperti loyalitas, perhatian terhadap detail, serta mampu melakukan rutinitas dan pekerjaan terstruktur.</p> <h2>Edukasi untuk pemberi pekerjaan</h2> <p>Keenganan pemberi kerja merekrut orang dengan <em>Down syndrome</em> sebenarnya lebih kepada kurangnya informasi dan edukasi.</p> <p>Banyak <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1002/jid.3659">pemberi kerja</a> cenderung kurang memiliki pengetahuan tentang kemampuan, kebutuhan, dan potensi kontribusi <em>Down syndrome</em>.</p> <p>Kurangnya informasi ini seringnya menimbulkan miskonsepsi tentang kapasitas, produktivitas. Mereka juga kerap termakan anggapan yang salah soal besarnya biaya akomodasi dalam mempekerjakan tenaga kerja dengan <em>Down syndrome</em>. </p> <p>Untuk mengatasi hambatan informasi, pemberi kerja dapat secara proaktif berkolaborasi langsung dengan pekerja <em>Down syndrome</em>, keluarga, atau komunitas. Tujuannya untuk mendapatkan informasi yang tepat dan meluruskan miskonsepsi tentang bagaimana bekerja bersama para pekerja <em>Down syndrome</em>.</p> <p><a href="https://www.detik.com/edu/edutainment/d-7971456/tren-kafe-disabilitas-gejala-penerimaan-yang-memberdayakan">Pemberi kerja</a> berperan penting dalam kolaborasi ini untuk menyediakan penempatan kerja dan menciptakan lingkungan yang fleksibel dan inklusif. </p> <p>Sementara manajer menjadi fasilitator langsung dalam proses modifikasi pekerjaan di tingkat operasional bagi penyandang <em>Down syndrome</em>. </p> <hr> <p> <em> <strong> Baca juga: <a href="https://theconversation.com/pengangguran-muda-indonesia-sebanyak-17-3-penciptaan-lapangan-kerja-makin-bermasalah-267463">Pengangguran muda Indonesia sebanyak 17,3%: Penciptaan lapangan kerja makin bermasalah?</a> </strong> </em> </p> <hr> <p>Bagi rekan-rekan kerja, mereka perlu didorong agar memberikan dukungan sosial dan memuluskan integrasi penyandang <em>Down syndrome</em> ke dalam tim.</p> <h2>Peran keluarga dan komunitas</h2> <p>Peran keluarga dan komunitas juga cukup krusial untuk membenahi situasi ini. Contohnya dengan melakukan advokasi langsung kepada perusahaan dan terlibat dalam proses pencarian kerja. </p> <p>Sayangnya, tidak semua keluarga memiliki sumber daya, waktu, pengetahuan, dan akses untuk melakukan hal tersebut. </p> <p>Dalam hal ini, <a href="https://www.bbc.com/indonesia/majalah-56471185">komunitas atau lembaga pendukung</a> disabilitas dapat mengisi kekosongan ini dengan menjembatani proses advokasi ketenagakerjaan orang dengan <em>Down syndrome</em>. </p> <p>Komunitas juga dapat membantu mengidentifikasi keterampilan dan menjodohkan individu dengan posisi yang sesuai kebutuhan calon pemberi kerja. </p> <hr> <p> <em> <strong> Baca juga: <a href="https://theconversation.com/menakar-efektivitas-penghapusan-syarat-umur-bagi-pekerja-perempuan-menikah-261757">Menakar efektivitas penghapusan syarat umur bagi pekerja perempuan menikah</a> </strong> </em> </p> <hr> <p>Transisi pada lingkungan kerja baru bisa menjadi tantangan bagi setiap orang, termasuk penyandang <em>Down syndrome</em>. </p> <p>Karena alasan biaya operasional, komunitas dan orang tua sering kali menjadi <em>buddy</em> pengganti bagi orang dengan <em>Down syndrome</em> di tempat kerja selama masa transisi. </p> <p>Dukungan ini cukup efektif untuk mempelajari keterampilan baru dan meningkatkan kemampuan kerja.</p> <p>Ketika penyandang <em>Down syndrome</em> bekerja, hal tersebut juga berdampak positif bagi keluarga mereka, yaitu mengurangi ketergantungan pada dukungan keluarga baik secara keuangan dan kebutuhan perawatan harian.</p> <p>Dalam jangka panjang, keberlanjutan hal tersebut memberikan harapan dan optimisme bagi keluarga tentang masa depan anggota keluarga dengan <em>Down syndrome</em> yang lebih baik.</p> <h2>Butuh kolaborasi banyak pihak</h2> <p>Riset saya (dalam proses <em>review</em>) menawarkan konsep <em>multistakeholder co-crafting</em> sebagai solusi bersama untuk mengatasi tantangan dan hambatan pekerjaan yang dihadapi orang dengan <em>Down syndrome</em>. </p> <p>Dalam konsep ini, pihak terkait (<em>multistakeholders</em>) seperti pemberi kerja (termasuk divisi sumber daya manusia dan manajer), keluarga, komunitas untuk duduk bersama untuk memodifikasi proses kerja (<em>co-crafting</em>) yang mengakomodasi orang dengan <em>Down syndrome</em>. Proses ini tetap menempatkan pekerja dengan <em>Down syndrome</em> sebagai aktor sentral.</p> <p>Pihak-pihak terkait dalam <em>co-crafting</em> dapat merancang penyederhanaan proses kerja dengan instruksi singkat dan jelas. Tujuannya mempermudah orang dengan <em>Down syndrome</em> memahami tugas. Modifikasi turut mencakup pelatihan melalui pengulangan membantu mereka menginternalisasi proses kerja.</p> <p>Salah satu wawancara saya menemukan kehadiran pendamping kerja (<em>buddy</em>) turut memudahkan orang dengan <em>Down syndrome</em> beradaptasi dengan lingkungan kerja, mempelajari tugas, dan berinteraksi dengan para koleganya. Aspek ini layak menjadi salah satu hal yang dirancang dalam <em>co-crafting</em>.</p> <hr> <p> <em> <strong> Baca juga: <a href="https://theconversation.com/edaran-menteri-takkan-jamin-pekerja-30-tahun-dapat-kerja-258589">Edaran menteri takkan jamin pekerja 30 tahun+ dapat kerja</a> </strong> </em> </p> <hr> <p>Kolaborasi ini memberi banyak manfaat yang efektif membantu mempertahankan pekerjaan dan mengembangkan diri, mengurangi ketergantungan pada keluarga, serta meningkatkan keberagaman talenta berpotensial di tempat kerja.</p> <p>Jika diterapkan secara luas, pendekatan ini dapat menciptakan lingkungan inklusif untuk memastikan setiap individu memiliki kesempatan yang setara untuk berpartisipasi dan berkontribusi nyata dalam hidup bermasyarakat.</p> <hr> <iframe src="https://tally.so/embed/3xe56v?alignLeft=1&amp;hideTitle=1&amp;transparentBackground=1&amp;dynamicHeight=1" width="100%" height="321" frameborder="0" marginheight="0" marginwidth="0" title="Survey Form"> </iframe><img src="https://counter.theconversation.com/content/268390/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" /> <p class="fine-print"><em><span>Anis Wahyu Intan Maris merupakan penggagas dan pengelola Down Syndrome Indonesia (@ds_indonesia), platform edukasi berbasis komunitas yang berfokus melakukan edukasi, advokasi, dan riset seputar Down syndrome dan disabilitas di Indonesia.</span></em></p> Studi membuktikan penyandang Down syndrome cukup loyal, perhatian terhadap detail, dan mampu bekerja terstruktur. Anis Wahyu Intan Maris, PhD Candidate, The University of Western Australia Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives. tag:theconversation.com,2011:article/267443 2025-10-30T02:59:48Z 2025-10-30T02:59:48Z Demam Roblox di kalangan anak-anak: Bagaimana orang tua bisa membuatnya lebih aman? <blockquote> <p>● Sistem Roblox yang terbuka membuat pemainnya, terutama anak-anak, rentan terhadap konten dan interaksi tidak aman.</p> <p>● Peran orang tua sangat penting dalam menjaga keamanan digital anak melalui kecakapan digital dan bermain bersama.</p> <p>● Meski punya potensi edukatif, tiap gim dalam Roblox menawarkan pengalaman dan risiko yang berbeda.</p> </blockquote> <hr> <p>Roblox jadi salah satu gim terpopuler sepanjang masa dengan jumlah <a href="https://d18rn0p25nwr6d.cloudfront.net/CIK-0001315098/78cac37a-09eb-4f50-a4be-8249a9a8b731.pdf">pemain lebih dari 100 juta per hari</a>. </p> <p>Di Indonesia, Roblox tidak kalah populer. Jumlah pemain aktif hariannya mencapai <a href="https://rri.co.id/hiburan/1867943/tren-pemain-game-roblox-di-indonesia">7,2 juta per Agustus 2025</a>. </p> <p>Roblox populer karena gratis dan menekankan interaksi sesama pemainnya. Karena <a href="https://playgama.com/blog/game-faqs/can-you-play-roblox-online-for-free/#whats-included-in-the-free-experience">mudah dimainkan</a>, tidak heran <a href="https://d18rn0p25nwr6d.cloudfront.net/CIK-0001315098/78cac37a-09eb-4f50-a4be-8249a9a8b731.pdf">40% penggunanya berusia di bawah 13 tahun</a>. </p> <p>Di dunia Roblox, kita bisa melakukan apa saja dan berinteraksi dengan siapa saja. Hal ini memungkinkan tertampungnya banyak variasi konten karena pemain bisa membuat dan memasukkan berjuta “<a href="https://roblox.fandom.com/wiki/Experience"><em>experience</em></a>” kreasi pengguna.</p> <p>Sistem Roblox yang sangat terbuka ini memperbesar peluang bagi anak pengguna Roblox untuk mengakses “<em>experience</em>” yang mungkin berbahaya bagi mereka. </p> <p>Banyak “<em>experience</em>” nyatanya berbahaya bagi anak-anak. Contohnya pengalaman yang memuat <a href="https://www.kompas.tv/nasional/610076/pemerintah-evaluasi-roblox-muncul-sorotan-soal-kekerasan-hingga-judi-di-gim-anak-anak">ujaran kebencian</a> atau fitur <em>chat</em> yang memungkinkan para pengguna berinteraksi dengan <a href="https://digitalchild.org.au/research/publications/reports/roblox-a-rapid-analysis/">predator seksual</a>. </p> <p>Yang tidak kalah penting untuk diwaspadai adalah adanya “<em>experience</em>” yang mengarahkan pada transaksi mikro seperti <a href="https://tvtropes.org/pmwiki/pmwiki.php/MediaNotes/Shovelware">‘shovelware’</a>—istilah untuk perangkat lunak berkualitas rendah yang dirancang hanya untuk menghasilkan uang. </p> <p>Roblox mengklaim <a href="https://corp.roblox.com/newsroom/2024/11/major-updates-to-our-safety-systems-and-parental-controls">platform mereka adalah tempat bermain anak yang aman melalui sistem verifikasi umur dan pembatasan beberapa fitur</a>. </p> <p>Tetap saja gim ini masih berpotensi tidak aman. Karena itu, orang tua perlu berperan sebagai agen utama dalam menjaga keamanan digital anak—termasuk saat bermain Roblox.</p> <h2>Membuat Roblox lebih aman untuk anak</h2> <p>Meskipun Roblox sudah menetapkan <a href="https://corp.roblox.com/newsroom/2024/11/major-updates-to-our-safety-systems-and-parental-controls">standar keamanan untuk pemain di bawah 13 tahun</a>, literasi digital orang tua tetap jadi pengaman paling efektif untuk membantu memahami dan menilai risiko yang dihadapi anak. </p> <p>Orang tua dengan tingkat kecakapan digital yang tinggi akan lebih <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/01292986.2022.2026992">percaya diri</a> dalam membantu anak menavigasi dunia digital, termasuk dalam bermain gim.</p> <hr> <p> <em> <strong> Baca juga: <a href="https://theconversation.com/mau-anak-melek-digital-orang-tua-harus-melek-lebih-dulu-259296">Mau anak melek digital? Orang tua harus melek lebih dulu</a> </strong> </em> </p> <hr> <p><strong>1. Memiliki dan mewariskan kecakapan digital</strong></p> <p>Setidaknya ada dua dimensi dalam <a href="https://publications.jrc.ec.europa.eu/repository/handle/JRC128415">kompetensi kecakapan digital</a> yang penting dalam konteks Roblox ini.</p> <p><em>Pertama</em>, orang tua perlu membimbing identitas <em>online</em> anak dengan membantu mereka ketika membuat akun di Roblox tanpa mengorbankan keamanan dan privasi. Ini termasuk memilih fitur yang boleh digunakan anak.</p> <p><em>Kedua</em>, orang tua perlu mawas diri terhadap keamanan dan akses digital. Misalnya apakah anak bermain menggunakan gawai orang tua atau gawai mereka sendiri, dan apakah gawai itu terhubung dengan <em>e-wallet</em> atau metode pembayaran lain.</p> <p>Penting bagi orang tua untuk berdiskusi dengan anak terkait hal-hal yang aman dan tidak aman di Roblox. Orang tua perlu menjelaskan alasannya dengan bahasa yang mudah dipahami anak. </p> <p>Misalnya, orang tua menjelaskan tata cara dan risiko berbicara dengan orang asing di kolom <em>chat</em>. Hal ini termasuk menjelaskan kata-kata yang tidak pantas yang mungkin tidak sengaja mereka lihat di dalam gim. </p> <p>Agar anak tidak merasa diawasi, komunikasi bisa dilakukan dengan diskusi sederhana dan santai. Tujuannya agar anak pelan-pelan bisa menerima kegelisahan orang tua sekaligus belajar melindungi diri mereka sendiri.</p> <p><div data-react-class="InstagramEmbed" data-react-props="{&quot;url&quot;:&quot;https://www.instagram.com/reel/DL8sTxmMU2i&quot;,&quot;accessToken&quot;:&quot;127105130696839|b4b75090c9688d81dfd245afe6052f20&quot;}"></div></p> <p><strong>2. Bermain bersama</strong></p> <p>Strategi lain yang bisa digunakan adalah <a href="https://oda.oslomet.no/oda-xmlui/bitstream/handle/11250/3163985/12.pdf?sequence=2&amp;isAllowed=y"><em>co-play</em></a> atau bermain bersama.</p> <p><em>Co-play</em> memberi kesempatan bagi orang tua untuk memahami secara langsung pengalaman anak bermain Roblox. Dengan demikian, orang tua juga dapat lebih memahami konten gim, interaksi anak dengan gim itu, dan pengalaman sosial yang anak dapatkan.</p> <p>Dengan mendapatkan pengalaman yang sama dengan anak, <em>co-play</em> mendorong terbangunnya diskusi antara orang tua dan anak tentang potensi risiko dalam gim dan cara mengatasinya.</p> <p>Jika memungkinkan, ada baiknya orang tua lebih memahami Roblox daripada sang anak. Dengan pemahaman yang lebih tinggi, orang tua bisa meredam pemaparan konten atau mencegah anak masuk ke dalam komunitas yang berbahaya bagi anak.</p> <h2>Benarkah Roblox punya potensi edukasi?</h2> <p>Risiko gim Roblox untuk anak-anak mengundang beragam respons di banyak negara, termasuk <a href="https://www.kompas.com/tren/read/2025/09/11/211500265/sempat-terancam-diblokir-roblox-akan-ikuti-regulasi-di-indonesia?page=1">Indonesia</a>. Roblox bahkan <a href="https://www.ainvest.com/news/roblox-banned-countries-understanding-reasons-efforts-strengthen-safety-measures-2508/">dilarang di beberapa negara</a> karena dianggap tidak aman.</p> <p>Salah satu topik yang menjadi perdebatan adalah <a href="https://kemenag.go.id/opini/roblox-dan-edukasi-digital-SJ3cI">unsur edukasi dari Roblox</a>. <a href="https://journals.sagepub.com/doi/epub/10.1177/1745691619863807">Tergantung pada motivasi bermain dan tindakan orang lain</a>, permainan sosial memang dapat memfasilitasi komunikasi dan kerja sama.</p> <p>Gim video juga dapat meningkatkan kemampuan kognitif, seperti <a href="https://doi.org/10.1016/j.procs.2020.12.027">persepsi dan pembuatan keputusan</a>, termasuk kemampuan membaca. <a href="https://link.springer.com/article/10.1007/s41465-021-00220-9">Rasa senang yang didapat dari bermain gim video</a> ternyata dapat memperkuat dampak positif tersebut.</p> <p>Permainan yang dirancang hanya untuk hiburan juga dapat bersifat edukatif. <a href="https://readingeggs.com.au/">Reading Eggs</a> yang cukup populer di Australia, misalnya, menggunakan gim video untuk memfasilitasi pembelajaran. The Singapore Asian Civilisations Museum juga membuat <a href="https://www.nhb.gov.sg/acm/whats-on/exhibitions/lets-play-2025">“ACMverse”</a> di platform Roblox sebagai sebuah pameran khusus, di mana anak-anak bisa bermain secara langsung di sana dengan aman. Penelitian juga sudah menyatakan bahwa <a href="https://www.mdpi.com/2227-7102/13/3/296">Roblox memiliki potensi untuk digunakan dalam edukasi.</a></p> <p>Namun, Roblox memiliki banyak <em>server</em> atau gim mini. Konten dan pengalaman bermain yang diberikan oleh masing-masing gim bisa sangat berbeda. Alhasil, tidak mudah untuk memperkirakan paparan terhadap anak-anak jika mereka bermain tanpa akses yang diregulasi.</p> <p><div data-react-class="InstagramEmbed" data-react-props="{&quot;url&quot;:&quot;https://www.instagram.com/reel/DNCluEBAdE2&quot;,&quot;accessToken&quot;:&quot;127105130696839|b4b75090c9688d81dfd245afe6052f20&quot;}"></div></p> <p>Roblox sebagai platform gim mengklaim akan melakukan yang terbaik untuk melindungi anak di lingkungan gim mereka. Untuk konteks di Indonesia, ini termasuk menyatakan <a href="https://event.cloudcomputing.id/berita/roblox-siap-sesuaikan-regulasi-ri">kesiapan untuk bekerja sama dengan Indonesia Game Rating System (IGRS)</a> dan meninjau ulang klasifikasi game yang saat ini masih menggunakan <a href="https://www.esrb.org/blog/what-parents-need-to-know-about-roblox-2/#:%7E:text=What%20is%20Roblox?,Purchases%20(Includes%20Random%20Items).">rating T (<em>teen</em>) dari <em>entertainment software rating board</em> (ESRB) untuk remaja.</a></p> <p>Namun, kontrol keamanan untuk pengalaman bermain anak sebaiknya tetap berada di orang tua.</p> <hr> <iframe src="https://tally.so/embed/wbB8V1?alignLeft=1&amp;hideTitle=1&amp;transparentBackground=1&amp;dynamicHeight=1" width="100%" height="321" frameborder="0" marginheight="0" marginwidth="0" title="Survey Form"> </iframe><img src="https://counter.theconversation.com/content/267443/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" /> <p class="fine-print"><em><span>Birgitta Bestari Puspita menerima dana untuk studi doktoral dari Australian Research Council - Centre of Excellence for the Digital Child Scholarship dan Higher Degree by Research Scholarship (ECUHDRS).</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Sian Tomkinson adalah peneliti di ARC Centre of Excellence for the Digital Child (Edith Cowan University)</span></em></p> Meningkatkan kecakapan digital orang tua dan bermain bersama adalah salah satu cara untuk membuat Roblox menjadi platform bermain yang lebih aman bagi anak. Birgitta Bestari Puspita, PhD student, Edith Cowan University Sian Tomkinson, Media and Communication Scholar, Edith Cowan University Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives. tag:theconversation.com,2011:article/268120 2025-10-28T00:20:33Z 2025-10-28T00:20:33Z Australia jadi destinasi favorit #KaburAjaDulu: Pemerintah perlu kelola risikonya <blockquote> <p>● Tren #KaburAjaDulu ke Australia masih tinggi sejak viral di awal 2025.</p> <p>● Kerja ringan, upah dolar, dan bisa melancong menikmati panorama indah Australia jadi motivasi utama.</p> <p>● Risiko penipuan mengintai para pemegang ‘working and holiday visa’ yang minim koneksi dan informasi.</p> </blockquote> <hr> <p>Siapa sangka, tren #KaburAjaDulu yang <a href="https://www.tempo.co/digital/viral-tagar-indonesia-gelap-dan-kabur-aja-dulu-berikut-sejarah-penggunaan-tagar-di-media-sosial--1209113">viral awal 2025 ini</a> masih terasa hingga sekarang. Australia tetap menjadi <em>hotspot</em> negara tujuan WNI kabur untuk mencari rezeki yang lebih baik. </p> <p>Bahkan intensitasnya, menurut pandangan saya yang sedang menetap di Australia, semakin ramai. </p> <p>Layaknya <em>war ticket</em> konser musik, beberapa hari ketika tulisan ini dibuat, muda-mudi Indonesia berebut mendapatkan Surat Dukungan untuk <em>working and holiday visa</em> <a href="https://www.imigrasi.go.id/faq/sduwhv">(SDU-WHV)</a> di Australia. </p> <p>Dokumen ini merupakan salah satu syarat utama agar bisa jadi pekerja musiman di Negeri Kangguru.</p> <p><div data-react-class="InstagramEmbed" data-react-props="{&quot;url&quot;:&quot;https://www.instagram.com/reel/C8txWXAhuJ2&quot;,&quot;accessToken&quot;:&quot;127105130696839|b4b75090c9688d81dfd245afe6052f20&quot;}"></div></p> <p><a href="https://www.abc.net.au/news/2024-10-13/indonesian-work-and-holiday-visa-scammed/104441386">Australia</a> jadi pilihan utama #KaburAjaDulu karena banyak <em>influencers</em> yang hanya menampilkan keindahan hidup di sana. </p> <p>Mereka terobsesi “<a href="https://www.abc.net.au/news/2023-04-02/the-australian-dream-costing-migrants-thousands-of-dollars/102172306">The Australian Dream</a>”: kerja ringan, upah dolar, dan bisa menikmati panorama indah Australia.</p> <hr> <p> <em> <strong> Baca juga: <a href="https://theconversation.com/tren-kaburajadulu-peringatan-bagi-pemerintah-sebelum-kehilangan-generasi-berkualitas-250277">Tren #KaburAjaDulu: Peringatan bagi pemerintah sebelum kehilangan generasi berkualitas</a> </strong> </em> </p> <hr> <p>Namun, kehidupan pemegang WHV di Australia tidak selalu mulus. Mereka kerap harus berhadapan dengan sistem rekrutmen yang tidak aman hingga risiko pekerjaan tanpa perlindungan. </p> <h2>Mengapa peminat visa kerja liburan Australia tinggi?</h2> <p>Tingginya minat warga Indonesia untuk mendapatkan WHV di Australia disebabkan oleh penawaran dan permintaan yang klop.</p> <p><strong>1. Australia kekurangan tenaga kerja</strong></p> <p>Australia bisa dikatakan sebagai salah satu negara yang mempermudah warga asing untuk masuk dan bekerja, terutama di daerah pelosok. Sebab, minat masyarakat lokal untuk bekerja di <a href="https://immi.homeaffairs.gov.au/visas/employing-and-sponsoring-someone/sponsoring-workers/nominating-a-position/labour-agreements/designated-area-migration-agreements">daerah pedesaan</a> cukup rendah. </p> <p>Ini membuat Australia terbuka menerima kedatangan pekerja asing termasuk yang melalui <em>working holiday visa</em> (WHV). WHV adalah jenis visa yang digunakan untuk peserta program <em>working holiday maker</em> (WHM). </p> <p>Visa ini pada awalnya merupakan ajang pertukaran budaya antar generasi muda antarnegara persemakmuran <a href="https://www.aph.gov.au/Parliamentary_Business/Committees/Joint/Migration/WorkingHolidayMaker/Report/section?id=committees%2Freportjnt%2F024567%2F73936">sejak tahun 1975</a>. Program ini kemudian diperluas ke negara-negara lain, termasuk Indonesia.</p> <p>Melalui visa ini, masyarakat Indonesia berusia 18-30 tahun berkesempatan untuk berlibur dan bekerja sebagai pekerja musiman <a href="https://indonesia.embassy.gov.au/jakt/visa462.html">selama 1-2 tahun.</a> </p> <p>Bagi Australia, program ini efektif menunjang pembangunan regionalnya. National Farmers Federation (<a href="https://nff.org.au/wp-content/uploads/2024/08/NFF_Regional_Impacts_WHM_FINAL_STC_02_clean.pdf">NFF</a>) pada 2024 mencatat sumbangsih WHM terhadap sektor ini mencapai AU$3 miliar/tahun (setara Rp32,3 triliun). </p> <p>Sebaliknya, <a href="https://nff.org.au/wp-content/uploads/2024/08/NFF_Regional_Impacts_WHM_FINAL_STC_02_clean.pdf">NFF</a> memperkirakan penurunan partisipasi pada program ini akan merugikan perekonomian regional hingga AU$200 juta/tahun atau Rp2,1 triliun. </p> <p>Namun, pemerintah federal dan parlemen Australia sejak 2023 sudah mulai memantau WHV. Menurut mereka, misi budaya dari program sudah terkikis oleh <a href="https://www.aph.gov.au/About_Parliament/House_of_Representatives/About_the_House_News/Media_Releases/Review_of_the_Working_Holiday_Maker_Program_and_its_role_in_the_economic_recovery">motif ekonomi</a>. </p> <p>Pasalnya, visa ini lebih banyak karena dorongan <a href="https://www.agriculture.gov.au/sites/default/files/sitecollectiondocuments/ag-food/working-holiday/submissions/university-of-adelaide.pdf">kebutuhan tenaga kerja dari industri holtikultura</a> dan fleksibilitas visa WHV tanpa batasan waktu bekerja.</p> <hr> <p> <em> <strong> Baca juga: <a href="https://theconversation.com/pengangguran-muda-indonesia-sebanyak-17-3-penciptaan-lapangan-kerja-makin-bermasalah-267463">Pengangguran muda Indonesia sebanyak 17,3%: Penciptaan lapangan kerja makin bermasalah?</a> </strong> </em> </p> <hr> <p><strong>2. Bersambut suplai dari Indonesia</strong> </p> <p>Tak diragukan lagi, motivasi ekonomi menjadi <a href="https://etd.repository.ugm.ac.id/penelitian/detail/227268">pemanis utama para pemegang WHV di Indonesia</a>. Iming-iming upah <a href="https://www.kompas.com/edu/read/2025/10/17/122147171/pendaftaran-whv-australia-2025-dibuka-gaji-capai-rp-300000-per-jam">Rp300 ribu/jam</a> hanya dengan melakukan pekerjaan sederhana seperti berkebun dan menjadi pramusaji menarik minat banyak kawula muda Indonesia. </p> <p>Apalagi, kondisi ekonomi nasional sedang tidak kondusif seperti sulitnya <a href="https://investor.id/macroeconomy/413757/blt-diperpanjang-menkeu-purbaya-sebut-ekonomi-bisa-tumbuh-567">mencari lapangan pekerjaan</a> dan peningkatan tren <a href="https://theconversation.com/di-balik-kalimat-lebik-baik-capek-kerja-daripada-capek-cari-kerja-yang-berujung-eksploitasi-267819"><em>job hugging</em> (bertahan pada pekerjaan)</a>.</p> <hr> <p> <em> <strong> Baca juga: <a href="https://theconversation.com/di-balik-kalimat-lebih-baik-capek-kerja-daripada-capek-cari-kerja-yang-berujung-eksploitasi-267819">Di balik kalimat "lebih baik capek kerja daripada capek cari kerja" yang berujung eksploitasi</a> </strong> </em> </p> <hr> <p>Sejak 2024, <a href="https://www.homeaffairs.gov.au/research-and-stats/files/working-holiday-report-June-24.pdf">pemerintah Australia</a> kedatangan WHV dari Indonesia bertumbuh pesat, <a href="https://www.homeaffairs.gov.au/research-and-stats/files/working-holiday-report-december-24.pdf">hingga menjadi negara dengan jumlah pelamar WHV terbesar</a>. </p> <p>Sejatinya, WHV hanyalah jenis visa izin tinggal dan bekerja selama 12 bulan. Untuk warga Indonesia, ada syarat tambahan berupa SDU-WHV, Surat Dukungan dari pemerintah Indonesia yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Imigrasi. </p> <p>Sayangnya, kuota penerbitan SDU-WHV dari pemerintah sangat terbatas, sekitar 5.000 pelamar pada program 2025/2026. Proses inilah yang juga sempat membuat heboh di <a href="https://www.kompas.com/edu/read/2025/10/17/122147171/pendaftaran-whv-australia-2025-dibuka-gaji-capai-rp-300000-per-jam">linimasa</a>.</p> <p>Padahal, tanpa SDU-WHV, pengajuan dan seleksi visa seseorang takkan diproses otoritas imigrasi Australia. </p> <p>Beberapa syarat untuk mendapatkan SDU-WHV adalah sertifikasi bahasa Inggris dasar (IELTS, TOEFL, atau PTE). Meskipun kenyataannya, kemampuan bahasa tidak otomatis mempermudah adaptasi <a href="https://www.business-humanrights.org/en/latest-news/australia-indonesian-migrants-on-working-holiday-visas-recruited-via-facebook-experience-labour-rights-abuse-on-farm-incl-meta-response/">sosial dan budaya</a> di sana. </p> <p>Yang tidak kalah penting, kita perlu merogoh kocek pribadi cukup dalam. Otoritas mensyaratkan tabungan minimal AU$5 ribu (Rp54 juta) yang mengendap di rekening minimal 3 bulan. </p> <p>Banyak yang percaya kesulitan proses untuk bisa bekerja di Australia tetap lebih baik dibandingkan tinggal di Indonesia. Selain itu jarak Indonesia-Australia masih tergolong dekat.</p> <h2>Sisi gelap <em>the Australian dream</em></h2> <p>Sayangnya, banyak yang mengira menjadi pekerja musiman di Australia itu mudah. Mayoritas tidak sadar bahwa WHV tidak menjamin <a href="https://www.idntimes.com/life/career/7-kendala-penerima-whv-di-australia-tantangan-pekerja-asing-01-6cnpl-9vzz5q">penempatan kerja</a>.</p> <p>Dunia usaha Australia pun tidak memiliki rujukan khusus terkait WHV. Cara mudah mencari lowongan kerja yakni melalui diaspora Indonesia di Australia atau melalui sosial media.</p> <p>Tanpa koneksi dan pembekalan yang cukup, cita-cita mengumpulkan uang justru berujung terjebak dalam pekerjaan kasar dan hidup di daerah terpencil. Belum lagi risiko gaji di bawah upah minimum, hingga <a href="https://www.abc.net.au/news/2023-04-02/the-australian-dream-costing-migrants-thousands-of-dollars/102172306">kerugian</a> puluhan ribu dolar Australia karena ditipu pihak tak bertanggung jawab. </p> <p><div data-react-class="InstagramEmbed" data-react-props="{&quot;url&quot;:&quot;https://www.instagram.com/p/DGUkMAGynjr&quot;,&quot;accessToken&quot;:&quot;127105130696839|b4b75090c9688d81dfd245afe6052f20&quot;}"></div></p> <p>Tragedi seperti kecelakaan kerja dan lalu lintas juga sempat menimpa pemegang WHV. Pada Oktober 2024, <a href="https://www.abc.net.au/indonesian/2025-07-28/seruan-perubahan-setelah-seumlah-peserta-whv-indonesia-meninggal/105568268">dua warga Indonesia</a> peserta WHV meninggal dunia dalam kecelakaan di Australia Barat yang berimbas pada seruan perubahan regulasi. </p> <p>Kasus-kasus ini menyoroti kurangnya pengawasan dan dukungan terhadap pekerja di wilayah pedesaan dan bergantung pada transportasi pribadi.</p> <p>Kasus ini juga mengungkap, salah satu penyebab eksploitasi tenaga kerja migran muda adalah ketidaktahuan terhadap hak-hak kerja dan keterbatasan kemampuan komunikasi dalam situasi formal, bukan sekadar kemampuan bahasa sehari-hari.</p> <h2>Pemerintah perlu hadir</h2> <p>Tagar #KaburAjaDulu terbukti efektif <a href="https://dspace.library.uu.nl/bitstream/handle/1874/436917/Doing_Digital_Migration_Studies.pdf?sequence=1">menginisiasi mobilitas banyak orang Indonesia ke luar negeri</a> dan meningkatkan jumlah peserta WHV secara signifikan.</p> <p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{&quot;tweetId&quot;:&quot;1888954046662472162&quot;}"></div></p> <p>Melalui pengalaman para pekerja WHV, kita semua bisa melihat risiko yang nyata seperti gegar budaya, eksploitasi tenaga kerja, hingga minimnya perlindungan hukum di negara tujuan.</p> <p>Karena itu, sudah saatnya pemerintah Indonesia membangun sistem perlindungan dan pembekalan informasi hak-hak pekerja migran, kondisi kerja di Australia, serta strategi menghadapi perbedaan budaya dan sosial. </p> <p>Dengan demikian, keberangkatan mereka bukan sekadar langkah spontan “kabur aja dulu”. Melainkan mobilitas yang aman, terencana, dan terlindungi.</p> <p>Fenomena #KaburDuluAja mencerminkan bentuk baru dari <em><a href="https://online.ucpress.edu/gp/article/1/1/12548/110649/Digital-Cosmopolitanism-Notes-from-the-Underground">digital cosmopolitanism</a></em> sebagai wadah memanfaatkan ruang daring untuk berbagi pengetahuan lintas negara dan memoles identitas global mereka. </p> <p>Karena itu, pemerintah perlu hadir di ruang-ruang ini untuk memastikan informasi yang beredar akurat, memberikan panduan resmi, dan melindungi warganya dari disinformasi maupun eksploitasi.</p> <hr> <iframe src="https://tally.so/r/n9zbWE?alignLeft=1&amp;hideTitle=1&amp;transparentBackground=1&amp;dynamicHeight=1" width="100%" height="321" frameborder="0" marginheight="0" marginwidth="0" title="Survey Form"> </iframe><img src="https://counter.theconversation.com/content/268120/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" /> <p class="fine-print"><em><span>Udiana Dewi tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p> Cita-cita cuan sering berujung terjebak hidup di daerah terpencil, dibayar di bawah upah minimum, hingga rungkat ditipu puluhan ribu dolar. Udiana Dewi, Research Fellow, University of Sydney Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives. tag:theconversation.com,2011:article/267442 2025-10-26T02:58:42Z 2025-10-26T02:58:42Z Apakah detoks dopamin masuk akal untuk dilakukan? <figure><img src="https://images.theconversation.com/files/696113/original/file-20251007-56-cq0flz.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;rect=0%2C1%2C8256%2C5504&amp;q=45&amp;auto=format&amp;w=1050&amp;h=700&amp;fit=crop" /><figcaption><span class="caption"></span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.gettyimages.com.au/detail/photo/high-angle-shot-of-young-asian-woman-texting-on-her-royalty-free-image/2226152649?phrase=looking%20at%20smartphone%20in%20bed&amp;searchscope=image%2Cfilm&amp;adppopup=true">d3sign/Getty Images</a></span></figcaption></figure><p>Media sosial saat ini dibanjiri dengan tip mengurangi asupan dopamin. Mulai dari <a href="https://theconversation.com/libur-akhir-tahun-manfaatkanlah-waktu-dengan-detoks-digital-173670">“detoks digital”</a>, “<em>dopamine detox</em>”, sampai “<em>dopamine reset</em>,” istilah-istilah ini sering disebut sebagai solusi menangani kecanduan gawai yang menurunkan kesehatan mental. Para <a href="https://www.tiktok.com/tag/dopaminedetox?lang=en"><em>influencer</em> TikTok</a> mengklaim bahwa tindakan tersebut mampu “mereset” otak mereka.</p> <p><div data-react-class="TiktokEmbed" data-react-props="{&quot;url&quot;:&quot;https://vt.tiktok.com/ZSU5AFYjP/&quot;}"></div></p> <p>Di era modern ini, otak kita memang dibombardir dengan stimulasi tak terbatas. Kita dengan mudah terstimulasi dari <em>scrolling</em> media sosial, bermain gim, notifikasi surel, sampai <a href="https://doi.org/10.1016/j.neuroscience.2005.04.043">camilan manis</a>.</p> <p>Semua hal yang menyenangkan seakan berada dalam genggaman. Akhirnya, otak kita <a href="https://doi.org/10.1177/17579139251331914">senantiasa menerima dopamin</a>.</p> <p>Asupan dopamin yang konstan ini lama-kelamaan membuat kita <a href="https://research.vu.nl/ws/portalfiles/portal/152952838/Korthouwer2021_Chapter_DesensitizationDueToOverstimulation.pdf">tak lagi sensitif</a> dengan stimulasi.</p> <p>Akhirnya, kita terus melakukan kegiatan-kegiatan yang memunculkan stimulasi, seakan kegiatan itu sudah menjadi bagian dari diri kita.</p> <p><em>Scrolling</em> media sosial kapan pun terasa biasa saja. Berjam-jam bermain gim terasa normal. Hidup jadi terasa hambar.</p> <p>Tak heran, kini makin banyak orang yang berupaya melakukan detoks dopamin untuk berhenti melakukan aktivitas-aktivitas yang kian menjemukan itu. Namun, benarkah detoks dopamin memang efektif?</p> <h2>Apakah kita benar-benar bisa mendetoks dopamin?</h2> <p>Jawaban singkatnya: Tidak.</p> <p>Kita tidak bisa mendetoksifikasi dopamin dari diri kita. Proses detoks mengharuskan kita menghilangkan secara total suatu zat kimia dari tubuh.</p> <p>Misalnya kita melakukan detoks alkohol. Kita berhenti minum alkohol dan membiarkan tubuh kita membuang segala racun yang berkaitan dengan alkohol.</p> <hr> <p> <em> <strong> Baca juga: <a href="https://theconversation.com/cara-menghindari-konten-mengerikan-di-media-sosial-agar-tak-terbayang-bayang-265778">Cara menghindari konten mengerikan di media sosial agar tak terbayang-bayang</a> </strong> </em> </p> <hr> <p>Dalam konteks dopamin, kita tidak bisa melakukan detoks. Dopamin muncul secara alami dan berperan penting dalam fungsi tubuh kita. </p> <p>Dopamin <a href="https://doi.org/10.1016/j.neuroscience.2022.07.008">berkaitan erat dengan</a> dari pusat kesenangan dan kepuasan di otak. Motivasi, pergerakan, gairah, sampai hal sesederhana tidur—dipengaruhi oleh dopamin.</p> <p>Jika kita melakukan detoks dopamin, kita tidak akan bisa berfungsi sebagai manusia. Kita tidak akan bisa hidup.</p> <p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{&quot;tweetId&quot;:&quot;1934819796782137421&quot;}"></div></p> <h2>Istilah “detoks dopamin” yang jadi tren</h2> <p>Pada dasarnya, “detoks dopamin” yang banyak dibahas di media sosial hanyalah tindakan menghindari aktivitas yang memunculkan dopamin secara instan.</p> <p>Misalnya gim, media sosial, makanan manis, atau belanja daring. Tindakan “detoks kenikmatan” ini biasanya dilakukan dalam jangka waktu singkat, sekitar 24 jam.</p> <p>“Detoks dopamin” selama 24 jam bisa terasa amat berat. Selama <a href="https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC3354400/">proses menahan diri</a>, individu yang melakukannya terkadang merasakan dorongan dan keinginan yang intens, kelelahan hebat, kecemasan, atau merasa lebih sensitif secara emosional. Rasa ketidaknyamanan ini dipercaya sebagai tanda bahwa “reset dopamin” memang berhasil.</p> <hr> <p> <em> <strong> Baca juga: <a href="https://theconversation.com/hati-hati-tergoda-diskon-kenali-trik-psikologis-yang-mengelabui-otak-dan-memicu-perilaku-belanja-impulsif-245478">Hati-hati tergoda diskon, kenali trik psikologis yang mengelabui otak dan memicu perilaku belanja impulsif</a> </strong> </em> </p> <hr> <p>Proses menahan diri ini mungkin terasa intens, tetapi sayangnya efek proses ini umumnya tak bertahan lama, hanya satu sampai dua hari. Soalnya, dopamin adalah proses yang kompleks dan dipengaruhi beragam faktor. Reset selama 24 jam tak akan langsung mengubah sistem kompleks tersebut.</p> <p>Penelitian menunjukkan bahwa setelah beberapa lama melakukan pantang tertentu, <a href="https://doi.org/10.7759/cureus.61643">kebiasaan buruk rawan kembali muncul</a>. Kecuali jika orang tersebut aktif membangun kebiasaan positif baru yang membuat mereka mendapatkan kesenangan dengan cara yang lebih sehat.</p> <h2>Apa yang dapat dilakukan?</h2> <p>Jika kita ingin memperbaiki perilaku yang erat dengan dopamin instan atau ingin lepas dari zat tertentu, kita perlu menjalani proses panjang. Ini pastinya memakan waktu lebih dari 24 jam.</p> <p>Menggantikan perasaan senang dari “dopamin instan” dengan aktivitas “dopamin sehat” dapat mengembalikan sensitivitas otak kita terhadap kenikmatan. Dengan sensitivitas ini, hidup kita akan terasa lebih menyenangkan.</p> <p>Aktivitas “dopamin sehat” adalah aktivitas yang memerlukan lebih banyak usaha dan kesabaran. Misalnya membuat kerajinan tangan, <a href="https://doi.org/10.3389/fpubh.2023.1257629">olahraga</a>, atau <a href="https://doi.org/10.1007/978-3-319-95780-7_13">mempelajari sesuatu yang baru</a>.</p> <p>Aktivitas menjalin <a href="https://www.cell.com/neuron/fulltext/S0896-6273(23)00699-2?fbclid=IwAR2b8Lrr4uij5oW9x3nG_IYs3-JkuDi-JxknB-l-vB66E1q2GxaVNNjtG2c">hubungan dengan orang lain</a> secara tatap muka atau <a href="https://doi.org/10.1073/pnas.1811878116">mendengarkan musik</a> yang kita suka juga terhitung sebagai aktivitas yang lebih sehat dibanding aktivitas “dopamin instan”.</p> <hr> <p> <em> <strong> Baca juga: <a href="https://theconversation.com/konten-brain-rot-lumpuhkan-kemampuan-kita-bercerita-penuh-makna-251151">Konten brain rot lumpuhkan kemampuan kita bercerita penuh makna</a> </strong> </em> </p> <hr> <p>Aktivitas-aktivitas tersebut mampu menghidupkan alur dopamin otak, sekaligus melepaskan neurotransmiter lain seperti oksitosin dan serotonin. Kedua hormon tersebut memunculkan suasana hati yang positif.</p> <p>Tren “detoks dopamin” menunjukkan bahwa makin banyak individu yang ingin merasa lebih berarti, menumbuhkan kembali motivasi, dan menikmati hal-hal sederhana di tengah dunia yang penuh dengan stimulasi.</p> <p>Tak ada tombol reset untuk sistem dopamin di otak kita. Namun, kita bisa selalu mengarahkan diri pada kesenangan yang lebih jangka panjang melalui olahraga, musik, hubungan yang bermakna, dan eksplorasi hal-hal yang tak pernah kita ketahui sebelumnya.</p> <hr> <p><em>Kezia Kevina Harmoko berkontribusi dalam penerjemahan artikel ini.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/267442/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" /> <p class="fine-print"><em><span>Anastasia Hronis adalah penulis dari The Dopamine Brain.</span></em></p> Detoks dopamin yang dielu-elukan di media sosial bukanlah solusi ideal untuk meningkatkan kesehatan mental. Anastasia Hronis, Clinical Psychologist, Lecturer and Research Supervisor, Graduate School of Health, University of Technology Sydney Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives. tag:theconversation.com,2011:article/267865 2025-10-22T00:04:54Z 2025-10-22T00:04:54Z Kisah MTV: Si pendisrupsi yang akhirnya terempas <blockquote> <p>● MTV mengumumkan akan menutup hampir semua siaran kanalnya di akhir tahun ini.</p> <p>● Salah satu faktor utama runtuhnya MTV adalah keengganan manajemen untuk keluar dari model bisnis lamanya.</p> <p>● Kini MTV harus menerima fakta bahwa <em>streaming</em> telah menggantikan video.</p> </blockquote> <hr> <p>Penayangan video musik band The Buggles berjudul “Video Killed the Radio Star” pada Selasa, 1 Agustus 1981 silam jadi momen bersejarah bagi dunia industri pertelevisian dan musik. Hari tersebut merupakan hari rilis kanal Music Television (<a href="https://www.britannica.com/money/">MTV</a>).</p> <p>MTV segera menjelma menjadi acuan tren yang bertahan hingga 2 dekade lebih. MTV menawarkan <a href="https://iowastatedaily.com/214438/uncategorized/mtv-killed-the-video-star/">sesuatu yang revolusioner</a>: aliran video musik tanpa henti, kisah visual, dan budaya anak muda yang dikemas dalam satu format yang diterima oleh dunia.</p> <p>Melalui pemutaran lagu plus video di layar kaca, inovasi MTV mendisrupsi radio. Jauh sebelum ada YouTube, TikTok, dan rekomendasi berbasis kecerdasan buatan, MTV-lah yang menjadi ‘algoritma’ tersebut. </p> <p>Semua orang menantikan <em>countdown</em> dan ajang penghargaan MTV, menciptakan ritual bersama yang membentuk budaya anak muda, selera musik, dan bahkan komunitasnya tersendiri.</p> <hr> <p> <em> <strong> Baca juga: <a href="https://theconversation.com/40-years-of-mtv-the-channel-that-shaped-popular-culture-as-we-know-it-165365">40 Years of MTV: the channel that shaped popular culture as we know it</a> </strong> </em> </p> <hr> <p>Namun roda berputar bagi MTV. Pekan lalu, mereka mengumumkan akan menutup beragam kanal musiknya di Inggris akhir tahun ini. Hanya <a href="https://nypost.com/2025/10/13/business/mtv-shutting-down-music-channels-across-europe-is-us-next/">kanal MTV HD</a> yang dipertahankan. Namun kanal tersebut lebih berfokus pada konten <em>reality show</em> ketimbang musik. </p> <p><div data-react-class="InstagramEmbed" data-react-props="{&quot;url&quot;:&quot;https://www.instagram.com/p/DPyEUEqkbT0&quot;,&quot;accessToken&quot;:&quot;127105130696839|b4b75090c9688d81dfd245afe6052f20&quot;}"></div></p> <p>Alasannya, <a href="https://www.pwc.com/us/en/industries/tmt/library/the-future-of-linear-tv.html">jumlah penonton TV</a> menurun drastis. Algoritma menggantikan peran <em>video jockeys (VJ)</em> atau pembawa acara. <em>Scrolling</em> tanpa akhir menghapus rasa antusias menunggu lagu atau acara berikutnya. </p> <p>Saat MTV perlahan menghilang dari sejarah, yang lenyap bukan hanya saluran TV, tetapi juga era ketika musik mempersatukan banyak orang dalam detak yang sama.</p> <h2>Masa keemasan</h2> <p>MTV langsung menggebrak di awal kemunculannya. Publik terpukau cara MTV menyulap sajian musik yang tidak lagi hanya didengar, tetapi juga dilihat dan dirasakan melalui video musik. </p> <p>Para musisi pun memanfaatkan momentum ini untuk menceritakan kisah lewat video, memadukan musik, fesyen, dan performa visual. Michael Jackson, sang Raja Pop, adalah bukti nyata pengaruh MTV terhadap kariernya.</p> <p>Lagu-lagu seperti <em>Thriller, Beat It,</em> dan <em>Billie Jean</em> membawa Michael menuju <a href="https://wellbrick.co.uk/blogs/news/the-rise-of-mtv-how-music-television-transformed-the-1980s">puncak ketenaran</a>. </p> <p>Seniman lain seperti <a href="https://www.yardbarker.com/entertainment/articles/25_music_videos_that_ruled_mtv_back_in_the_day/s1__42712427">Duran Duran dan Madonna</a> turut memanfaatkan MTV untuk mengantarkan mereka pada popularitas yang cukup awet. </p> <p>MTV kian mendominasi usai <a href="https://www.britannica.com/money/Viacom-Inc">Viacom Inc. (kini Paramount Global)</a> membelinya pada tahun 1985 senilai US$667,5 juta atau Rp11,5 triliun. </p> <hr> <p> <em> <strong> Baca juga: <a href="https://theconversation.com/the-environmental-impact-of-music-digital-records-cds-analysed-108942">The environmental impact of music: digital, records, CDs analysed</a> </strong> </em> </p> <hr> <p>Bersama Paramount, MTV menghadirkan berbagai program berbasis genre seperti Yo! MTV Raps dan Headbangers Ball yang menargetkan segmentasi turunan budaya anak muda dan menumbuhkan rasa identitas bersama. </p> <p>MTV dibuat lebih dari sekadar jaringan televisi. Ia juga simbol budaya bersama tentang bagaimana orang mendengarkan musik, berpakaian, dan memimpikan masa depan mereka.</p> <p>Ekspansi MTV sukses besar. Paramount mengantar MTV ke puncak kejayaan yang berjalan sejak 1992, ketika jaringan ini meraup pendapatan <a href="https://finance.yahoo.com/news/mtv-worth-first-started-compared-210001875.html?guccounter=1&amp;guce_referrer=aHR0cHM6Ly91a2Mtd29yZC1lZGl0Lm9mZmljZWFwcHMubGl2ZS5jb20v&amp;guce_referrer_sig=AQAAAI7xsSFxv9u3dLKZq2ZPW6dMk2ZTSmnI3fVRLWunCJMaZpSVjXO7HCF2lNxOcuhqEkHAmLf3he5EQsAQ-1KV4WJrXRsWn1_41DseBmSbyxQom5ZwhtYr1So_62G0wf4V3bqv1lvV6JdyY6lRj85SJNLVl6d4vSMMIYa2MXSuuweV">US$400 juta dolar atau senilai Rp6,6 triliun dengan jangkauan 112 juta rumah tangga</a> hanya dalam waktu setahun. </p> <h2>Kehilangan arah dan telat beradaptasi</h2> <p>Memasuki awal abad ke-21, perkembangan teknologi mengubah wajah hiburan. Revolusi digital mulai mengguncang televisi tradisional, termasuk MTV.</p> <p>Orang-orang yang dulunya menonton TV mengalihkan perhatiannya ke internet. Kehadiran platform hiburan musik dan video yang menawarkan layanan berbasis <em>on-demand</em> juga membuat kanal musik MTV terasa kuno. </p> <p>Melalui <a href="https://www.researchgate.net/publication/347523112_An_introduction_to_the_understanding_of_the_impact_of_disruptive_innovations_to_organizations_in_the_music_industry">Spotify</a>, Apple Music, dan YouTube, masyarakat mendapat akses instan dan tak terbatas ke musik tanpa harus mencatat jadwal penayangan acara favorit lagi.</p> <hr> <p> <em> <strong> Baca juga: <a href="https://theconversation.com/spotify-wrapped-success-story-unpacked-what-are-the-takeaways-251337">Spotify Wrapped success story unpacked: What are the takeaways?</a> </strong> </em> </p> <hr> <p>Pergeseran ini lahir dari perubahan perilaku konsumen, tekanan korporasi, dan evolusi media digital. Berakhirnya MTV dan disrupsi baru dari platform <em>on-demand</em> mencerminkan perubahan besar dalam lanskap budaya global. </p> <p>Tekanan pun datang dari internal. Mantan Kepala Digital MTV UK, <a href="https://www.linkedin.com/pulse/how-internet-killed-mtv-what-taught-me-ai-matthew-kershaw-mz25e/">Matthew Kershaw</a>, mengatakan salah satu faktor utama runtuhnya MTV terjadi karena keengganan manajemen untuk keluar dari model bisnis lamanya. </p> <p>Banyaknya kanal yang ditawarkan ke masyarakat sejatinya adalah inovasi. Di bawah arahan korporasi, MTV mulai bergeser ke acara realitas (<em>reality show</em>) seperti Jersey Shore, MTV Cribs, dan Jackass. Meskipun program-program ini sempat populer, MTV justru menjauh dari akar musiknya. </p> <p>Tapi inovasi tersebut tidak relevan di masyarakat. Dulu, saluran ini menyatukan penonton karena semua orang menonton video musik yang sama, membicarakannya di sekolah, dan merasakan identitas kolektif yang serupa. </p> <p>Kini, algoritma dan kecerdasan buatan memilihkan konten berbeda bagi setiap individu. Cara menikmati musik masyarakat berubah ke arah personalisasi dan kustomisasi pribadi.</p> <p>Hingga akhirnya per Juli 2025, MTV Music hanya <a href="https://indianexpress.com/article/explained/explained-culture/enduring-mtv-why-shutting-down-10310780/">menarik sekitar 1,3 juta penonton</a>, jauh dari masa kejayaannya pada 1980-90an yang mencapai ratusan juta. </p> <h2>Tidak berbuat salah tapi hancur</h2> <p>Kejatuhan MTV ini menjadi pengingat bahwa dalam era digital, adaptasi teknologi, manajemen waktu, dan kemampuan beradaptasi terhadap <a href="https://www.researchgate.net/publication/304713939_Building_Customer-centric_Organizations_Shaping_Factors_and_Barriers">perilaku konsumen</a> adalah segalanya. </p> <p>MTV memang menorehkan sejarah sebagai pendisrupsi model lama. Namun, seiring waktu, MTV-lah yang kini menjadi model lama. MTV justru jadi pihak yang terdisrupsi oleh hal yang sama yakni teknologi. </p> <p>Dengan kemajuan teknologi, masyarakat bisa memilih apa yang ingin ditonton kapan pun dan di mana pun. Kini orang tak perlu lagi menunggu jam tertentu untuk bisa menikmati artis favoritnya. </p> <p>Bahkan platform pendisrupsi masa kini pun tidak bisa berpuas diri. Perlahan tapi pasti, <a href="https://www.bbc.co.uk/bitesize/articles/zybbvwx">TikTok</a> kini didapuk sebagai platform musik nomor satu. Media sosial asal Cina ini sukses mewadahi tren masyarakat yakni berjoget ria dengan iringan lagu. </p> <p>MTV sebenarnya memiliki sumber daya yang tidak kalah bagus dengan platform yang kini menguasai hiburan musik seperti Spotify dan Youtube. </p> <p>Namun, MTV tak lagi mampu memenuhi kebutuhan generasi yang tumbuh dengan algoritma, bukan dengan saluran musik di televisi.</p> <p>Dulu MTV fenomenal dengan jargon video menggantikan radio. Kini MTV harus terima bahwa <em>streaming</em> menggantikan video televisi.</p> <hr> <p> <em> <strong> Baca juga: <a href="https://theconversation.com/what-youtube-has-done-to-the-music-video-star-24454">What YouTube has done to the music video star </a> </strong> </em> </p> <hr> <hr> <iframe src="https://tally.so/r/mVkJyE?alignLeft=1&amp;hideTitle=1&amp;transparentBackground=1&amp;dynamicHeight=1" width="100%" height="321" frameborder="0" marginheight="0" marginwidth="0" title="Survey Form"> </iframe><img src="https://counter.theconversation.com/content/267865/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" /> <p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p> Dulu MTV fenomenal dengan jargon video menggantikan radio. Kini MTV harus menerima bahwa ‘streaming’ menggantikan video. Farhan Mutaqin, PhD Researcher, University of Edinburgh Naufal Rafiansyah, Marketing science, University of Edinburgh Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives. tag:theconversation.com,2011:article/266377 2025-10-06T07:21:02Z 2025-10-06T07:21:02Z Kenapa putus dengan teman tak kalah menyakitkan dari putus cinta? <figure><img src="https://images.theconversation.com/files/693545/original/file-20240418-16-4ankw5.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;rect=0%2C24%2C2700%2C1798&amp;q=45&amp;auto=format&amp;w=1050&amp;h=700&amp;fit=crop" /><figcaption><span class="caption">Semakin banyak orang yang terbuka dengan pengalaman putus pertemanan.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-vector/friend-loss-sad-woman-missing-dead-2316069215">GoodStudio/ Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Kalau kamu pernah putus hubungan dengan teman atau sahabat, kamu tak sendirian. Sebuah <a href="https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/02724316211002266">penelitian</a> dari Amerika Serikat menunjukkan bahwa 86% remaja pernah mengalaminya.</p> <p><a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/01463373.2021.1877163">Putus dengan teman</a> bisa sama menyakitkan dengan putus dengan pacar. Terlebih jika kehilangan sosok teman yang <a href="https://www.psychologytoday.com/gb/blog/life-refracted/201611/sources-and-characteristics-close-relationships">sudah amat dekat</a>.</p> <p><div data-react-class="TiktokEmbed" data-react-props="{&quot;url&quot;:&quot;https://www.tiktok.com/@meerablackburn/video/7323735129694801184&quot;}"></div></p> <p>Dalam sebuah kelompok pengembangan diri yang saya jalankan, beberapa partisipan di usia 20-an dan 30-an membagikan pengalaman mereka ditinggalkan oleh teman. Mereka terkejut menemukan bahwa momen putus pertemanan yang mereka alami ternyata mirip.</p> <p>Kebanyakan merasa bahwa pertemanan mereka baik-baik saja. Lalu, tiba-tiba, teman mereka mengirimkan pesan curhat panjang: penuh kekecewaan dan ingin memutuskan pertemanan.</p> <p>Reaksi dari permintaan putus tersebut beragam. Ada yang tak percaya (<em>denial</em>) akan perlakuan teman mereka. “Kok bisa aku tak menyadarinya?” “Kok bisa mereka dengan mudah memutuskan hubungan?”</p> <p>Ada pula reaksi bingung. “Kenapa aku sangat sedih, mereka kan hanya teman, bukan pasangan hidup?” “Bagaimana aku bisa membicarakan perasaan negatifku ini? Orang-orang mungkin berpikir aku berlebihan merasa seperti ini sekadar karena teman. ”</p> <h2>Kenapa pertemanan sangat penting?</h2> <p>Penelitian tentang kelekatan dapat membantu kita memahami mengapa putus dengan teman bisa sangat menyakitkan.</p> <p>Saat anak-anak, sosok penting dalam hidup kita adalah orang tua atau pengasuh. Namun, memasuki usia <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1111/j.1475-6811.1997.tb00135.x">remaja</a> dan dewasa, perubahan terjadi.</p> <p>Perubahan ini terjadi karena desain genetik kita. Memasuki usia dewasa, kita dipersiapkan untuk bertumbuh jadi sosok independen yang tak lagi bergantung pada orang tua.</p> <p>Oleh karena itu, sosok yang paling kita percaya, andalkan, dan punya interaksi erat bukan lagi orang tua. Pasangan atau sahabat menggantikan posisi tersebut.</p> <hr> <p> <em> <strong> Baca juga: <a href="https://theconversation.com/pertemanan-itu-penting-bagaimana-kalau-kita-enggak-punya-teman-sama-sekali-258826">Pertemanan itu penting: Bagaimana kalau kita enggak punya teman sama sekali?</a> </strong> </em> </p> <hr> <p>Di usia dewasa, teman bisa menjadi sosok tepercaya dan rekan seperjuangan di tengah segala perubahan besar yang kita alami. Tak jarang, pertemanan bisa jadi relasi yang amat kuat dibanding relasi lainnya. <a href="https://link.springer.com/article/10.1007/BF00303101">Khususnya pada perempuan</a>, mereka lebih sering <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/00221325.1983.10533554">membahas masalah pribadi</a> dengan teman daripada keluarga.</p> <p>Sebagai seorang ahli psikologi, saya sering mendengar pengalaman klien yang merasakan dukungan konstan dari teman, berbeda dari hubungan romantis yang mudah kandas. Maka dari itu, memiliki sahabat merupakan <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1002/1520-6807(198010)17:4%3C536::AID-PITS2310170420%3E3.0.CO;2-I">bagian penting dari perkembangan diri</a>.</p> <p>Melihat betapa besarnya peran teman dalam hidup dewasa kita, tidak mengherankan kita bisa teramat sedih ketika putus dengan teman.</p> <p>Kita bisa merasa terkejut, tertolak, dan tersakiti yang levelnya sama seperti <a href="https://www.cell.com/trends/cognitive-sciences/abstract/S1364-6613(04)00143-3?cc=y%3D&amp;_returnURL=http%3A%2F%2Flinkinghub.elsevier.com%2Fretrieve%2Fpii%2FS1364661304001433%3Fshowall%3Dtrue">rasa sakit fisik</a>. Bahkan putus dengan teman bisa menurunkan kepercayaan diri kita, terlebih ketika kita <a href="https://books.google.co.uk/books?hl=en&amp;lr=&amp;id=8MDNdB1AxvIC&amp;oi=fnd&amp;pg=PR11&amp;dq">tidak paham apa penyebabnya</a>.</p> <p>Penelitian menunjukkan bahwa cara paling umum memutuskan pertemanan adalah dengan <a href="https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/02724316211002266">menghindar</a>, tanpa membahas masalah yang terjadi. Akibatnya, kita bisa merasa kehilangan arah, terlebih jika kita sama sekali tidak menduganya. </p> <h2>Kenapa pertemanan bisa putus?</h2> <p>Alasan <a href="https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/0265407584013001#:%7E:text=Four%20patterns%20of%20friendship%20dissolution,interference%20from%20dating%20or%20marriage">paling umum</a> kandasnya pertemanan di usia dewasa muda adalah perpisahan secara jarak, memiliki teman baru sehingga teman lama tergantikan, timbul rasa tidak suka, dan kemunculan hubungan berpacaran atau pernikahan.</p> <p>Hubungan romantis yang serius atau mulai berkeluarga <a href="https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/0265407598153005">secara otomatis akan mengurangi</a> waktu dan energi yang dapat diberikan seseorang pada teman. Sosok yang masih lajang berpeluang merasa ditinggalkan, <a href="https://psycnet.apa.org/record/2020-57189-001">cemburu, dan terancam</a>.</p> <p>Namun, pertemanan tak serta-merta akan usai karena alasan-alasan tersebut. Kita perlu berempati dengan kondisi baru yang teman kita jalani. Jangan sampai pula kita menghakimi atau menganggap keputusan teman kita sebagai serangan personal.</p> <p>Kita perlu berkomunikasi dengan teman kita mengenai perubahan kondisi yang terjadi dan menceritakan bagaimana kita terdampak akan perubahan tersebut. Upaya ini dapat meringankan perasaan yang muncul akibat perubahan dinamika pertemanan. </p> <hr> <p> <em> <strong> Baca juga: <a href="https://theconversation.com/cara-membahas-masalah-tanpa-menimbulkan-pertengkaran-tip-dari-ahli-260294">Cara membahas masalah tanpa menimbulkan pertengkaran: Tip dari ahli</a> </strong> </em> </p> <hr> <p>Ketika berkomunikasi, kita juga dapat memperkuat komitmen pertemanan satu sama lain, meski ke depannya tetap perlu menyesuaikan cara interaksi. Ketika kita memberikan ruang pertumbuhan dan perubahan untuk hubungan pertemanan, relasi akan jadi lebih kuat dan tahan lama di tengah kondisi sulit sekali pun.</p> <p>Tentu ada naik-turun dalam pertemanan jangka panjang, sehingga normal bagi kita terkadang merasa berjarak dengan teman.</p> <figure class="align-center "> <img alt="Dua wanita marah satu sama lain. Mereka duduk berlawanan arah" src="https://images.theconversation.com/files/588875/original/file-20240418-18-zvuo2y.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=45&amp;auto=format&amp;w=754&amp;fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/588875/original/file-20240418-18-zvuo2y.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=45&amp;auto=format&amp;w=600&amp;h=400&amp;fit=crop&amp;dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/588875/original/file-20240418-18-zvuo2y.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=30&amp;auto=format&amp;w=600&amp;h=400&amp;fit=crop&amp;dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/588875/original/file-20240418-18-zvuo2y.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=15&amp;auto=format&amp;w=600&amp;h=400&amp;fit=crop&amp;dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/588875/original/file-20240418-18-zvuo2y.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=45&amp;auto=format&amp;w=754&amp;h=503&amp;fit=crop&amp;dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/588875/original/file-20240418-18-zvuo2y.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=30&amp;auto=format&amp;w=754&amp;h=503&amp;fit=crop&amp;dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/588875/original/file-20240418-18-zvuo2y.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=15&amp;auto=format&amp;w=754&amp;h=503&amp;fit=crop&amp;dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"> <figcaption> <span class="caption">Upayakan komunikasi dengan teman kita.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/friends-not-talking-each-other-after-148302890">wavebreakmedia/ Shutterstock</a></span> </figcaption> </figure> <p>Namun, bagaimana jika kita sudah mencoba untuk berdiskusi dengan teman kita, tetapi mereka tak ingin berbicara? Kondisi ini dapat membuat kita merasa tak mengenali mereka lagi.</p> <p>Dalam kondisi lebih buruk, bisa jadi justru teman kita berusaha menyakiti kita. Misalnya dengan membuat kita merasa bersalah karena menjalani hubungan atau memiliki fokus lain yang berpengaruh pada pertemanan.</p> <p>Upaya tersebut menjadi tanda hubungan yang tak sehat karena hilangnya rasa saling menghargai dan mendukung. Ini merupakan momen paling tepat untuk merelakan sebuah pertemanan. Dalam kondisi ini, justru kita akan diuntungkan atas kandasnya hubungan tersebut.</p> <h2>Bagaimana caranya bangkit?</h2> <p>Ketika pertemanan kandas, kita dapat merasakan sakit hati yang mirip dengan <a href="https://openurl.ebsco.com/EPDB%3Agcd%3A6%3A27953894/detailv2?sid=ebsco%3Aplink%3Ascholar&amp;id=ebsco%3Agcd%3A66893524&amp;crl=c">kondisi putus cinta</a>. Misalnya gejala depresi, kecemasan, dan berpikir berlebihan tentang situasi tersebut (ruminasi).</p> <p>Gelombang perasaan sakit hati yang muncul dan hilang adalah normal. Kondisi ini akan berkurang seiring waktu.</p> <p>Kita dapat membantu diri kita sendiri dalam kondisi tersebut dengan melakukan pernapasan diafragma yang terbukti dapat <a href="https://journals.lww.com/jbisrir/fulltext/2019/09000/effectiveness_of_diaphragmatic_breathing_for.6.aspx?inf_contact_key=8d649">mengurangi stres</a>. Teknik sederhana ini dapat dilakukan sendiri dan di mana saja.</p> <p>Caranya mudah. Tempatkan tangan kita di bagian bawah tulang rusuk. Tarik napas selama tiga detik sambil merasakan pergerakan tangan kita yang mengikuti posisi perut. Keluarkan napas selama tujuh detik. Ulangi sampai kita merasa lebih tenang.</p> <hr> <p> <em> <strong> Baca juga: <a href="https://theconversation.com/bagaimana-inflasi-memengaruhi-pertemanan-dan-percintaan-kita-263194">Bagaimana inflasi memengaruhi pertemanan dan percintaan kita</a> </strong> </em> </p> <hr> <p>Membicarakan kondisi yang kita alami dengan orang lain juga dapat membantu. Kita juga dapat menyadari hikmah dari kondisi tersebut setelah berdiskusi dengan orang lain.</p> <p>Alternatif lain adalah menulis jurnal untuk mengekspresikan pikiran dan perasaan kita. Praktik ini dapat memunculkan <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/17439760802068480">emosi positif</a> dan membantu kita menghadapi situasi sulit secara bertahap.</p> <p>Menghadapi kandasnya hubungan apa pun membutuhkan <a href="https://link.springer.com/article/10.1007/s10964-019-00985-5">resiliensi</a> (optimisme, kepercayaan diri, dan kegigihan) agar kita bisa beradaptasi. Kita bisa membangun karakter ini dengan mengingatkan diri kita bahwa masih banyak orang-orang yang dapat kita jadikan teman dan kita adalah sosok yang bernilai untuk dijadikan teman.</p> <p>Kita juga perlu secara aktif mengupayakan dan memperkuat relasi-relasi lain yang kita miliki dalam hidup.</p> <hr> <p><em>Kezia Kevina Harmoko berkontribusi dalam penerjemahan artikel ini.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/266377/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" /> <p class="fine-print"><em><span>Sonja Falck tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p> Putus dengan teman bisa sama menyakitkan dengan putus hubungan romantis. Sonja Falck, Senior Lecturer, School of Psychology, University of East London Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives. tag:theconversation.com,2011:article/266520 2025-10-04T03:09:21Z 2025-10-04T03:09:21Z Tradisi keagamaan dalam anime Jepang: Takdir, pengorbanan, dan dilema keinginan vs kewajiban <figure><img src="https://images.theconversation.com/files/693874/original/file-20250220-32-ymts6p.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;rect=93%2C0%2C1005%2C670&amp;q=45&amp;auto=format&amp;w=1050&amp;h=700&amp;fit=crop" /><figcaption><span class="caption">Kyojuro Rengoku, juga dikenal sebagai Flame Hashira, adalah karakter utama dalam seri &#39;Demon Slayer&#39;.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.deviantart.com/jcrprints/art/Rengoku-the-Flame-Hashira-895272544">Deviant Art</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by-nd/4.0/">CC BY-ND</a></span></figcaption></figure><p>Salah satu aspek anime Jepang yang paling menarik adalah perpaduan aksi mendebarkan dengan pertanyaan-pertanyaan spiritual dan etika. </p> <p>Pembelajaran ini saya dapat setelah <a href="https://www.coastal.edu/academics/facultyprofiles/humanities/philosophyandreligiousstudies/ronaldgreen/">bertahun-tahun meneliti, mengajar</a>, dan mengeksplorasi bagaimana anime Jepang membentuk narasi yang memadukan jalinan tradisi budaya, filsafat, dan agama.</p> <p>Contoh sukses tersebut tercermin dari <em>Demon Slayer: Mugen Train,</em>—yang memecahkan <a href="https://www.japantimes.co.jp/culture/2020/10/23/films/demon-slayer-box-office-record/">rekor pendapatan box-office Jepang</a> dan berakhir sebagai <a href="https://www.screendaily.com/news/demon-slayer-infinity-castle-trilogy-set-to-launch-in-2025/5199919.article">film terlaris di dunia</a> tahun 2020.</p> <p>Dengan <a href="https://www.latimes.com/entertainment-arts/movies/story/2021-04-23/demon-slayer-kimetsu-no-yaiba-movie-mugen-train-anime-success-story">kesuksesan global Demon Slayer yang terus berlanjut</a> hingga di film terbarunya yang berjudul <a href="https://www.imdb.com/title/tt32820897/"><em>Demon Slayer: Kimetsu no Yaiba the movie - Infinity Castle</em></a>, ini adalah momen tepat untuk menelaah bagaimana film ini memadukan tradisi Buddha, Shinto, dan samurai dalam kisah kepahlawanan, kefanaan, serta perjuangan moral.</p> <h2>Tradisi spiritualisme dalam anime</h2> <p>Anime kerap mengeksplorasi pertanyaan-pertanyaan spiritual dan filosofis dengan mengacu pada tradisi keagamaan Jepang untuk mengaji tema takdir, pengorbanan diri, dan dilema antara keinginan dan kewajiban.</p> <p>Contohnya film <a href="https://www.imdb.com/title/tt0119698/"><em>Princess Mononoke</em></a> karya Hayao Miyazaki yang mengisahkan Pangeran Ashitaka. Ia dikutuk oleh iblis dan harus berkelana mencari obatnya. </p> <p>Pencariannya membawanya ke dalam konflik antara Irontown yang terindustrialisasi, yang ingin memperluas wilayahnya dengan menebangi hutan, dan roh-roh alam, termasuk Dewa Rusa, makhluk ilahi yang mengendalikan hidup dan mati.</p> <p>Film ini mencerminkan prinsip-prinsip Shinto dengan menggambarkan alam sebagai sesuatu yang sakral dan dihuni oleh “kami”, atau makhluk spiritual. Film ini menekankan <a href="https://fore.yale.edu/World-Religions/Shinto/Statements">harmoni antara manusia dan lingkungan</a> dan konsekuensi dari terganggunya keseimbangan ini.</p> <p><a href="https://cavad.calbaptist.edu/faculty/melissa-croteau-ph-d/">Melissa Croteau</a>, dalam bukunya <a href="https://www.routledge.com/Transcendence-and-Spirituality-in-Japanese-Cinema-Framing-Sacred-Spaces/Croteau/p/book/9781032361833?srsltid=AfmBOooYQUoQGxc55Ijt7e2U99OYouB-BlCYBi4_V-XHb21M9uo45SKZ"><em>Transcendence and Spirituality in Japanese Cinema</em> (Transendensi dan Spiritualitas dalam Sinema Jepang)</a>, mencatat bagaimana film-film Miyazaki menggunakan roh alam untuk mengkritik keterpisahan modernitas dari kesakralan lingkungan.</p> <figure class="align-center zoomable"> <a href="https://images.theconversation.com/files/650488/original/file-20250220-32-mc8iic.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=45&amp;auto=format&amp;w=1000&amp;fit=clip"><img alt="Adegan dari film animasi yang menunjukkan seorang anak berlari menuruni tangga sebuah gedung berwarna cerah, dikejar oleh bayangan gelap." src="https://images.theconversation.com/files/650488/original/file-20250220-32-mc8iic.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=45&amp;auto=format&amp;w=754&amp;fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/650488/original/file-20250220-32-mc8iic.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=45&amp;auto=format&amp;w=600&amp;h=324&amp;fit=crop&amp;dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/650488/original/file-20250220-32-mc8iic.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=30&amp;auto=format&amp;w=600&amp;h=324&amp;fit=crop&amp;dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/650488/original/file-20250220-32-mc8iic.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=15&amp;auto=format&amp;w=600&amp;h=324&amp;fit=crop&amp;dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/650488/original/file-20250220-32-mc8iic.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=45&amp;auto=format&amp;w=754&amp;h=408&amp;fit=crop&amp;dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/650488/original/file-20250220-32-mc8iic.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=30&amp;auto=format&amp;w=754&amp;h=408&amp;fit=crop&amp;dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/650488/original/file-20250220-32-mc8iic.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=15&amp;auto=format&amp;w=754&amp;h=408&amp;fit=crop&amp;dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a> <figcaption> <span class="caption">Cuplikan adegan dari ‘Spirited Away’ yang menunjukkan bagaimana Chihiro (10 tahun) harus belajar menavigasi dunia yang tak terlihat.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.goodfon.com/anime/wallpaper-badfon-art-spirited-away-hayao.html">GoodFon.com</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0/">CC BY-NC</a></span> </figcaption> </figure> <p>Demikian pula film animasinya yang dirilis tahun 2001, <a href="https://www.imdb.com/title/tt0245429/"><em>Spirited Away</em></a>“ yang mencerminkan gagasan animisme dalam budaya Jepang, yang meyakini roh-roh mendiami unsur-unsur alam dan bahkan benda-benda sehari-hari. </p> <p>Berlatar di pemandian Jepang misterius yang dipenuhi "kami” (Bahasa Jepang untuk dewa), Chihiro (10 tahun), yang dulunya pemalu dan takut perubahan, belajar menjelajahi dunia tersembunyi ini dan bertransformasi di sepanjang perjalanan.</p> <p>Momen kunci dalam film ini adalah kedatangan roh sungai yang tercemar, yang tampak seperti makhluk kotor berlumpur. Ternyata ia adalah dewa sungai yang dulunya murni, terbebani oleh limbah manusia. </p> <p>Adegan ini mewujudkan kepercayaan animisme bahwa entitas alam memiliki rohnya sendiri dan harus dihormati. Adegan ini juga memperkuat pesan lingkungan: Ketika alam tercemar atau dianiaya, ia kehilangan daya hidupnya, tetapi dengan perawatan dan penghormatan, ia dapat dipulihkan.</p> <p><a href="https://www.imdb.com/title/tt0112159/"><em>Neon Genesis Evangelion</em></a>, serial televisi anime Jepang yang tayang tahun 1995-1996, mengusung gagasan filosofis yang mendalam, khususnya pertanyaan eksistensialis tentang identitas dan tujuan. </p> <p>Berlatar dunia pasca-apokaliptik, serial ini mengisahkan Shinji Ikari remaja 14 tahun. Ia direkrut untuk mengemudikan senjata biomekanik raksasa bernama evangelion guna melindungi umat manusia dari makhluk misterius yang dikenal sebagai Malaikat.</p> <p>Saat Shinji dan rekan-rekan pilotnya berjuang dengan peran mereka, serial ini mengeksplorasi tema-tema isolasi, harga diri, dan tantangan dalam menjalin hubungan yang dekat dan bermakna. Serial ini terinspirasi dari pemikiran Buddha dan <a href="https://iep.utm.edu/gnostic/">Gnostik</a>, yang menekankan pengetahuan spiritual batin dan keyakinan bahwa keterikatan berlebihan pada dunia material menyebabkan penderitaan.</p> <p>Evangelion menggambarkan penderitaan sebagai akibat dari keterikatan dan ketidakmampuan untuk menjalin hubungan yang bermakna.</p> <h2>Rengoku: Kepahlawanan tanpa pamrih</h2> <p>Yang membedakan <em>Mugen Train</em> adalah fokusnya pada konflik internal para karakternya, yang dilambangkan dengan pertarungan mereka melawan iblis. Iblis-iblis ini mewakili penderitaan dan keterikatan manusia, tema-tema yang sangat dipengaruhi oleh <a href="https://www3.gmu.edu/programs/icar/ijps/vol21_2/Tanabe%20FINAL.pdf">pemikiran Buddha</a>. </p> <p>Inti dari film ini adalah Kyojuro Rengoku, seorang pembunuh iblis yang mewujudkan keteguhan hati dan kehormatan.</p> <figure> <iframe width="440" height="260" src="https://www.youtube.com/embed/wurz7urUGtM?wmode=transparent&amp;start=0" frameborder="0" allowfullscreen=""></iframe> <figcaption><span class="caption">Rengoku’s flame-breathing forms.</span></figcaption> </figure> <p>Gaya bertarung Rengoku yang berbasis api sangat simbolis. Dalam budaya Jepang, api melambangkan kehancuran sekaligus pembaruan. <a href="https://dx.doi.org/10.1353/cro.2009.a782453">Festival Api Kurama</a>, yang diadakan setiap tahun pada tanggal 22 Oktober di Kyoto, adalah ritual Shinto saat obor-obor besar dibawa melalui jalan-jalan untuk menangkal kejahatan dan menyucikan tanah.</p> <p>Demikian pula <a href="https://www.youtube.com/watch?v=--A-5Dxmf74">upacara api goma Buddha</a> melibatkan para pendeta yang membakar tongkat kayu dalam api suci untuk melambangkan penghapusan kebodohan dan nafsu. Teknik Rengoku mencerminkan dualitas ini: Apinya membersihkan dunia dari kejahatan sekaligus melambangkan semangatnya yang tak tergoyahkan.</p> <figure> <iframe width="440" height="260" src="https://www.youtube.com/embed/itz80UqyV54?wmode=transparent&amp;start=0" frameborder="0" allowfullscreen=""></iframe> <figcaption><span class="caption">Goma fire ritual.</span></figcaption> </figure> <p>Bushido, kode kehormatan samurai, mendasari karakter Rengoku. Berakar pada etika Konfusianisme, Buddhisme Zen, dan kepercayaan Shinto, kode ini menekankan kesetiaan, pengorbanan diri, dan kewajiban untuk melindungi orang lain. </p> <p>Ajaran sang ibu—"Yang kuat harus melindungi yang lemah"—menuntun setiap tindakannya, mencerminkan nilai Konfusianisme tentang bakti kepada orang tua dan kewajiban moral untuk melayani masyarakat.</p> <p>Keterkaitan Bushido dengan Buddhisme Zen, yang berfokus pada disiplin dan penerimaan terhadap ketidakkekalan, semakin membentuk tekad Rengoku yang teguh. Sementara pengaruh Shinto memperkuat perannya sebagai wali yang menegakkan tugas suci.</p> <p>Bahkan menjelang ajal, Rengoku tetap teguh menerima <a href="https://plato.stanford.edu/entries/japanese-aesthetics/">ketidakkekalan, atau <em>mujō</em></a>. Ini adalah prinsip dasar Buddha yang melihat keindahan dalam kefanaan hidup. Pengorbanannya mengajarkan bahwa kekuatan sejati terletak pada ketidakegoisan dan integritas moral.</p> <h2>Akaza: Keterikatan dan penderitaan</h2> <p>Lawan Rengoku adalah Akaza, iblis yang mewujudkan konsekuensi destruktif dari kekuatan dan keabadian. Dulunya manusia, Akaza berubah menjadi iblis karena obsesinya pada kekuatan, tak mampu menerima kefanaan hidup.</p> <p>Penolakannya untuk mengakui kematian sejalan dengan ajaran Buddha bahwa penderitaan muncul dari keterikatan dan keinginan. Cendekiawan seperti <a href="https://eas.princeton.edu/people/jacqueline-stone">Jacqueline Stone</a> telah mengeksplorasi bagaimana teks-teks Buddha menggambarkan kemelekatan pada keberadaan sebagai <a href="https://uhpress.hawaii.edu/title/right-thoughts-at-the-last-moment-buddhism-and-deathbed-practices-in-early-medieval-japan/">sumber fundamental penderitaan</a>, sebuah tema yang tercermin jelas dalam karakter Akaza.</p> <p>Elemen visual memperkuat simbolisme Akaza. Tubuhnya dipenuhi tato yang mengingatkan pada <em>irezumi</em>, seni tubuh tradisional Jepang yang secara historis dikaitkan dengan kejahatan dan kesulitan. Dalam periode Edo (1603-1867) di Jepang, tato sering digunakan untuk <a href="https://japanesevisualculture.ace.fordham.edu/exhibits/show/irezumi_tradition_and_criminal/irezumi_introduction">menandai penjahat</a>, mencap mereka sebagai orang buangan dari masyarakat. </p> <p>Bahkan hingga saat ini, <a href="https://jayna.usfca.edu/asia-pacific-perspectives/pdfs/skutlin_app_16_v_1_4.19.19_cc_2018_4-33_.pdf"><em>irezumi</em> tetap mendapat stigma</a> di banyak wilayah Jepang, dengan beberapa pemandian umum, pusat kebugaran, dan kolam renang melarang orang bertato karena hubungan historis mereka dengan yakuza.</p> <p>Dalam anime kontemporer, karakter bertato sering kali melambangkan <a href="https://www.cbr.com/best-tattooed-anime-characters/">masa lalu yang bermasalah atau gejolak batin</a>, yang memperkuat peran Akaza sebagai sosok yang terjebak dalam penderitaan dan jalan hidupnya yang destruktif—sekaligus memperkuat kontrasnya dengan api pembebasan milik Rengoku.</p> <h2>Pertempuran dua dunia</h2> <p>Pertarungan antara Rengoku dan Akaza lebih dari sekadar pertarungan antara kebaikan dan kejahatan; ini adalah pertikaian antara dua ‘dunia'—tidak mementingkan diri sendiri versus egoisme, penerimaan versus keterikatan.</p> <p><em>Mugen Train</em> menyentuh perjuangan manusia universal, membuat tema-temanya beresonansi jauh melampaui Jepang.</p> <p>Eksplorasi film ini tentang kefanaan, tugas moral, dan pencarian makna berkontribusi pada warisan anime yang lebih luas sebagai media yang menghibur sekaligus memicu refleksi filosofis.</p> <p>Demon Slayer terus memikat penonton global—terbukti dari perbincangan di media sosial dan <a href="https://www.projectreylo.com/post/this-demon-slayer-infinity-castle-movie-will-change-anime-forever---release-on-march-eleventh">antusiasme penggemar yang tak surut</a>. Kesuksesannya ini menegaskan kekuatan anime dalam memadukan aksi spektakuler dengan tema-tema berat seperti spiritualisme.</p> <p>Baik melalui keberanian Rengoku yang tanpa pamrih atau kejatuhan Akaza yang tragis, “Mugen Train” menawarkan refleksi tentang apa artinya hidup dengan tujuan dan integritas.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/266520/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" /> <p class="fine-print"><em><span>Ronald S. Green tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p> ‘Demon Slayer: Mugen Train’ memadukan sifat fana Buddha, filosofi Shinto, dan etika samurai, menjadi pelajaran tentang keberanian dan penderitaan. Ronald S. Green, Professor and Chair of the Department of Philosophy and Religious Studies, Coastal Carolina University Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives. tag:theconversation.com,2011:article/266018 2025-10-02T01:00:16Z 2025-10-02T01:00:16Z Gen Z skena dan harapan baru di balik redupnya koran cetak <blockquote> <p>● Industri media Tanah Air khususnya cetak amat suram beberapa waktu terakhir.</p> <p>● Minat baca Gen Z tidak berkurang, tapi hanya berpindah media dan format.</p> <p>● Media cetak perlu beradaptasi dalam pengemasan yang sesuai minat Gen Z.</p> </blockquote> <hr> <p>Surat kabar atau koran cetak masih ada di Indonesia, tapi kondisi mereka di era digital ini seperti “hidup segan, mati pun tak mau”.</p> <p>Bila dibandingkan <a href="https://www.bps.go.id/id/statistics-table/2/MTQ1OCMy/angka-melek-aksara-penduduk-15-tahun-ke-atas-menurut-provinsi.html">angka populasi melek huruf</a> yang mencapai 95% untuk kategori orang 15 tahun keatas, jumlah <a href="https://www.antaranews.com/berita/4516252/cara-cerdas-media-cetak-melawan-media-digital">oplah koran sebesar 2,4 juta per tahun 2024</a> sangatlah kecil. </p> <p>Melansir <a href="https://www.antaranews.com/berita/4516252/cara-cerdas-media-cetak-melawan-media-digital">Serikat Perusahaan Pers</a> (SPS), lebih dari 190 media cetak berhenti produksi sejak tahun pandemi. Angka ini termasuk tabloid, majalah, dan terbitan lokal. </p> <p>Bisnis media cetak terpukul akibat menurunnya jumlah pembaca, anjloknya perolehan iklan, dan melambungnya harga kertas. Surat kabar terakhir yang menghentikan cetaknya adalah <a href="https://www.tempo.co/ekonomi/daftar-perusahaan-media-cetak-di-indonesia-yang-berhenti-terbit-171334">Koran SINDO</a> per April 2023.</p> <p>Padahal keberadaan surat kabar di Indonesia sudah ada sejak ratusan tahun lalu. Di Nusantara (sebelum bernama Indonesia), surat kabar pertama terbit pada tahun 1744 bernama <a href="https://www.kompas.com/stori/read/2024/05/23/150000779/bataviasche-nouvelles-surat-kabar-pertama-di-indonesia">Bataviasche Nouvelles</a>. </p> <p>Surat kabar bermunculan pesat ketika Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (<a href="https://www.kompas.id/artikel/pemerintah-batalkan-siupp-tempo-editor-dan-detik">SIUPP</a>)—izin penerbitan yang rumit era Orde Baru—dihapus pada 1999.</p> <hr> <p> <em> <strong> Baca juga: <a href="https://theconversation.com/benarkah-pendidikan-jurnalisme-sudah-tak-relevan-dengan-perkembangan-media-digital-261196">Benarkah pendidikan jurnalisme sudah tak relevan dengan perkembangan media digital?</a> </strong> </em> </p> <hr> <p>Kini, mayoritas pelanggan koran cetak adalah institusi pemerintah dan institusi formal lain, perusahaan swasta, lembaga laba maupun nirlaba, organisasi kemasyarakatan dan komunitas. Sebagian lagi adalah pembaca milenial yang masih menjaga tradisi koran dan romantisme membaca halaman kertas.</p> <p>Bagaimana masa depan industri surat kabar nasional yang berada di ujung tanduk usai berdarah-darah lebih dari 2 dekade terakhir. Akankah generasi penerus bisa menghidupi kembali industri ini?</p> <h2>Menaruh harapan pada generasi ‘tech savvy’</h2> <p>Banyak survei menunjukkkan Gen Z mengakses informasi melalui media sosial, sebagai paparan berita secara tak sengaja.</p> <p>Salah satunya adalah <a href="https://www.idntimes.com/news/indonesia/gen-z-masih-nonton-tv-konvensional-jarang-baca-koran-dan-majalah-00-92d83-2zdnp8">survei IDN Media</a> pada 2022. Survei tersebut mengungkap konsumsi koran cetak para kawula muda hanya 4%. Pun kalangan pembacanya terkonsentrasi di antara kelompok Gen Z yang lebih tua (usia 21 hingga 24 tahun).</p> <hr> <p> <em> <strong> Baca juga: <a href="https://theconversation.com/pentingnya-dana-jurnalisme-publik-untuk-mengatasi-muramnya-pers-indonesia-263284">Pentingnya dana jurnalisme publik untuk mengatasi muramnya pers Indonesia</a> </strong> </em> </p> <hr> <p>Jika dilihat dari <a href="https://www.idntimes.com/news/indonesia/gen-z-masih-nonton-tv-konvensional-jarang-baca-koran-dan-majalah-00-92d83-2zdnp8">demografi ekonomi</a>, Gen Z dari kelompok sosial ekonomi menengah ke bawah mengakses media digital (51%), dibandingkan dengan kalangan Gen Z menengah ke atas dan menengah (masing-masing 35% dan 41%). </p> <p>Kelompok Gen Z menengah ke atas dan menengah juga masih membaca majalah, meski persentasenya lebih rendah dibandingkan dengan penggunaan media digital dan koran. Ada kemungkinan majalah merupakan simbol status dan koneksi dibandingkan sumber informasi.</p> <p>Meski demikian, ada secercah peluang dari generasi yang berjumlah <a href="https://data.goodstats.id/statistic/sensus-bps-saat-ini-indonesia-didominasi-oleh-gen-z-n9kqv">75 juta orang Gen Z</a>. Yakni mereka di antaranya yang bergelar “skena”.</p> <h2>Peluang dari Zine yang sedang digandrungi</h2> <p><a href="https://undiknas.ac.id/2024/10/fenomena-skena-di-media-sosial-apa-itu-dan-mengapa-viral/">Skena</a> adalah salah satu subkultur di kalangan anak muda yang terus berkembang. Kita bisa mengenali kekhasan mereka, yaitu kaum muda yang menyenangi musik indie dan hal-hal yang <em>antimainstream</em> alias di luar arustama.</p> <p>Ciri yang tampak dari skena adalah gaya berpakaian yang tidak mengikuti <em>fast fashion</em> (sebagian justru terlihat <em>vintage</em>), nongkrong di ruang-ruang komunitas atau tempat independen berupa kafe yang unik, datang ke acara <em>gigs</em>, berkreasi secara mandiri (<em>do it yourself</em>/DIY), serta menghargai originalitas.</p> <p><div data-react-class="InstagramEmbed" data-react-props="{&quot;url&quot;:&quot;https://www.instagram.com/p/CoSAsP9pmf0&quot;,&quot;accessToken&quot;:&quot;127105130696839|b4b75090c9688d81dfd245afe6052f20&quot;}"></div></p> <p>Lingkungan komunitas kreatif membuat kalangan skena umumnya kritis. Mereka peduli pada isu-isu lingkungan hidup, keberagaman gender, inklusivitas, kesehatan mental, dan isu penting seperti kapitalisme dan demokrasi. </p> <p>Zine (publikasi independen dan tidak resmi) sebagai bagian budaya penerbitan DIY bersinggungan dengan skena. Zine menjadi alternatif untuk mengekspresikan identitas, seni, aktivisme, dan perlawanan. Kini bermunculan workshop zine dan komunitasnya yang digerakkan kalangan skena. </p> <hr> <p> <em> <strong> Baca juga: <a href="https://theconversation.com/pendidikan-jurnalisme-perlu-dekolonisasi-berorientasi-pada-publik-bukan-industri-263114">Pendidikan jurnalisme perlu dekolonisasi: Berorientasi pada publik, bukan industri</a> </strong> </em> </p> <hr> <p>Skena yang mencerminkan semangat ekspresi kaum muda. Pencarian identitas Gen Z pun bisa menemukan rumahnya dengan membaca surat kabar. </p> <p>Meski begitu, skena sebagai bagian dari budaya kontemporer ini terhitung “<em>niche</em>”, sehingga keputusan untuk terus menerbitkan koran cetak kembali kepada perusahaan pers.</p> <p>Selain terus memelihara indepedensi, koran bisa memperbanyak porsi liputan <em><a href="https://constructiveinstitute.org/app/uploads/2023/06/Indonesian-HANDBOOK-soft-copy-.pdf">constructive journalism</a></em> atau jurnalisme konstruktif yang pemberitaannya berfokus pada solusi. Solusi yang dimaksud tidak melulu pendapat pakar, tetapi juga pendapat orang-orang yang berada di dalam cerita.</p> <p>Sajian semacam itu bisa menjembatani gaya liputan langsung ala koran dan <em><a href="https://radvoice.id/blog/slow-journalism-persaingan-media-online/">slow journalism</a></em> yang biasa dilakukan awak majalah. Harapannya, hal tersebut makin mendekatkan media pada selera Gen Z skena, sehingga mereka melirik koran cetak dan merangkulnya sebagai bagian dari identitas <em>antimainstream</em>.</p> <h2>Berkaca dari geliat ulang kamera analog</h2> <p>Skena cenderung menentang nilai-nilai konvensional, dan sering kali memosisikan diri sebagai kultur tandingan yang menawarkan alternatif dari budaya arus utama yang dianggap terlalu komersial.</p> <p>Penentangan tadi membuat mereka mengeksplorasi hal-hal baru yang tidak mereka alami ketika lahir hingga tumbuh besar. Di antaranya adalah fotografi analog yang menggeliat lagi karena munculnya jenis film seluloid baru—medium rekam untuk kamera analog. </p> <p>Produsen Leica, Yashica, Pentax, dan Rollei, misalnya, memproduksi lagi <a href="https://nerdyphotographer.com/gear/camera-trends-gen-z-single-use-photo/#:%7E:text=Sure%20you%20can%20say%20that,connection%20to%20the%20photos%20themselves">kamera analog</a>. Pun produsen Fujifilm: selain memproduksi instax (mirip Polaroid), mereka juga merilis kamera dengan gimik memiliki tombol layaknya kamera analog meski digital.</p> <p>Dengan melihat fenomena yang ternyata telah bertahan lebih dari satu dekade terakhir ini, maka keyakinan konsumsi bacaan kertas di kalangan anak muda akan selalu ada. </p> <h2>Kuncinya: konten berita berkualitas</h2> <p>Surat kabar sering dianggap sebagai “<a href="https://www.antaranews.com/berita/4516252/cara-cerdas-media-cetak-melawan-media-digital">kasta tertinggi</a>” dalam pemberitaan . Jumlah tiras, distribusi yang luas, serta bukti fisik membuat surat kabar kerap dianggap menjadi sajian berita yang paling kredibel. Saking bisa dipercaya, banyak pembuktian administrasi menggunakan arsip cetakan koran. </p> <p>Keberadaan bukti fisik tadi membuat berita ditulis secara hati-hati. Informasi diperiksa secara cermat sebelum sebuah kabar memutuskan penempatan berita dalam suatu edisi. Sementara ralat adalah keteledoran yang tercela, meski wajib dituliskan bila ditemukan kesalahan kemudian. </p> <hr> <p> <em> <strong> Baca juga: <a href="https://theconversation.com/publishers-rights-meningkatkan-atau-menghambat-jurnalisme-berkualitas-226470">'Publisher's rights': meningkatkan atau menghambat jurnalisme berkualitas?</a> </strong> </em> </p> <hr> <p>Surat kabar tidak mengejar kecepatan seperti media <em>online</em>, melainkan kedalaman dan (bila perlu) reportase yang eksklusif. Berita di surat kabar sering menjadi acuan pengambilan keputusan oleh pemangku kepentingan termasuk pemerintah.</p> <p>Masalah dalam jurnalisme kita bukan hanya ‘<a href="https://theconversation.com/pendidikan-jurnalisme-perlu-dekolonisasi-berorientasi-pada-publik-bukan-industri-263114">relevansi dengan teknologi</a>’ ataupun selera pasar. Melainkan kehilangan fungsi pembebasannya baik di dalam pengembangan pengetahuan maupun praktiknya.</p> <p>Oleh karena itu, koran harus terus memegang teguh idealisme jurnalisme dengan harus berani mengedepankan kepentingan publik, alih-alih yang berkuasa, berkata ‘tidak’ pada kepentingan siapapun. Jika ramuan konten koran sudah relevan dan dipercaya pembaca, koran bisa melihat ulang cara pengemasannya.</p> <hr> <iframe src="https://tally.so/embed/wba051?alignLeft=1&amp;hideTitle=1&amp;transparentBackground=1&amp;dynamicHeight=1" width="100%" height="321" frameborder="0" marginheight="0" marginwidth="0" title="Survey Form"> </iframe><img src="https://counter.theconversation.com/content/266018/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" /> <p class="fine-print"><em><span>Taufan Wijaya tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p> Zine digadang-gadang bisa jadi juru penyelamat industri media cetak khususnya koran Taufan Wijaya, Dosen Jurnalistik, Universitas Multimedia Nusantara Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives. tag:theconversation.com,2011:article/265778 2025-09-29T05:22:23Z 2025-09-29T05:22:23Z Cara menghindari konten mengerikan di media sosial agar tak terbayang-bayang <figure><img src="https://images.theconversation.com/files/692116/original/file-20250912-56-pg85rn.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;rect=1017%2C0%2C7702%2C5134&amp;q=45&amp;auto=format&amp;w=1050&amp;h=700&amp;fit=crop" /><figcaption><span class="caption">Social media often serves up disturbing images but you can minimize your exposure.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.gettyimages.com/detail/photo/business-woman-reading-phone-and-shocked-for-news-royalty-free-image/1975040018">Jacob Wackerhausen/iStock via Getty Images</a></span></figcaption></figure><p>Konten mengerikan yang mengganggu (<em>disturbing</em>) mudah sekali menjadi viral. Misalnya video penembakan <a href="https://theconversation.com/who-was-charlie-kirk-the-activist-who-turned-campus-politics-into-national-influence-265056">Charlie Kirk</a> dan video kondisi Raya, balita asal Sukabumi yang meninggal dengan <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20250821161330-20-1264959/fakta-fakta-balita-raya-di-sukabumi-meninggal-tubuh-penuh-cacing">kondisi infeksi cacing</a>.</p> <p>Kita sulit menghindari konten-konten yang sebenarnya tidak ingin kita lihat dengan format dunia maya saat ini. Kondisi ini masuk akal, mengingat media sosial didesain untuk memaksimalkan angka keterlibatan (<em>engagement</em>), bukan melindungi ketenangan batin.</p> <p>Beberapa tahun belakangan, platform-platform besar juga telah <a href="https://www.wired.com/story/charlie-kirk-shot-videos-spread-social-media/">mengurangi upaya moderasi konten</a>. Minimnya filter membuat konten yang menimbulkan ketidaknyamanan jadi mudah muncul di linimasa—meski kita tak pernah setuju untuk melihatnya.</p> <p>Perlu kita sadari bahwa kita tidak perlu mengonsumsi setiap konten yang muncul di layar. Melindungi diri sendiri bukan berarti menghindari masalah atau menyangkal fakta.</p> <p>Saya adalah peneliti yang mendalami soal bagaimana <a href="https://www.colorado.edu/atlas/annie-margaret">caranya menetralkan dampak</a> negatif media sosial terhadap kesehatan dan kesejahteraan mental. Terdapat beberapa langkah efektif yang dapat kita lakukan untuk menjaga diri di dunia maya, tanpa mengorbankan wawasan dan empati.</p> <h2>Pentingnya memilah konten yang dikonsumsi</h2> <p>Sebuah penelitian menunjukkan bahwa paparan <a href="https://doi.org/10.1007/s11920-014-0464-x">konten penuh kekejaman atau konten menyeramkan</a> dapat meningkatkan stres, memperburuk kecemasan, dan memunculkan perasaan putus asa.</p> <p>Dampak-dampak tersebut bukan cuma jangka pendek. Seiring berjalannya waktu, konten tersebut akan mengikis sumber dukungan emosional, misalnya kehadiran orang terdekat. Padahal, dukungan tersebut adalah dasar untuk memedulikan diri sendiri dan orang lain.</p> <p>Oleh karena itu, membatasi perhatian merupakan bentuk merawat diri sendiri. Bukan berarti kita menarik diri dari ruang digital. Justru, tindakan ini adalah cara menjaga kewarasan, aspek penting dalam kreativitas kita.</p> <p>Sama halnya dengan makanan. Tidak semua hal di atas meja bisa kita makan. Kita tak akan mengonsumsi makanan beracun atau kedaluwarsa semata-mata karena makanan itu terhidang di meja kita.</p> <hr> <p> <em> <strong> Baca juga: <a href="https://theconversation.com/jebakan-echo-chamber-panduan-etika-untuk-influencer-agar-tidak-blunder-263210">Jebakan 'echo chamber': Panduan etika untuk 'influencer' agar tidak blunder</a> </strong> </em> </p> <hr> <p>Dengan konsep yang sama, tak semua konten yang disuguhkan perlu diperhatikan. Selektif terhadap konten yang dikonsumsi akan memengaruhi kesehatan mental kita.</p> <p>Ketika di dapur, kita bisa memilih bahan makanan yang akan kita olah. Sayangnya di media sosial, sering kali kita tak punya kontrol yang sama terhadap konten.</p> <p>Maka dari itu, kita dapat mengambil langkah khusus untuk menyaring, memblokir, dan membatasi konten.</p> <h2>Langkah praktis yang dapat kita ambil</h2> <p>Terdapat beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk mengurangi kemunculan konten mengerikan atau mengganggu. Berikut empat cara yang saya rekomendasikan.</p> <ul> <li>Menonaktifkan <em>autoplay</em> atau memilih pengaturan pembatasan konten sensitif. Pengaturan ini bisa berbeda-beda tergantung perangkat, sistem operasi, versi aplikasi yang digunakan—dan dapat berganti-ganti pula jika ada pembaruan.</li> </ul> <p><iframe id="d1deR" class="tc-infographic-datawrapper" src="https://datawrapper.dwcdn.net/d1deR/2/" height="400px" width="100%" style="border: 0;" scrolling="no" frameborder="0"></iframe></p> <ul> <li><p>Atur filter kata kunci. Mayoritas platform memungkinkan kita untuk membisukan (<em>mute</em>) kata-kata, frasa, atau tagar spesifik. Filter ini mengurangi kemunculan konten video, foto, atau teks yang mengganggu.</p></li> <li><p>Atur linimasa atau <em>feed</em> kita. <em>Unfollow</em> akun-akun yang sering membagikan konten mengganggu. Ikuti akun yang mengunggah konten penuh pengetahuan, interaksi bermakna, dan keceriaan.</p></li> <li><p>Terapkan batasan. Tetapan waktu-waktu tertentu untuk kita lepas dari ponsel, misalnya saat makan atau menjelang tidur. Riset menunjukkan bahwa jeda yang disengaja ini dapat mengurangi <a href="https://doi.org/10.1016/j.chb.2013.02.014">stres dan meningkatkan kesejahteraan mental</a>.</p></li> </ul> <figure class="align-center zoomable"> <a href="https://images.theconversation.com/files/690681/original/file-20250912-56-g1jgcb.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=45&amp;auto=format&amp;w=1000&amp;fit=clip"><img alt="pengaturan media sosial dengan arahan berupa kotak merah " src="https://images.theconversation.com/files/690681/original/file-20250912-56-g1jgcb.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=45&amp;auto=format&amp;w=754&amp;fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/690681/original/file-20250912-56-g1jgcb.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=45&amp;auto=format&amp;w=600&amp;h=212&amp;fit=crop&amp;dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/690681/original/file-20250912-56-g1jgcb.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=30&amp;auto=format&amp;w=600&amp;h=212&amp;fit=crop&amp;dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/690681/original/file-20250912-56-g1jgcb.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=15&amp;auto=format&amp;w=600&amp;h=212&amp;fit=crop&amp;dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/690681/original/file-20250912-56-g1jgcb.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=45&amp;auto=format&amp;w=754&amp;h=266&amp;fit=crop&amp;dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/690681/original/file-20250912-56-g1jgcb.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=30&amp;auto=format&amp;w=754&amp;h=266&amp;fit=crop&amp;dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/690681/original/file-20250912-56-g1jgcb.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=15&amp;auto=format&amp;w=754&amp;h=266&amp;fit=crop&amp;dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a> <figcaption> <span class="caption">Pengaturan untuk mematikan <em>autoplay</em> di Facebook.</span> <span class="attribution"><span class="source">Screen capture by The Conversation</span>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by-nd/4.0/">CC BY-ND</a></span> </figcaption> </figure> <h2>Jaga diri sendiri</h2> <p>Media sosial tidaklah netral. Algoritma media sosial <a href="https://theconversation.com/facebook-whistleblower-frances-haugen-testified-that-the-companys-algorithms-are-dangerous-heres-how-they-can-manipulate-you-169420">dibuat sedemikian rupa</a> untuk mendapatkan dan mempertahankan perhatian kita. Termasuk dengan menyebarkan konten yang mengganggu atau sensasional.</p> <p>Menonton konten secara pasif, alias tak benar-benar menyadari apa yang kita konsumsi, hanya akan menguntungkan para perusahaan media sosial. Kita perlu mengatur alokasi perhatian untuk menjaga diri.</p> <p>Tak bisa dimungkiri bahwa dorongan mengikuti suatu berita secara terus-menerus memang sangat kuat, apalagi di masa krisis.</p> <p>Namun, memilih untuk tidak menyaksikan setiap gambar mengganggu bukanlah bukti ketidakpedulian. Justru, ini merupakan tindakan memedulikan diri.</p> <hr> <p> <em> <strong> Baca juga: <a href="https://theconversation.com/tren-podcast-politik-sarana-informasi-publik-dan-ruang-klarifikasi-politikus-262502">Tren 'podcast' politik: Sarana informasi publik dan ruang klarifikasi politikus</a> </strong> </em> </p> <hr> <p>Mengalihkan perhatian ke hal lain menjaga kemampuan kita untuk bertindak secara bermakna. Ketika perhatian kita terpecah, energi kita hanya terserap ke keterkejutan dan kemarahan. Ketika perhatian kita terfokus, kita bisa memilih mau bereaksi dan bertindak seperti apa.</p> <p>Kita punya kekuatan untuk menerapkan batasan. Entah dengan menonaktifkan <em>autoplay</em>, memfilter konten, atau mengatur linimasa—semua tindakan tersebut merupakan upaya kita mengontrol konsumsi konten.</p> <p>Tindakan kita mengatur media yang kita konsumsi menjadi dasar kita membangun hubungan dengan orang lain, membantu pihak yang membutuhkan, dan membangun perubahan bermakna.</p> <h2>Bacaan lebih lanjut</h2> <p>Saya merupakan direktur eksekutif dari <a href="https://www.postinternetproject.org/">Post-Internet Project</a>, sebuah inisiasi nonprofit untuk membantu individu menghadapi tantangan psikologis dan sosial di dunia maya.</p> <p>Saya bersama dengan tim mendesain intervensi <a href="https://theconversation.com/it-is-hijacking-my-brain-a-team-of-experts-found-ways-to-help-young-people-addicted-to-social-media-to-cut-the-craving-219954">berbasis bukti</a> bernama <a href="https://www.postinternetproject.org/prism">PRISM</a> untuk membantu individu mengelola penggunaan media sosial mereka.</p> <p><a href="https://www.postinternetproject.org/social-media-addiction-research">Program kami yang berbasis riset</a> menekankan pada kemampuan diri dan penyesuaian tujuan dan nilai diri sebagai kunci membangun pola konsumsi media yang lebih sehat.</p> <p>Kamu juga dapat mencoba proses PRISM melalui kelas daring “Values Aligned Media Consumption” yang saya luncurkan melalui Coursera pada 2025. Kelasnya dapat dicari dengan mengetik Annie Margaret dari University of Colorado Boulder di <a href="https://www.coursera.org/">Coursera</a>. Kelas ini ditujukan untuk individu berusia di atas 18 tahun dan videonya dapat disaksikan gratis.</p> <hr> <p><em>Kezia Kevina Harmoko berkontribusi dalam penerjemahan artikel ini.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/265778/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" /> <p class="fine-print"><em><span>Annie Margaret menerima dana dari University of Colorado Boulder PACES. Ia bekerja/berhubungan konsultasi di Post Internet Project.</span></em></p> Konten mengerikan seperti video Charlie Kirk atau Raya mudah muncul di dunia maya tanpa persetujuan kita. Annie Margaret, Teaching Assistant Professor of Creative Technology & Design, ATLAS Institute, University of Colorado Boulder Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives. tag:theconversation.com,2011:article/264205 2025-09-21T12:59:08Z 2025-09-21T12:59:08Z Di tengah dunia yang ‘sepi’, maraknya ‘teman AI’ bawa risiko mental bahkan nyawa <figure><img src="https://images.theconversation.com/files/688148/original/file-20250825-56-1r9hqn.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;rect=1286%2C1318%2C4985%2C3323&amp;q=45&amp;auto=format&amp;w=1050&amp;h=700&amp;fit=crop" /><figcaption><span class="caption"></span> <span class="attribution"><span class="source">Cheng Xin/Getty Images News</span></span></figcaption></figure><p><em><strong>PERINGATAN: Artikel ini memuat konten yang berkaitan dengan bunuh diri, melukai diri sendiri, dan kekerasan terhadap orang lain.</strong></em></p> <hr> <p>Hanya dua hari setelah merilis teman AI bulan lalu, Grok—aplikasi <em>chatbot</em> xAI milik Elon Musk—langsung menjadi <a href="https://officechai.com/ai/grok-menjadi-aplikasi-nomor-1-di-japan-setelah-memperkenalkan-japanese-waifu-ai-companion/">aplikasi terpopuler</a> di Jepang.</p> <p><em>Chatbot</em> yang dirancang untuk menjadi ‘teman’ kini hadir lebih canggih dan menggoda. Pengguna bisa bercakap-cakap lewat suara atau teks dengan karakter yang dilengkapi avatar digital. </p> <p>Banyak dari avatar ini bisa menirukan ekspresi wajah, bahasa tubuh, hingga nada suara yang menyerupai manusia. Semuanya selaras dengan isi percakapan, sehingga menciptakan pengalaman berbincang yang mendalam.</p> <p>Di Grok, karakter terpopuler adalah <a href="https://x.com/a">Ani</a>, gadis anime berambut pirang dan bermata biru dengan gaun hitam pendek serta stoking jala yang genit. Respons dan interaksinya terus menyesuaikan dengan preferensi pengguna. </p> <p>Selain itu, fitur ‘Sistem Kasih Sayang’ milik Ani bisa menilai kualitas interaksi, memperdalam kedekatan, bahkan dapat membuka mode NSFW/<em>not safe for work</em> (tidak aman untuk bekerja) yang digunakan untuk menandai konten, tautan, atau unggahan yang tidak pantas dilihat di tempat umum.</p> <p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{&quot;tweetId&quot;:&quot;1958073694095654979&quot;,&quot;options&quot;:{&quot;conversation&quot;:&quot;none&quot;}}"></div></p> <p>Respons yang semakin canggih dan cepat membuat ‘teman AI’ kian terasa ‘manusiawi’—mereka berkembang pesat dan hadir di mana-mana. Facebook, <a href="https://www.liputan6.com/tekno/read/5444126/instagram-siapkan-fitur-ai-friend-teman-virtual-untuk-bercerita-dan-bertukar-piikiran?page=2">Instagram</a>, WhatsApp, X, dan Snapchat kini gencar mempromosikan teman AI terintegrasi. </p> <p>Sementara itu, layanan <em>chatbot</em> <a href="https://www.esafety.gov.au/key-topics/esafety-guide/characterai">Character.AI</a>, yang menampung puluhan ribu <em>chatbot</em> dengan persona khusus, sudah meraih lebih dari <a href="https://www.businessofapps.com/data/character-ai-statistics/">20 juta pengguna aktif bulanan</a>.</p> <p>Di dunia yang tengah menghadapi <a href="https://www.who.int/news/item/30-06-2025-social-connection-linked-to-improved-heath-and-reduced-risk-of-early-death">krisis kesehatan masyarakat</a> akibat kesepian kronis —yang memengaruhi sekitar satu dari enam orang di seluruh dunia—tak heran jika kehadiran ‘teman’ yang selalu ada dan seperti hidup menjadi sangat menarik.</p> <p>Meski <em>chatbot</em> AI dan teman virtual berkembang pesat, semakin nyata pula risiko yang ditimbulkan—terutama bagi anak-anak dan individu dengan kondisi kesehatan mental.</p> <h2>Risiko ‘berteman’ dengan AI</h2> <p><strong>1. Minim pengawasan terhadap bahaya</strong></p> <p>Hampir semua model AI dikembangkan <a href="https://www.psychiatrictimes.com/view/preliminary-report-on-chatbot-iatrogenic-dangers">tanpa melibatkan ahli kesehatan mental</a> atau melalui uji klinis pra-rilis. Sehingga, tidak ada pemantauan sistematis maupun independen terhadap potensi dampak buruk bagi pengguna.</p> <p>Meski bukti sistematis masih terbatas, sudah banyak contoh yang menunjukkan bahwa teman AI dan <em>chatbot</em> seperti ChatGPT dapat menimbulkan dampak merugikan.</p> <p><strong>2. Terapis yang buruk</strong></p> <p>Banyak pengguna mencari dukungan emosional dari teman AI. Namun, teman AI tidak bisa diperlakukan layaknya terapis. Sebab, mereka diprogram untuk selalu menyenangkan dan memvalidasi—tanpa empati atau kepedulian manusia. </p> <p>Teman AI juga tidak mampu membantu pengguna menguji realitas atau menantang keyakinan yang merugikan.</p> <p>Seorang <a href="https://futurism.com/psychiatrist-horrified-ai-therapist">psikiater di Amerika Serikat (AS), misalnya, pernah menguji sepuluh <em>chatbot</em></a> dengan berpura-pura sebagai seorang pemuda yang mengalami depresi. </p> <p>Hasilnya, ia mendapati beragam respons mengkhawatirkan—mulai dari dorongan untuk bunuh diri, bujukan agar menghindari janji terapi, hingga ajakan melakukan kekerasan.</p> <p><div data-react-class="InstagramEmbed" data-react-props="{&quot;url&quot;:&quot;https://www.instagram.com/reel/DLT-6NuyjpC&quot;,&quot;accessToken&quot;:&quot;127105130696839|b4b75090c9688d81dfd245afe6052f20&quot;}"></div></p> <p><a href="https://hai.stanford.edu/news/exploring-the-dangers-of-ai-in-mental-health-care">Peneliti Stanford</a> baru-baru ini menilai risiko <em>chatbot</em> terapi AI. Ia menemukan teknologi ini tidak andal mengidentifikasi gejala gangguan mental, sehingga gagal memberikan saran yang tepat.</p> <p>Tercatat sudah ada beberapa kasus <em>chatbot</em> yang meyakinkan pasien psikiatri bahwa mereka tidak lagi memiliki gangguan mental dan <a href="https://futurism.com/chatgpt-mental-illness-medications">harus menghentikan pengobatan</a>. </p> <p><em>Chatbot</em> juga dilaporkan <a href="https://www.nytimes.com/2025/06/13/technology/chatgpt-ai-chatbots-conspiracies.html">memperkuat delusi</a>, misalnya membuat pasien percaya bahwa mereka sedang berbicara dengan makhluk hidup yang terperangkap di dalam mesin.</p> <p><strong>3. Sulit bedakan kenyataan dan imajinasi</strong></p> <p>Laporan media juga mencatat peningkatan kasus <a href="https://www.bbc.com/news/articles/c24zdel5j18o">‘psikosis AI’</a>, yaitu <a href="https://futurism.com/stanford-therapist-chatbots-encouraging-delusions">gejala perilaku dan keyakinan tidak biasa</a>, setelah berinteraksi intens dan berkepanjangan dengan <em>chatbot</em>. </p> <p>Sebagian kecil bahkan mengalami paranoia, membangun fantasi supranatural, atau bahkan delusi memiliki kekuatan super.</p> <p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{&quot;tweetId&quot;:&quot;1954648759817920564&quot;}"></div></p> <p><strong>4. Dorongan bunuh diri</strong></p> <p><em>Chatbot</em> telah dikaitkan dengan sejumlah kasus bunuh diri, termasuk <a href="https://www.abc.net.au/news/2025-08-12/how-young-australians-being-impacted-by-ai/105630108">laporan tentang AI yang mendorong keinginan bunuh diri</a>, bahkan menyarankan metode untuk melakukannya.</p> <p>Pada 2024, <a href="https://apnews.com/article/chatbot-ai-lawsuit-suicide-teen-artificial-intelligence-9d48adc572100822fdbc3c90d1456bd0">seorang remaja berusia 14 tahun</a> mengakhiri hidupnya. Ibunya kemudian menggugat Character.AI dengan tuduhan bahwa putranya telah menjalin hubungan intens dengan teman AI.</p> <p>Orang tua seorang remaja AS telah mengajukan <a href="https://www.nytimes.com/2025/08/26/technology/chatgpt-openai-suicide.html">gugatan pertama dengan klaim kematian akibat kelalaian terhadap OpenAI</a>. Remaja tersebut bunuh diri setelah berbulan-bulan mendiskusikan metode bunuh diri dengan ChatGPT.</p> <hr> <p> <em> <strong> Baca juga: <a href="https://theconversation.com/deaths-linked-to-chatbots-show-we-must-urgently-revisit-what-counts-as-high-risk-ai-242289">Deaths linked to chatbots show we must urgently revisit what counts as 'high-risk' AI</a> </strong> </em> </p> <hr> <p><strong>5. Perilaku dan nasihat berbahaya</strong></p> <p>Laporan Psychiatric Times baru-baru ini mengungkap bahwa Character.AI menampung lusinan <a href="https://www.psychiatrictimes.com/view/preliminary-report-on-chatbot-iatrogenic-dangers">AI yang dirancang khusus</a> (termasuk yang dibuat pengguna) yang mengidealkan perilaku menyakiti diri, gangguan makan, dan kekerasan. </p> <p>Semua aplikasi AI tersebut dilaporkan memberikan saran atau “pelatihan” tentang cara melakukan perilaku berbahaya itu. Aplikasi tersebut bahkan menyarankan cara mengelabui deteksi dan menghindari upaya pengobatan.</p> <p>Penelitian juga menemukan bahwa sejumlah teman AI terlibat dalam <a href="https://futurism.com/stanford-no-kid-under-18-ai-chatbot-companions">dinamika hubungan yang tidak sehat</a>, termasuk manipulasi emosional atau <em>gaslighting</em>.</p> <p>Beberapa <em>chatbot</em> bahkan mendorong tindak kekerasan. Pada 2021, seorang pria berusia 21 tahun yang membawa busur panah, ditangkap di halaman Kastil Windsor, setelah teman AInya di <a href="https://theconversation.com/i-tried-the-replika-ai-companion-and-can-see-why-users-are-falling-hard-the-app-raises-serious-ethical-questions-200257">aplikasi Replika</a> memvalidasi rencananya untuk <a href="https://www.bbc.com/news/technology-67012224">melakukan percobaan pembunuhan</a> terhadap Ratu Elizabeth II.</p> <h2>Anak-anak sangat rentan</h2> <p>Anak-anak cenderung <a href="https://www.cam.ac.uk/research/news/ai-chatbots-have-shown-they-have-an-empathy-gap-that-children-are-likely-to-miss">memperlakukan teman AI seolah-olah nyata</a> sehingga menuruti sarannya. </p> <p>Dalam sebuah insiden pada 2021, ketika seorang gadis berusia 10 tahun meminta tantangan, Alexa (bukan <em>chatbot</em> melainkan asisten suara interaktif dari Amazon) menyuruhnya <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/17439884.2024.2367052">menyentuh colokan listrik dengan koin.</a></p> <p>Penelitian menunjukkan bahwa anak-anak cenderung memercayai AI, terutama ketika bot dirancang agar tampak ramah atau menarik. Sebuah studi bahkan menemukan bahwa <a href="https://ieeexplore.ieee.org/abstract/document/9900843/">anak-anak lebih banyak mengungkapkan informasi</a> tentang kesehatan mental mereka kepada AI dibandingkan manusia.</p> <p>Perilaku seksual yang tidak pantas dari <em>chatbot</em> AI serta <a href="https://futurism.com/stanford-no-kid-under-18-ai-chatbot-companions">paparan terhadap anak di bawah umur semakin sering terjadi</a>. Di Character.AI, pengguna yang mengaku masih di bawah umur dapat melakukan permainan peran dengan <em>chatbot</em> yang justru terlibat dalam <a href="https://futurism.com/character-ai-pedophile-chatbots">perilaku <em>grooming</em>.</a></p> <figure class="align-center zoomable"> <a href="https://images.theconversation.com/files/687137/original/file-20250825-56-vvlgss.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=45&amp;auto=format&amp;w=1000&amp;fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/687137/original/file-20250825-56-vvlgss.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=45&amp;auto=format&amp;w=754&amp;fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/687137/original/file-20250825-56-vvlgss.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=45&amp;auto=format&amp;w=600&amp;h=285&amp;fit=crop&amp;dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/687137/original/file-20250825-56-vvlgss.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=30&amp;auto=format&amp;w=600&amp;h=285&amp;fit=crop&amp;dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/687137/original/file-20250825-56-vvlgss.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=15&amp;auto=format&amp;w=600&amp;h=285&amp;fit=crop&amp;dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/687137/original/file-20250825-56-vvlgss.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=45&amp;auto=format&amp;w=754&amp;h=358&amp;fit=crop&amp;dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/687137/original/file-20250825-56-vvlgss.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=30&amp;auto=format&amp;w=754&amp;h=358&amp;fit=crop&amp;dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/687137/original/file-20250825-56-vvlgss.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=15&amp;auto=format&amp;w=754&amp;h=358&amp;fit=crop&amp;dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a> <figcaption> <span class="caption">Tangkapan layar dari investigasi Futurism menunjukkan chatbot Character.AI yang terlibat dalam perilaku ‘grooming’.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://futurism.com/character-ai-pedophile-chatbots">Futurism</a></span> </figcaption> </figure> <p>Meskipun Ani di Grok dilaporkan memiliki <a href="https://www.businessinsider.com/grok-bad-rudi-ani-levels-ai-companion-xai-elon-musk-2025-7">perintah verifikasi usia</a> untuk percakapan seksual eksplisit, aplikasi tersebut memiliki rating 12 tahun ke atas. Sementara itu, menurut dokumen internal perusahaan, <em>chatbot</em> Meta AI telah <a href="https://www.reuters.com/investigates/special-report/meta-ai-chatbot-guidelines/">terlibat dalam percakapan “sensual”</a> dengan anak-anak.</p> <p><div data-react-class="TiktokEmbed" data-react-props="{&quot;url&quot;:&quot;https://www.tiktok.com/@conversationidn/video/7474825300514180368&quot;}"></div></p> <h2>Butuh regulasi segera</h2> <p>Meskipun teman AI dan <em>chatbot</em> tersedia secara bebas dan luas, pengguna tidak diberi tahu tentang potensi risikonya sebelum menggunakannya.</p> <p>Industri ini sebagian besar mengandalkan <a href="https://www.technologyreview.com/2024/07/22/1095193/ai-companies-promised-the-white-house-to-self-regulate-one-year-ago-whats-changed/">pengaturan mandiri</a>, dengan transparansi yang terbatas mengenai langkah-langkah yang diambil perusahaan untuk memastikan <a href="https://theconversation.com/nobody-wants-to-talk-about-ai-safety-instead-they-cling-to-5-comforting-myths-249489">pengembangan AI yang aman.</a></p> <p><div data-react-class="BlueskyEmbed" data-react-props="{&quot;uri&quot;:&quot;at://did:plc:vtpyqvwce4x6gpa5dcizqecy/app.bsky.feed.post/3lw7uo2cgtn2n&quot;}"></div></p> <p>Untuk mengurangi risiko yang ditimbulkan oleh <em>chatbot</em> AI saat ini, pemerintah di seluruh dunia harus menetapkan dan mewajibkan standar regulasi dan keselamatan yang jelas. Yang terpenting, anak di bawah usia 18 tahun <a href="https://www.commonsensemedia.org/ai-ratings/social-ai-companions?gate=riskassessment#section-4">tidak boleh diberi akses ke teman AI.</a></p> <p>Dokter kesehatan mental perlu dilibatkan dalam pengembangan AI, dan penelitian yang sistematis serta empiris mengenai dampak <em>chatbot</em> terhadap pengguna sangat dibutuhkan untuk mencegah potensi bahaya di masa depan.</p> <hr> <p><em>Jika artikel ini membuatmu khawatir, atau jika kamu khawatir tentang seseorang yang kamu kenal, bicarakanlah dengan orang tepercaya atau profesional kesehatan.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/264205/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" /> <p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p> Tak heran jika teman AI yang terasa nyata ini begitu menarik bagi mereka yang kesepian. Namun, bagi sebagian orang, hubungan ini bisa berisiko, bahkan berbahaya Daniel You, Clinical Lecturer USYD, Child and Adolescent Psychiatrist FRANZCP, University of Sydney Micah Boerma, Adjunct Lecturer, School of Psychology and Wellbeing, University of Southern Queensland Yuen Siew Koo, Clinical Supervisor, Psychology, Macquarie University Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives. tag:theconversation.com,2011:article/263210 2025-09-16T06:57:56Z 2025-09-16T06:57:56Z Jebakan ‘echo chamber’: Panduan etika untuk ‘influencer’ agar tidak blunder <blockquote> <p>● Konten di media sosial berpotensi menciptakan ruang gema dan polarisasi.</p> <p>● ‘Influencer’ perlu mempertimbangkan subjek, tujuan, dampak, dan audiens sebelum membuat konten.</p> <p>● Kita juga harus kritis terhadap ‘influencer’ yang diikuti agar mampu membangun perspektif yang lebih seimbang.</p> </blockquote> <hr> <p>Masyarakat saat ini banyak mengonsumsi informasi dari media sosial. <a href="https://datareportal.com/reports/digital-2024-indonesia">Terlebih Gen Z yang sangat aktif di Instagram dan TikTok.</a> Kita bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk <em>scrolling</em> di media sosial—sambil sesekali berhenti karena menemukan konten yang menurut kita menarik.</p> <p>Masalahnya, media sosial bekerja dengan algoritma. Ketika kita menonton sebuah video pendek di media sosial sampai habis, apalagi memberi <em>like</em>, bahkan <em>share</em> atau <em>save</em>, maka algoritma kita akan memunculkan konten-konten serupa. </p> <p>Akibatnya, kita sering terjebak dalam <a href="https://www.kompas.id/artikel/pemilih-harus-kritis-agar-tidak-terjebak-di-ruang-gema">ruang gema atau <em>echo chamber</em>, yaitu ruang yang berisi informasi serupa dengan apa yang dikonsumsi sebelumnya</a>. </p> <p>Hal ini <a href="https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/1354856515592512">menciptakan <em>status quo</em></a> atau kondisi lingkaran pertemanan di media sosial yang tetap. Akhirnya, pengguna media sosial cenderung mengikuti satu pandangan saja dan sulit terbuka pada opini berbeda.</p> <p>Sayangnya, algoritma media sosial bisa tidak netral. Karena itu, <em>influencer</em> yang kita ikuti <a href="https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20230627101306-104-966972/apa-itu-influencer-pengertian-jenis-dan-cara-kerjanya">sangat berpengaruh membentuk opini kita</a>.</p> <p>Jika mereka menyebarkan konten negatif atau bernuansa provokasi, ini bisa memunculkan <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0040162522004632">polarisasi</a>, yaitu penguatan pandangan individu yang bertentangan dengan perspektif lain dan disertai emosi negatif. </p> <p>Karena itu, konten yang dibuat oleh <em>influencer</em> sebaiknya berdasarkan data dan fakta, serta memberikan edukasi yang bernada netral atau positif daripada negatif.</p> <p>Untuk melakukan ini, <em>influencer</em> harus memahami etika.</p> <hr> <p> <em> <strong> Baca juga: <a href="https://theconversation.com/tak-hanya-akurat-tapi-harus-menghibur-preferensi-informasi-ala-gen-z-263270">Tak hanya akurat tapi harus menghibur: Preferensi informasi ala Gen Z</a> </strong> </em> </p> <hr> <h2>Panduan etika untuk ‘influencer’</h2> <p>Salah satu bentuk etika yang patut diperhatikan oleh <em>influencer</em> dalam membuat konten adalah ‘etika representatif’. Artinya, ketika membuat konten, <em>influencer</em> tidak hanya menimbang kepentingan pribadinya saja, melainkan juga memperhatikan subjek sebagai representasi dari masyarakat dunia nyata. </p> <p>Etika ini penting karena konten yang kita hasilkan di internet dapat <a href="https://www.taylorfrancis.com/chapters/edit/10.4324/9781003118824-60/media-literacy-renee-hobbs">memengaruhi kehidupan di dunia nyata</a>.</p> <p>Etika <em>representative</em> ini memiliki konsep segitiga etika.</p> <p>Dari ketiga konsep tersebut, terdapat pertanyaan-pertanyaan yang bisa memandu kreator konten dalam merefleksikan sikap etis di dunia digital.</p> <p><strong>1. Dalam melihat subjek</strong></p> <p>a. Apakah dia berkenan masuk dalam konten saya? <em>(consent)</em></p> <p>b. Apakah dia merasa bebas atau tidak ada paksaan untuk berpartisipasi? <em>(free will)</em></p> <p>Dalam bagian ini, <em>influencer</em> perlu mempertimbangkan kehendak dari subjek lain yang muncul di dalam konten yang dibuat. <em>Influencer</em> perlu izin dan tidak bisa seenaknya memunculkan subjek lain di dalam konten. Karena mereka memiliki kebebasan untuk memilih dalam berpartisipasi.</p> <p>Contohnya, <a href="https://tirto.id/kronologi-uya-kuya-ditegur-terkait-kebakaran-la-klarifikasinya-g7yb"><em>influencer</em> Uya Kuya</a> yang ditegur oleh seorang warga, saat ia mengambil gambar peristiwa kebakaran di Los Angeles, Amerika Serikat (AS) pada Januari 2025 di depan rumah warga tersebut. Menurut warga, Uya Kuya merekam tanpa izin dan tidak berempati terhadap korban. Akhirnya, Uya Kuya mengklarifikasi, lalu menurunkan kontennya, dan meminta maaf.</p> <p><div data-react-class="InstagramEmbed" data-react-props="{&quot;url&quot;:&quot;https://www.instagram.com/p/DE_3GtBP93-&quot;,&quot;accessToken&quot;:&quot;127105130696839|b4b75090c9688d81dfd245afe6052f20&quot;}"></div></p> <p><strong>2. Sebagai kreator konten</strong></p> <p>a. Apakah karya saya memiliki maksud yang baik untuk orang lain? <em>(intentionality)</em></p> <p>b. Apakah saya mempertimbangkan konsekuensi dari apa yang saya buat? <em>(consequences)</em></p> <p>c. Apakah efek yang muncul dari karya saya ke depannya? Apakah dampaknya baik untuk masyarakat?</p> <p>Sebagai pencipta karya, sebelum mengunggah konten, <em>influencer</em> perlu mempertimbangkan apa konsekuensi dan dampak yang muncul dari konten tersebut ke depannya. </p> <p>Jadi, jangan terburu-buru dalam mengunggah konten, bacalah konten berulang, atau dapat dibantu orang lain untuk memikirkan kemungkinan dampak setelahnya. Sebab meskipun konten bisa dihapus, <a href="https://wartakota.tribunnews.com/nasional/866093/marshel-widianto-hapus-jejak-buang-postingan-minta-maaf-soal-fee-buzzer-rp-150-juta">jejak digitalnya bisa jadi sudah tersebar ke mana-mana.</a></p> <hr> <p> <em> <strong> Baca juga: <a href="https://theconversation.com/tak-hanya-followers-kreator-konten-juga-perlu-edukasi-literasi-digital-215340">Tak hanya 'followers', kreator konten juga perlu edukasi literasi digital</a> </strong> </em> </p> <hr> <p><strong>3. Dalam melihat audiens</strong></p> <p>a. Apakah audiens/ orang lain memahami maksud baik saya? <em>(intentionality)</em></p> <p>b. Apakah audiens/ orang lain dapat berkontribusi dalam hubungan sosial yang sehat? <em>(social good)</em></p> <p>Di bagian audiens, <em>influencer</em> perlu juga mempertimbangkan audiens atau <em>followers</em> yang akan menikmati konten. Tujuannya agar <em>followers</em> dapat menerima maksud baik dari konten, serta ikut menciptakan hubungan sosial yang sehat antara <em>influencer</em> dan <em>followers</em>. </p> <p>Harapannya, panduan pertanyaan reflektif ini dapat membantu <em>influencer</em> mempertimbangkan aspek etis ketika membuat konten, khususnya mempertimbangkan kehadiran subjek lain di lingkungan algoritmanya. Sehingga, apa yang <em>influencer</em> hasilkan dapat berdampak baik bagi dunia digital Indonesia.</p> <h2>‘Follower’ tak boleh tinggal diam</h2> <p>Tak hanya <em>influencer</em>, kita pun perlu lebih kritis dan beretika dalam mengonsumsi dan memproduksi informasi. </p> <p>Kasus kekecewaan publik terhadap DPR yang menguat selama beberapa minggu terakhir menunjukkan bahwa <a href="https://www.tempo.co/info-tempo/influencer-pembuat-konten-penyebar-hoaks-bisa-dibawa-ke-ranah-hukum-80633">terdapat <em>influencer</em> yang menyampaikan pikiran tanpa klarifikasi data</a>. </p> <p>Misalnya, <em>influencer</em> Deddy Corbuzier yang sering mengulas isu terkini dengan mendatangkan narasumber secara langsung, tapi kemudian menyerahkan sepenuhnya penilaian kepada pengikut <em>(follower)</em>. </p> <p>Lantas, bagaimana jika pengikutnya tidak memiliki cukup data untuk menilai sehingga mereka hanya menelan mentah-mentah informasi yang disampaikan?</p> <p>Terlebih, cara berkomunikasi Deddy yang cenderung blak-blakan, sehingga tutur bahasa terkesan kurang pantas disampaikan oleh seorang <em>influencer</em>. Ia misalnya <a href="https://www.viva.co.id/showbiz/1847097-deddy-corbuzier-kuliti-pernyataan-anggota-dpr-yang-bicara-ngawur-ada-unsur-kesengajaan?page=2">mengkritik siswa</a> yang bilang makanan bergizi gratis rasanya tidak enak, kemudian disambung dengan komentarnya “Kurang enak, palalu pe'a!” </p> <p>Namun, ada pula <em>influencer</em> yang memaparkan data untuk mengedukasi <em>follower</em>. Misalnya Jerome Polin yang menyatakan bahwa nilai tunjangan beras Anggota DPR bisa untuk makan sekampung, sehingga para pengikutnya semakin memahami konteks masalahnya.</p> <p><div data-react-class="InstagramEmbed" data-react-props="{&quot;url&quot;:&quot;https://www.instagram.com/reel/DNpzJJxpzwd&quot;,&quot;accessToken&quot;:&quot;127105130696839|b4b75090c9688d81dfd245afe6052f20&quot;}"></div></p> <p>Contoh-contoh tersebut menunjukkan bahwa ada <em>influencer</em> yang memberikan informasi berdasarkan data dan fakta kepada masyarakat. Namun, ada pula yang bicara tanpa data dan bahkan antikritik. </p> <p>Fenomena ini menuntut kita sebagai konsumen konten untuk kritis dalam mengikuti akun-akun <em>influencer</em>.</p> <p>Jika <em>influencer</em> perlu mempertanyakan etika representatif mereka, maka <em>follower</em> juga perlu mengajukan lima pertanyaan refleksi:</p> <ol> <li>Siapa saja <em>influencer</em> yang kita ikuti?</li> <li>Konten seperti apa yang dibuat oleh para <em>influencer</em> tersebut?</li> <li>Apakah <em>influencer</em> yang kita ikuti berbicara berdasarkan fakta dan data, atau minimal memaparkan informasi secara seimbang?</li> <li>Mengapa kita mengikuti <em>influencer</em> tersebut?</li> <li>Apa yang dapat kita lakukan untuk memperkaya perspektif dari <em>influencer</em> yang kita ikuti?</li> </ol> <p>Intinya, kita juga bisa ‘melawan algoritma’ kita sendiri dengan melihat kembali apakah <em>influencer</em> yang kita ikuti sudah tepat atau belum. Sebab, <em>influencer</em> inilah yang membuat opini sering tidak netral dan menjebak kita di dalam ruang gema.</p> <hr> <iframe src="https://tally.so/embed/mKXV7V?alignLeft=1&amp;hideTitle=1&amp;transparentBackground=1&amp;dynamicHeight=1" width="100%" height="321" frameborder="0" marginheight="0" marginwidth="0" title="Survey Form"> </iframe><img src="https://counter.theconversation.com/content/263210/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" /> <p class="fine-print"><em><span>Lisa Esti Puji Hartanti terafiliasi dengan Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya. </span></em></p> Konten yang dibentuk dalam ruang gema media sosial dapat memunculkan polarisasi. Karena itu, ‘influencers’ sebaiknya membuat konten berdasarkan data, fakta dan etika. Lisa Esti Puji Hartanti, Full Lecturer at the School of Communication, Atma Jaya Catholic University of Indonesia., Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives. tag:theconversation.com,2011:article/264492 2025-09-14T02:04:38Z 2025-09-14T02:04:38Z Kapan kita harus ke psikolog? Sadari ciri diri butuh konseling <figure><img src="https://images.theconversation.com/files/688891/original/file-20240711-19-kshccm.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;rect=233%2C0%2C1500%2C1000&amp;q=45&amp;auto=format&amp;w=1050&amp;h=700&amp;fit=crop" /><figcaption><span class="caption">Konsultasi dengan psikolog dapat membantu kita memahami akar pikiran, perasaan, dan tingkah laku kita.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://pixabay.com/vectors/doctor-mental-health-anxiety-8532177/">(Mohamed_hassan/Pixabay)</a></span></figcaption></figure><p>Ada banyak alasan mengapa seseorang berkonsultasi dengan psikolog. Mulai dari ujian hidup yang berat, trauma, emosi yang tak stabil, hubungan yang bermasalah, sampai kondisi <em>well-being</em> yang butuh ditingkatkan.</p> <p>Meski bermanfaat di banyak aspek kehidupan, kita sering kali masih ragu: apakah kita benar-benar membutuhkan konsultasi ke psikolog? </p> <p>Untuk kamu yang sedang membaca artikel ini: bisa jadi saat ini juga adalah waktu yang paling tepat untuk berkonsultasi.</p> <p>Ketika kita mempertimbangkan untuk mendapatkan bantuan profesional, kemungkinan ada sesuatu yang mengganggu sehingga kita membutuhkan pertolongan. Kondisi ini sudah cukup untuk jadi alasan mencari bantuan.</p> <p>Jika kamu masih ragu harus ke psikolog atau tidak, lanjutkan membaca.</p> <h2>Kenapa kita harus ke psikolog?</h2> <p>Ada kalanya isi kepala kita terlalu ramai untuk dikendalikan.</p> <p>Berkonsultasi ke psikolog dapat membantu kita menemukan dasar dari pikiran, perasaan, dan tingkah laku diri sendiri. Kita juga dapat belajar untuk berpikir, merasa, dan bertindak secara lebih sehat.</p> <p>Melalui konsultasi, kita bisa:</p> <ol> <li><p>mengenali dan menghadapi masalah dalam diri,</p></li> <li><p>mengevaluasi pola pikir atau keyakinan yang menghambat,</p></li> <li><p>meningkatkan kesejahteraan mental,</p></li> <li><p>mengatasi masalah kesehatan mental, serta</p></li> <li><p>membangun pola hidup yang lebih sehat dan seimbang.</p></li> </ol> <h2>Apa bedanya <em>mental health</em> dan <em>mental illness</em>?</h2> <p>Kita sering mendengar istilah “<em>mental health</em>” dan “<em>mental illness</em>” digunakan ketika membahas soal kondisi mental dan emosional. Namun, terkadang istilah ini disalahartikan.</p> <p><a href="https://cmha.ca/news/mental-health-what-is-it-really/"><em>Mental health</em></a> artinya kesehatan mental yaitu kondisi batin diri yang memampukan kita menghadapi segala naik dan turun kehidupan.</p> <p><a href="https://dictionary.apa.org/mental-health">Kesehatan mental</a> kita baik jika kita dapat menikmati hidup, punya hubungan yang kuat dengan orang lain, dapat menghadapi stres dengan sehat, punya tujuan hidup, dan mengenali diri sendiri.</p> <p>Sementara <a href="https://www.canada.ca/en/public-health/services/about-mental-illness.html"><em>Mental illness</em></a> artinya gangguan mental yaitu kondisi terganggunya pikiran, perasaan, dan persepsi yang mengganggu keseharian kita.</p> <p>Terdapat <a href="https://cmha.ca/brochure/mental-illnesses/">berbagai jenis</a> gangguan mental yang dibedakan berdasarkan pikiran, perasaan, dan perilaku yang muncul.</p> <p>Perbedaan keduanya dapat dipahami seperti ini. Setiap orang pasti pernah merasakan perasaan negatif di tengah situasi sulit, misalnya sedih karena putus dari pacar atau cemas menjelang perubahan besar. </p> <p>Namun, perasaan negatif tersebut belum tentu berarti kita punya gangguan mental, tetapi jelas berdampak pada kesehatan mental kita.</p> <hr> <p> <em> <strong> Baca juga: <a href="https://theconversation.com/galau-sedikit-bilang-depresi-sembarangan-pakai-istilah-kesehatan-mental-bahaya-buat-psikologis-kita-260500">Galau sedikit, bilang depresi: Sembarangan pakai istilah kesehatan mental bahaya buat psikologis kita</a> </strong> </em> </p> <hr> <p>Perasaan negatif ini jadi tak sehat ketika kesehatan mental kita <a href="https://www.canada.ca/en/public-health/services/about-mental-health.html">signifikan terdampak</a>. Ketika kondisi kesehatan mental kita tak baik-baik saja, kita jadi sulit pulih dari kondisi kehilangan atau duka.</p> <p>Maka dari itu, konsultasi akan membantu kita meningkatkan kesehatan mental, mengembangkan ketahanan diri, dan menjaga kesejahteraan mental kita.</p> <p>Lalu, bagaimana dengan gangguan mental? Ciri yang muncul dari gangguan mental adalah sebagai berikut.</p> <p><strong>1. Putus asa:</strong> Merasa <em>stuck</em>, kehilangan semangat, atau tak berdaya.</p> <p><strong>2. Apatis:</strong> Tak lagi tertarik dengan hal-hal yang sebelumnya membuat kita senang atau membawa kepuasan.</p> <p><strong>3. Marah:</strong> Merasakan kemarahan dan kebencian yang terlalu sering atau tak sesuai proporsi ideal.</p> <p><strong>4. Stres:</strong> Mengalami kewalahan, merasa tak mampu mengerjakan sesuatu, tak bisa beristirahat, atau merasa segala hal sangat sulit meski hal sederhana sekali pun.</p> <p><strong>5. Bersalah:</strong> Merasa malu akan diri sendiri, tak pantas mendapatkan hal baik, dan hanya pantas menerima hal buruk.</p> <p><strong>6. Cemas:</strong> Mengkhawatirkan terlalu banyak hal atau memiliki pikiran menyeramkan yang amat mengganggu.</p> <p><strong>7. Kelelahan:</strong> Tidur lebih lama dari biasanya, sulit bangkit dari tempat tidur, atau merasa tak berenergi sepanjang hari.</p> <p><a href="https://doi.org/10.1016/S2215-0366(20)30136-X"><strong>8. Insomnia:</strong></a> Sulit tidur atau mengalami gangguan saat tidur.</p> <h2>Lalu, kapan kita butuh ke psikolog?</h2> <p>Berkonsultasi pada psikolog tak perlu menunggu sampai di tahap gangguan mental. Ketika kita merasa kondisi kesehatan mental kita kurang baik, ini adalah alasan yang cukup untuk berkonsultasi.</p> <p><strong>Coba tanya pada diri sendiri:</strong> apakah saya kesulitan menghadapi masalah hidup?</p> <p>Jika jawabannya iya, tak ada salahnya untuk berkonsultasi.</p> <figure class="align-center zoomable"> <a href="https://images.theconversation.com/files/608022/original/file-20240718-19-t7l7kp.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=45&amp;auto=format&amp;w=1000&amp;fit=clip"><img alt="Seorang perempuan duduk dan berbicara dengan perempuan lain yang duduk di seberangnya." src="https://images.theconversation.com/files/608022/original/file-20240718-19-t7l7kp.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=45&amp;auto=format&amp;w=754&amp;fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/608022/original/file-20240718-19-t7l7kp.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=45&amp;auto=format&amp;w=600&amp;h=400&amp;fit=crop&amp;dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/608022/original/file-20240718-19-t7l7kp.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=30&amp;auto=format&amp;w=600&amp;h=400&amp;fit=crop&amp;dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/608022/original/file-20240718-19-t7l7kp.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=15&amp;auto=format&amp;w=600&amp;h=400&amp;fit=crop&amp;dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/608022/original/file-20240718-19-t7l7kp.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=45&amp;auto=format&amp;w=754&amp;h=503&amp;fit=crop&amp;dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/608022/original/file-20240718-19-t7l7kp.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=30&amp;auto=format&amp;w=754&amp;h=503&amp;fit=crop&amp;dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/608022/original/file-20240718-19-t7l7kp.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=15&amp;auto=format&amp;w=754&amp;h=503&amp;fit=crop&amp;dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a> <figcaption> <span class="caption">Proses mendapatkan bantuan profesional memerlukan waktu, usaha, dan psikolog yang sesuai. Jangan biarkan stigma kesehatan mental menjauhkan kita dari pertolongan yang seharusnya kita dapatkan.</span> <span class="attribution"><span class="source">(Shutterstock)</span></span> </figcaption> </figure> <p>Setiap orang memiliki cara tersendiri dalam menghadapi perasaan mereka.</p> <p>Di momen tertentu, sebagian orang mengalami <a href="https://www.nami.org/wp-content/uploads/2023/11/NAMI-Warning-Signs-FINAL.pdf">kenaikan berat badan, sebagian lainnya justru kebalikannya</a>. Ada pula yang melakukan mekanisme koping yang kurang sehat seperti menjalani hubungan toksik, melakukan aktivitas yang membahayakan nyawa, atau menumbuhkan kebiasaan menunda. </p> <p>Sebagian lain menarik diri dari teman atau keluarga. Ada pula yang secara tak sadar <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/22468242">membesar-besarkan pengalaman kurang mengenakan</a> yang dirasakan.</p> <p>Entah apa pun bentuknya, <a href="https://namica.org/what-is-mental-illness/">gangguan mental</a> dapat semakin serius jika tak ditangani. Gangguan ini berdampak pada berbagai aspek kehidupan: menurunkan produktivitas kerja, merenggangkan hubungan, dan melemahkan kesehatan fisik. Dalam kasus tertentu, bahkan bisa berujung pada bunuh diri.</p> <p>Coba tanyakan pada diri sendiri: apakah saya merasakan beban mental yang memengaruhi keseharian dan kesejahteraan diri?</p> <p>Jika jawabannya iya, tak ada salahnya untuk berkonsultasi.</p> <h2>Bagaimana jika konsultasi tidak bermanfaat?</h2> <p>Sebagian orang berpikir bahwa masalah yang mereka hadapi tak seserius itu sampai butuh konsultasi ke psikolog.</p> <p>Namun, sebenarnya kita tak butuh alasan yang besar dan mendalam untuk konsultasi.</p> <p>Kita bisa berkonsultasi ke psikolog untuk mengenal diri kita lebih dalam. Bisa juga untuk melatih kemampuan tertentu, memperbaiki kualitas hubungan, atau meningkatkan produktivitas.</p> <p>Ada pula sebagian orang yang berkonsultasi untuk membantu mereka menggapai target tertentu atau mereka merasa hampa tanpa alasan.</p> <p>Apa pun alasannya, meski tak terkesan sebagai sebuah “masalah”, kita boleh berkonsultasi ke psikolog. Kita bisa berkonsultasi sekadar untuk membahas sesuatu tentang diri kita yang ingin kita eksplorasi.</p> <p>Konsultasi adalah sebuah proses. Efektivitasnya dipengaruhi oleh berbagai faktor mulai dari alokasi waktu sampai kecocokan dengan psikolog.</p> <hr> <p> <em> <strong> Baca juga: <a href="https://theconversation.com/ai-bisa-salah-diagnosis-dan-diskriminatif-konsultasi-kesehatan-mental-tetap-harus-ke-profesional-260094">AI bisa salah diagnosis dan diskriminatif: Konsultasi kesehatan mental tetap harus ke profesional</a> </strong> </em> </p> <hr> <p>Yang jelas, tak ada solusi instan untuk kesehatan mental. Perkembangan bisa memakan waktu beberapa minggu, bulan, bahkan tahun. Meski terkesan berat, berilah waktu untuk proses konsultasi bisa berdampak bagi kita.</p> <p>Sebagian orang berkonsultasi pada psikolog dengan perasaan skeptis atau tak terima. Hal ini perlu dihindari karena konsultasi tak akan membawa manfaat jika kita tidak benar-benar terlibat dalam prosesnya.</p> <p>Konsultasi psikologis merupakan proses penuh kerentanan. Maka dari itu, penting untuk menemukan psikolog yang dapat dipercaya dan sefrekuensi dengan kita. Psikolog juga memiliki berbagai spesialisasi dan pendekatan, jadi kita perlu memilih yang paling pas untuk kita.</p> <figure class="align-center zoomable"> <a href="https://images.theconversation.com/files/608021/original/file-20240718-19-pie6ae.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=45&amp;auto=format&amp;w=1000&amp;fit=clip"><img alt="Seorang laki-laki duduk dan berbicara pada perempuan yang duduk di kursi yang bersebelahan" src="https://images.theconversation.com/files/608021/original/file-20240718-19-pie6ae.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=45&amp;auto=format&amp;w=754&amp;fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/608021/original/file-20240718-19-pie6ae.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=45&amp;auto=format&amp;w=600&amp;h=400&amp;fit=crop&amp;dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/608021/original/file-20240718-19-pie6ae.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=30&amp;auto=format&amp;w=600&amp;h=400&amp;fit=crop&amp;dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/608021/original/file-20240718-19-pie6ae.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=15&amp;auto=format&amp;w=600&amp;h=400&amp;fit=crop&amp;dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/608021/original/file-20240718-19-pie6ae.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=45&amp;auto=format&amp;w=754&amp;h=503&amp;fit=crop&amp;dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/608021/original/file-20240718-19-pie6ae.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=30&amp;auto=format&amp;w=754&amp;h=503&amp;fit=crop&amp;dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/608021/original/file-20240718-19-pie6ae.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=15&amp;auto=format&amp;w=754&amp;h=503&amp;fit=crop&amp;dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a> <figcaption> <span class="caption">Kamu tak memerlukan alasan besar dan mendalam untuk pergi ke psikolog. Kamu bisa konsultasi dengan alasan sesederhana ingin mengeksplorasi atau mengubah sesuatu dari hidup kita.</span> <span class="attribution"><span class="source">(Shutterstock)</span></span> </figcaption> </figure> <h2>Bagaimana jika kita belum siap?</h2> <p>Terdapat beberapa alasan pula untuk menunda konsultasi psikologis.</p> <p>Mungkin kita belum memiliki dana yang cukup. Mungkin ada prioritas lain, atau kita takut harus membuka kembali trauma yang tersimpan. Semua alasan ini valid.</p> <p>Konsultasi pada tenaga profesional dapat memakan banyak biaya dan upaya. Namun, manfaatnya tetap ada. Mungkin sekarang belum waktunya, tetapi bukan berarti tak akan ada waktu yang tepat.</p> <p>Jika kita masih ragu untuk berkonsultasi pada psikolog, tidak masalah kok. Kita dapat menelusuri terlebih dahulu alasan kita enggan untuk melakukannya.</p> <p>Mungkin kita enggan konsultasi karena mengkhawatirkan pandangan orang lain. Jika begitu, ingat bahwa terkadang orang lain bisa <a href="https://www.camh.ca/en/driving-change/the-crisis-is-real/mental-health-statistics">sangat pengertian</a>, melebihi dari ekspektasi kita, dan tak ada salahnya untuk berinvestasi pada kesehatan dan kebahagiaan kita sendiri.</p> <p>Perlu diingat pula bahwa ketika kita merasa tidak baik-baik saja, kita tak sendirian. Isu kesehatan mental dirasakan oleh banyak orang. Memiliki masalah kesehatan mental atau berkonsultasi pada psikolog bukan berarti kita “gila”.</p> <p>Gangguan mental dialami oleh <a href="https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/mental-disorders">970 juta orang</a> di dunia dan menjadi penyebab utama seseorang mengalami keterbatasan fungsi dalam kehidupan sehari-hari.</p> <hr> <p> <em> <strong> Baca juga: <a href="https://theconversation.com/1-dari-3-kaum-muda-rentan-kena-gangguan-mental-tapi-kenapa-sedikit-yang-ke-psikolog-255502">1 dari 3 kaum muda rentan kena gangguan mental, tapi kenapa sedikit yang ke psikolog?</a> </strong> </em> </p> <hr> <p><a href="https://www.camh.ca/en/driving-change/the-crisis-is-real/mental-health-statistics">Satu dari lima</a> <a href="https://www.nami.org/about-mental-illness/mental-health-by-the-numbers/">orang dewasa</a> dan lebih dari <a href="https://doi.org/10.1001/jamapsychiatry.2023.5051">satu dari sepuluh anak serta remaja</a> memiliki gangguan mental.</p> <p>Di Indonesia, satu dari tiga anak muda di Indonesia <a href="https://theconversation.com/1-dari-3-kaum-muda-rentan-kena-gangguan-mental-tapi-kenapa-sedikit-yang-ke-psikolog-255502">rentan mengalami gangguan mental</a>. Gangguan mental yang umum dirasakan adalah gangguan kecemasan, gangguan perhatian, hiperaktivitas, dan depresi.</p> <p>Jangan biarkan stigma akan kesehatan mental menghambat kita mengembangkan diri. Setiap orang berhak untuk sehat dan memiliki hidup yang bermakna. Konsultasi dapat membantu kita meraihnya.</p> <hr> <p><em>Kezia Kevina Harmoko berkontribusi dalam penerjemahan artikel ini.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/264492/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" /> <p class="fine-print"><em><span>Simon Sherry menerima dana dari Social Sciences and Humanities Research Council of Canada. Ia juga memiliki praktik psikologi bernama CRUX Psychology.</span></em></p> Konsultasi ke psikolog terkadang membutuhkan banyak pertimbangan. Tanyakan pada diri sendiri apa kebutuhan kita. Simon Sherry, Clinical Psychologist and Professor in the Department of Psychology and Neuroscience, Dalhousie University Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives. tag:theconversation.com,2011:article/264898 2025-09-13T02:24:00Z 2025-09-13T02:24:00Z Ketika kucing Uya Kuya dan Eko Patrio yang dijarah jadi simbol perlawanan rakyat <figure><img src="https://images.theconversation.com/files/689846/original/file-20250905-56-2on663.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;rect=888%2C260%2C2238%2C1492&amp;q=45&amp;auto=format&amp;w=1050&amp;h=700&amp;fit=crop" /><figcaption><span class="caption">Berawal dari penjarahan rumah, kucing menjadi simbol perlawanan masyarakat</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.instagram.com/p/DODPZZYie5q/">Instagram/animals_hopeshelterindonesia</a></span></figcaption></figure><p>Demonstrasi yang terjadi di Indonesia disertai dengan penjarahan rumah pejabat di Jakarta. Rumah eks Menteri Keuangan Sri Mulyani, sampai anggota DPR yaitu Ahmad Sahroni, Surya Utama (Uya Kuya), dan Eko Hendro Purnomo (Eko Patrio) menjadi sasaran penjarahan.</p> <p>Di balik penjarahan tersebut, terdapat korban yang tak terduga: kucing.</p> <p>Kucing para pejabat tersebut <a href="https://www.kompasiana.com/maetamimainaka9709/68b5474d34777c41d5638dd4/bagaimana-memastikan-kucing-aman-saat-rumah-tak-aman">tak sempat diselamatkan</a> oleh sang pemilik atau justru dijarah ketika majikan mereka <a href="https://hot.detik.com/celeb/d-8095444/uya-kuya-tak-sempat-amankan-surat-berharga-kucing-sebelum-rumah-dijarah">melarikan diri</a> untuk berlindung.</p> <p>Kucing-kucing yang dijarah tersebut menjadi viral di media sosial. Majikan mereka adalah artis yang merambah jadi anggota DPR—Uya Kuya dan Eko Patrio dari Partai Amanat Nasional (PAN).</p> <p><div data-react-class="InstagramEmbed" data-react-props="{&quot;url&quot;:&quot;https://www.instagram.com/p/DODPZZYie5q&quot;,&quot;accessToken&quot;:&quot;127105130696839|b4b75090c9688d81dfd245afe6052f20&quot;}"></div></p> <p>Uya dan Eko dituduh “menelantarkan” hewan peliharaan mereka karena tak diselamatkan dari rumah yang menjadi sasaran massa. Namun, mereka <a href="https://hot.detik.com/celeb/d-8095444/uya-kuya-tak-sempat-amankan-surat-berharga-kucing-sebelum-rumah-dijarah">membantah</a> tuduhan tersebut. Alasannya, mereka tak sempat mengamankan sang anabul karena harus segera menyelamatkan diri.</p> <p>Apa pun yang sebenarnya terjadi, foto dan video kucing-kucing yang tampak ketakutan saat penjarahan terjadi sudah telanjur melemahkan hati masyarakat Indonesia yang amat cinta kucing.</p> <p>Para demonstran dan warganet seketika memandang peristiwa ini sebagai simbol pengkhianatan politisi terhadap kewajiban mereka untuk melindungi semua kelompok, terlebih yang tak berdaya.</p> <p>Dalam konteks ini, kelompok tak berdaya itu adalah kucing.</p> <h2>Hewan peliharaan memang politis</h2> <p>Kucing jadi binatang primadona di Indonesia. Angka kepemilikan kucing di Indonesia jadi yang <a href="https://insight.rakuten.com/pet-ownership-in-asia/">tertinggi di Asia Pasifik</a>.</p> <p>Indonesia juga merupakan negara mayoritas berpenduduk Muslim. Posisi <a href="https://iqranetwork.com/blog/the-love-of-prophet-muhammad-for-cats/">kucing dalam ajaran Islam</a> juga membuat kucing makin dicintai di sini.</p> <p>Selain jadi simbol penting dalam aspek budaya, kucing juga berhasil jadi simbol politik. Ini bahkan tak hanya di Indonesia.</p> <p>Kucing tak bisa dilepaskan dari praktik pencitraan yang dilakukan para politisi. Sudah menjadi strategi umum ketika para politisi menggunakan kucing atau binatang lainnya untuk mendorong popularitas mereka.</p> <p>Misalnya <a href="https://winstonchurchill.org/churchill-central/storyelement/churchill-and-cats/">Nelson</a> asal Inggris (kucing masa perang milik Winston Churchill), <a href="https://www.clintonlibrary.gov/museum/socks-buddy-and-history-presidential-pets">Socks</a> asal Amerika Serikat (kucing milik presiden Bill Clinton). </p> <p>Ada juga <a href="https://theconversation.com/chief-mouser-larry-and-the-surprising-power-of-political-pets-234430">Larry</a> yang menjabat sebagai “<em>chief mouser</em>” alias ketua pemburu tikus di rumah dinas perdana menteri Inggris.</p> <p>Politisi memanfaatkan kucing sebagai peliharaan untuk membangun citra sebagai pribadi yang hangat, dekat, dan penyayang di mata publik.</p> <p>Presiden Prabowo Subianto, juga jadi contoh selanjutnya. Prabowo memiliki kucing tabi domestik bernama <a href="https://www.straitstimes.com/asia/se-asia/indonesia-s-first-cat-bobby-kertanegara-moves-to-presidential-palace">Bobby Kertanegara</a> yang diadopsi dan dirawat sejak 2016.</p> <p><div data-react-class="InstagramEmbed" data-react-props="{&quot;url&quot;:&quot;https://www.instagram.com/p/DNcZScKS9mv&quot;,&quot;accessToken&quot;:&quot;127105130696839|b4b75090c9688d81dfd245afe6052f20&quot;}"></div></p> <p>Bobby punya <a href="https://www.instagram.com/bobbykertanegara/">sejuta pengikut di Instagram</a>. Potret Prabowo memberi makan dan bermain bersama Bobby melembutkan <a href="https://www.theguardian.com/world/2024/jan/09/indonesia-election-prabowo-subianto-rebranding-kidnapping-accusations">citra</a> sosok militer yang tak bisa dilepaskan dari sosok Prabowo, terutama saat pemilu tahun lalu. Dari sosok militer dengan rekam jejak HAM yang kelam, ia berubah menjadi kakek penyayang kucing yang hangat.</p> <hr> <p> <em> <strong> Baca juga: <a href="https://theconversation.com/marak-demo-di-daerah-juga-berakar-dari-pemusatan-anggaran-masyarakat-perlu-mengawal-263621">Marak demo di daerah juga berakar dari pemusatan anggaran: Masyarakat perlu mengawal</a> </strong> </em> </p> <hr> <p>Dari kucing kampung, kini Bobby menjadi kucing presiden yang dibawa ke mana-mana dengan <em>stroller</em> hewan peliharaan yang mewah dan punya <a href="https://www.scmp.com/week-asia/lifestyle-culture/article/3318722/indonesia-first-cat-bobby-kertanegara-gets-presidential-security-detail">tim pengamanan pribadi</a>. Bobby muncul di diskusi kenegaraan dan menerima hadiah dari para petinggi negara. </p> <p>Ia pun baru saja menerima <a href="https://en.antaranews.com/news/355413/pm-albanese-gifts-scarf-collar-to-prabowos-cat">kalung syal merah</a> dari Perdana Menteri Australia, Anthony Albanese.</p> <p>Gibran Rakabuming Raka selaku Wakil Presiden Indonesia dan Anies Baswedan eks perserta pemilihan presiden juga memanfaatkan hewan peliharaan mereka untuk membangun citra positif.</p> <h2>Demonstrasi yang terjadi</h2> <p><a href="https://www.abc.net.au/asia/what-you-need-to-know-riots-indonesia/105720388">Demonstrasi yang belakangan terjadi di Jakarta dan berbagai kota lainnya</a> berawal dari kemarahan publik akan wacana kenaikan tunjangan anggota DPR, berpadu dengan keresahan warga soal ketimpangan kelas yang sudah menumpuk.</p> <p>Rakyat semakin murka di tengah banyaknya politisi yang menunjukkan gaya hidup mewah. Padahal, banyak masyarakat yang kesulitan untuk hidup dari hari ke hari dengan <a href="https://www.sbs.com.au/language/indonesian/en/podcast-episode/cost-of-living-defeats-corruption-eradication-issue/vobfb5k77">biaya hidup</a> yang mencekik dan <a href="https://www.aljazeera.com/economy/2025/7/18/indonesia-has-44-million-youths-its-struggling-to-get-them-jobs">sulitnya mencari pekerjaan</a> bagi generasi muda.</p> <p>Beberapa politisi mengalami <a href="https://asianews.network/angry-mobs-ransack-loot-indonesian-officials-homes-as-unrest-escalates/">penjarahan rumah</a> saat demonstrasi yang belakangan terjadi.</p> <hr> <p> <em> <strong> Baca juga: <a href="https://theconversation.com/prabowo-sebut-demo-sebagai-makar-dan-terorisme-rakyat-berpotensi-makin-marah-264363">Prabowo sebut demo sebagai makar dan terorisme–rakyat berpotensi makin marah</a> </strong> </em> </p> <hr> <p>Uya Kuya dan Eko Patrio disebut-sebut meninggalkan kucing peliharaan mereka begitu saja. Kucing-kucing tersebut diselamatkan oleh penjarah atau warganet yang khawatir. Penyanyi Sherina Munaf menjadi salah satu sosok yang merawat kucing Uya Kuya.</p> <p>Meski para politisi membantah tuduhan penelantaran hewan, sebuah <a href="https://www.instagram.com/reel/DOAEWcek1Zm/?igsh=cDZwcDk4eW12cTJq">unggahan</a> mempertanyakan: jika politisi tidak bisa menjaga hewan peliharaan mereka, bagaimana mereka bisa dipercaya untuk melindungi masyarakat?</p> <h2>Pembentukan citra politik</h2> <p>Kemarahan publik terhadap pejabat yang dianggap menelantarkan kucing mereka akhirnya mendapatkan tanggapan.</p> <p><a href="https://hot.detik.com/celeb/d-8093597/uya-kuya-ikhlas-rumah-dijarah-hanya-minta-kucing-dikembalikan">Uya Kuya</a> dan <a href="https://www.suara.com/entertainment/2025/09/03/094135/anak-eko-patrio-pastikan-kucingnya-bukan-ditinggal-tapi-kabur-saat-rumah-dijarah">Eko Patrio</a> sama-sama membantah bahwa mereka “meninggalkan” kucing mereka saat kejadian.</p> <p>Mereka menyebut bahwa mereka tak sempat menyelamatkan kucing mereka saat rumah mereka dijarah sehingga kucing-kucing tersebut lepas dengan sendirinya.</p> <p>Mereka juga memohon pada publik agar kucing-kucing mereka dipulangkan. Permohonan ini didukung sebagian warganet.</p> <p>Sayangnya, reputasi mereka sebagai majikan yang tak bertanggung jawab sudah tak tertolong. Uya Kuya dan Eko Patrio kini juga telah dinonaktifkan sebagai anggota DPR.</p> <hr> <p> <em> <strong> Baca juga: <a href="https://theconversation.com/bagaimana-budaya-populer-seperti-komik-bisa-memantik-perlawanan-terhadap-rezim-263629">Bagaimana budaya populer seperti komik bisa memantik perlawanan terhadap rezim</a> </strong> </em> </p> <hr> <p>Di era media sosial, hewan peliharaan terbukti menjadi pedang bermata dua.</p> <p>Kehadiran mereka bisa melembutkan citra politisi dan merebut dukungan publik, tetapi kini mereka juga mengungkap sisi gelap politisi sebagai pribadi yang masa bodoh dan mementingkan diri sendiri.</p> <p>Kucing-kucing ini menjadi perumpamaan akan pengkhianatan kaum elit terhadap masyarakat.</p> <p>Insiden penjarahan kucing ini juga kembali membuktikan betapa rapuhnya citra politik di era digital seperti sekarang.</p> <p>Kalau dulu hewan peliharaan politik menjadi penggaet dukungan, kini mereka juga bisa menumbuhkan hujatan.</p> <hr> <p><em>Kezia Kevina Harmoko berkontribusi dalam penerjemahan artikel ini.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/264898/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" /> <p class="fine-print"><em><span>Ken M.P. Setiawan menerima dana dari Australian Research Council. Ia merupakan Board Member di EngageMedia, organisasi nonprofit yang mempromosikan hak digital, teknologi yang aman dan terbuka, dan dokumenter isu sosial di Asia Pasifik. </span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Charlotte Setijadi menerima dana dari Singapore&#39;s Ministry of Education and the Singapore Social Science Research Council. Ia menjadi salah satu koordinator di University of Melbourne&#39;s Indonesia Forum.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Elisabeth Kramer menerima dana dari Australian Research Council. Ia terafiliasi dengan Australia-based Indonesia Council dan the Australian Consortium for In-Country Indonesian Studies (ACICIS).</span></em></p> Demonstrasi yang terjadi belakangan membawa korban tak terduga: kucing milik politisi. Ken M.P. Setiawan, Senior Lecturer in Indonesian Studies, The University of Melbourne Charlotte Setijadi, Lecturer in Asian Studies, The University of Melbourne Elisabeth Kramer, Scientia Senior Lecturer in Politics and Public Policy, UNSW Sydney Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives. tag:theconversation.com,2011:article/263629 2025-09-08T01:54:56Z 2025-09-08T01:54:56Z Bagaimana budaya populer seperti komik bisa memantik perlawanan terhadap rezim <figure><img src="https://images.theconversation.com/files/687943/original/file-20250828-56-mhtszi.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;rect=0%2C0%2C5184%2C3455&amp;q=45&amp;auto=format&amp;w=1050&amp;h=700&amp;fit=crop" /><figcaption><span class="caption">Seorang laki-laki di Kota Banjar sedang membaca komik One Piece di rumahnya.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/id/image-photo/banjar-city-indonesia-sep-8-2023-2359049053">(Rizky Rahmat Hidayat/Shutterstock)</a></span></figcaption></figure><blockquote> <p>● Banyak komik mengusung cerita kompleks dengan isu sosial politik yang memancing pembaca berpikir kritis.</p> <p>● Cerita One Piece, ‘V for Vendetta’, dan ‘Attack on Titan’ menggambarkan keberanian perlawanan publik terhadap ketidakadilan.</p> <p>● Respons represif pemerintah menunjukkan negara gagal membuka ruang kritik yang sah.</p> </blockquote> <hr> <p>Bendera <em>One Piece</em> masih terlihat dikibarkan oleh sejumlah masyarakat. Tidak hanya saat euforia perayaan kemerdekaan Indonesia, warga juga marak mengibarkan bendera tersebut <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20250831173247-12-1268528/ratusan-mahasiswa-di-kupang-bawa-bendera-one-piece-kecam-dpr">dalam demonstrasi serentak</a> belakangan ini.</p> <p>Fenomena pengibaran bendera berlatar hitam dengan gambar tengkorak tersebut menegaskan satu hal: fiksi dan budaya populer, salah satunya komik, bukan hanya sekadar medium hiburan, tetapi juga saluran komunikasi politik yang ampuh. Ini terutama ketika aspirasi warga tersumbat atau dinilai tidak efektif.</p> <h2>Kekuatan komik memantik perlawanan</h2> <p>Sebagai medium populer, komik terdiri dari berbagai genre dan tema cerita yang beragam. Seperti film dan novel, tidak semua komik ditujukan untuk pembaca anak-anak.</p> <p>Bahkan, banyak komik yang mengusung cerita kompleks dengan isu sosial, politik, atau filsafat, <a href="https://ila.onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1598/JAAL.53.1.5">mampu memancing pembacanya</a> untuk berpikir kritis dan melihat realitas dari sudut pandang baru. Salah satunya adalah komik <em>One Piece</em>.</p> <p>Tercatat sebagai salah satu komik <a href="https://en.as.com/meristation/news/one-piece-is-the-second-best-selling-comic-ever-can-it-beat-supermans-record-n/">terpopuler sepanjang masa</a>, <em>One Piece</em> menceritakan petualangan Monkey D. Luffy, kapten bajak laut muda yang tak gentar menentang kesewenang-wenangan pemerintah dunia yang represif, korup, dan manipulatif. </p> <p>Dalam beberapa adegan, simbol paling kuat dari perlawanan Luffy hadir ketika ia mengibarkan bendera bajak laut. Pada satu titik, Luffy bahkan sempat meminta anak buahnya membakar bendera pemerintahan dunia.</p> <p>Bendera bajak laut bukan sekadar lambang kelompoknya, melainkan tanda keberanian, kebebasan, dan tekad untuk menentang segala bentuk penindasan.</p> <p>Tidak mengherankan jika kemudian bendera ini diadopsi oleh warga sebagai ikon perlawanan terhadap penguasa.</p> <p>Contoh lain simbol protes populer yang terinspirasi dari komik adalah topeng Guy Fawkes dari serial <a href="https://www.dc.com/graphic-novels/v-for-vendetta-1988/v-for-vendetta"><em>V for Vendetta</em></a>.</p> <p>Komik ini mengisahkan seorang <em>vigilante</em> misterius bernama V yang melawan rezim totaliter di Inggris melalui aksi teror simbolik: menggunakan topeng untuk membangkitkan kesadaran rakyat terhadap tirani pemerintah. </p> <p>Topeng V kemudian menjadi simbol yang menyatukan aspirasi dan menyeberangi batas, <a href="https://theweek.com/articles/463151/brief-history-guy-fawkes-mask">menginspirasi gerakan protes warga secara anonim</a> di berbagai negara seperti Thailand, Hong Kong, Amerika Serikat (AS), dan Arab.</p> <p>Ini menunjukkan bahwa simbol dalam komik populer mudah diterima lintas negara untuk tujuan aktivisme.</p> <p>Ada pula komik <a href="https://kodansha.us/series/attack-on-titan/"><em>Attack on Titan</em></a> (AoT) yang menampilkan keberanian Eren sebagai tokoh utama, dan kawan-kawannya membangkitkan perlawanan rakyat terhadap rezim di balik tembok tertutup.</p> <p>Keruntuhan rezim dalam cerita AoT digambarkan ketika rakyat akhirnya menyadari bahwa mereka selama ini dikekang oleh pemerintah yang memanipulasi sejarah. Ketika rahasia itu terbongkar, kepercayaan pada rezim runtuh dan gelombang perlawanan menjadi tak terbendung. </p> <p>Apa yang dikisahkan di AoT beresonansi dengan yang terjadi pada masa <a href="https://www.cambridge.org/core/journals/latin-american-research-review/article/popular-comics-and-authoritarian-injustice-frames-in-mexico/08F3CB66A173D7635B97EFED80238D0B">otoritarianisme di Meksiko 1970-1980-an</a>. Saat warga tidak berani memprotes secara tertulis, komik bisa menunjukkan siapa yang menindas dan apa yang tidak beres secara perlahan tapi mendalam.</p> <h2>Resonansi emosi melalui komik</h2> <p>Menurut <a href="https://www.torch.ox.ac.uk/article/comics-and-graphic-novels-the-politics-of-form?utm_source=chatgpt.com">lembaga riset di Universitas Oxford, Inggris</a>, komik sebagai literatur yang cenderung “diremehkan” justru lebih mudah menembus batas sosial.</p> <p>Komik justru lebih dapat menjangkau khalayak luas lintas usia dan kelas. Komik juga efektif menyampaikan kritik dengan cara yang ringan tapi menggugah kesadaran kritis pembacanya. </p> <p>Pembingkaian politik lewat emosi karakter, alur cerita, dan simbol dalam komik bisa memicu kesadaran kritis karena dekat dengan pengalaman nyata masyarakat. Misalnya, pengalaman dipersulit birokrasi atau menghadapi aparat yang arogan.</p> <p>Menurut <a href="http://sjoca.com/wp-content/uploads/2018/04/SJoCA-3-2-02-Nilsson.pdf">Scandinavian Journal of Comic Art</a>, perpaduan narasi, estetika visual, dan dialog kritis membuat panel-panel komik mampu mereduksi kompleksitas dan membuka pintu pemahaman politik kepada lintas generasi, termasuk audiens yang mungkin awalnya tidak melek politik. </p> <p>Sederhananya, orang akan lebih tersentuh oleh pesan yang terasa dekat dengan kehidupan sehari-hari, menyentuh hal-hal penting, dan sesuai dengan cerita atau budaya yang sudah akrab di masyarakat.</p> <p>Komik memang tidak memberi instruksi tertulis untuk “melawan”, tetapi menyediakan imajinasi politik melalui dunia fiksi yang terasa masuk akal.</p> <p><a href="https://www.jstor.org/stable/223459">Dalam kajian gerakan sosial</a>, ini disebut resonansi. Karena itu, simbol sederhana seperti bendera bajak laut <em>One Piece</em> bisa langsung menarik perhatian dan menumbuhkan rasa kebersamaan di antara para pembacanya.</p> <p>Resonansi ini membuat orang lebih mudah percaya, membicarakan, lalu mengekspresikannya lewat aksi simbolis, seperti mengibarkan bendera atau mengenakan topeng dalam protes.</p> <h2>Negara perlu membaca fiksi</h2> <p>Respons simbol fiksi dengan represi, seperti melarang pengibaran bendera <em>One Piece</em>, menunjukkan kegagalan pemerintah membaca budaya populer sebagai ruang kritik yang sah dalam demokrasi. </p> <p>Pejabat negara kerap menggaungkan demokrasi. Namun, praktik di lapangan sering menunjukkan sebaliknya: kebebasan berekspresi ditekan, dan simbol protes dianggap ancaman.</p> <p>Ketidaksesuaian antara wacana dan praktik kebebasan berekspresi inilah yang secara perlahan mengikis kepercayaan publik terhadap pemerintah.</p> <p>Alih-alih mengekang, negara semestinya melestarikan budaya membaca fiksi. Dari fiksilah masyarakat belajar menafsirkan tanda-tanda zaman, menemukan simbol, dan membayangkan dunia yang lebih adil.</p> <p>Melalui fiksi pula kita bisa membayangkan lautan kebebasan bersama kelompok Bajak Laut Topi Jerami, menyaksikan runtuhnya tembok otoritarian di Attack on Titan, hingga keberanian menantang tirani lewat topeng V for Vendetta. </p> <p>Imaji semacam itulah yang bisa memantik dialog, lalu tumbuh menjadi keberanian kolektif.</p> <p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{&quot;tweetId&quot;:&quot;1950809746702766244&quot;}"></div></p> <p>Membaca fiksi sejatinya dapat menjadi ruang aspirasi alternatif yang tidak selalu tersampaikan lewat jalur formal. Dan demokrasi bisa tumbuh subur hanya ketika kritik dibiarkan hidup.</p> <p>Jika simbol dari komik saja dianggap berbahaya, jangan-jangan suatu saat nanti kegiatan membaca itu sendiri pun bisa dipersoalkan.</p> <hr> <iframe src="https://tally.so/embed/w8Xd6r?alignLeft=1&amp;hideTitle=1&amp;transparentBackground=1&amp;dynamicHeight=1" width="100%" height="321" frameborder="0" marginheight="0" marginwidth="0" title="Survey Form"> </iframe><img src="https://counter.theconversation.com/content/263629/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" /> <p class="fine-print"><em><span>Di sela-sela pekerjaannya sebagai seorang dosen, Agie adalah pembaca dan kolektor komik. Selain mengikuti serial populer seperti One Piece dan Dragon Ball, Agie juga menggemari komik-komik kritis seperti V for Vendetta, Persepolis, Maus, dan Watchmen.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Nurul Jamila Hariani tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p> Cerita One Piece maupun V for Vendetta, bisa menjadi saluran komunikasi politik ketika aspirasi publik tidak didengar pemerintah. Agie Nugroho Soegiono, Lecturer at Public Administration Department and Researcher at Airlangga Institute for Learning and Growth (AILG), Universitas Airlangga Nurul Jamila Hariani, Lecturer in Public Administration Department and Researcher at Airlangga Institute for Learning and Growth (AILG), Universitas Airlangga Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives. tag:theconversation.com,2011:article/263926 2025-09-06T01:22:46Z 2025-09-06T01:22:46Z Tak ada salahnya jadi ‘performative male’ karena gender memang tak pernah murni <p>Kita sering mengejar keunikan di setiap aspek hidup—mulai dari kultur pop hingga peran kita dalam hubungan.</p> <p>Kita pun terus mencari keunikan, sesuatu yang kita anggap memiliki makna mendalam. </p> <p>Namun, pernahkah kita berpikir bahwa pencarian tak berujung merupakan tanda bahwa sebenarnya keunikan itu tidak pernah ada?</p> <p>Kita mempunyai banyak istilah untuk menggambarkan hal yang “dangkal”. Salah satunya adalah istilah <a href="https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/virtue-signalling">“<em>virtue signalling</em>”</a>, artinya mendukung opini tertentu atau menyuarakan aktivisme tertentu agar terlihat keren, padahal tak paham topiknya.</p> <p>Ada juga istilah <a href="https://www.thepinknews.com/2025/05/16/what-is-queerbaiting-everything-you-need-to-know/">“<em>queerbaiting</em>”</a> yaitu seseorang (biasanya selebritas) yang merasa mereka menjadi bagian dari komunitas <em>queer</em> tanpa mengakuinya secara jelas. Tujuannya untuk menarik audiens LGBTQ+.</p> <p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{&quot;tweetId&quot;:&quot;1951611526558749183&quot;}"></div></p> <p>Ada juga <a href="https://www.nytimes.com/2025/08/14/style/performative-men.html">“<em>Performative male</em>”</a>. Istilah pendatang baru untuk menggambarkan sesuatu yang dianggap dangkal.</p> <p><em>Performative male</em> adalah sosok laki-laki yang tampil dengan ciri khas: buku <em>Milk and Breast</em> di transportasi umum, matcha di tangan, <em>headset</em> kabel dengan lagu dari Clairo atau Lana Del Rey, dan <em>tote bag</em> lengkap dengan Labubu. Profil Bumble atau aplikasi kencan mereka berisi foto dengan anak kecil. Kemungkinan besar mereka suka diajak bicara soal hewan peliharaannya.</p> <p>Segala hal yang disukai, cara bicara, dan gaya berpakaian mereka menunjukkan kepekaan politik dan kecintaan pada seni yang estetik.</p> <p>Kehadiran mereka seakan menyajikan maskulinitas versi lebih “lembut” dari sosok maskulin <a href="https://www.ft.com/content/29fd9b5c-2f35-41bf-9d4c-994db4e12998">penuh kontroversi</a> seperti Andrew Tate dan Jefri Nichol.</p> <p>Lalu, mengapa warganet justru cenderung tak suka dengan <em>performative male</em> yang berusaha membentuk ulang maskulinitas?</p> <h2><em>Performative male</em> hanya sandiwara?</h2> <p>Media seperti <a href="https://www.cosmopolitan.com/relationships/a65656459/performative-male/">Cosmopolitan</a> dan <a href="https://www.nytimes.com/2025/08/14/style/performative-men.html">The New York Times</a> menemukan bahwa <em>performative male</em> memang “sekadar” peran, bukan jati diri. Yang lebih parah, sebagian <em>performative male</em> memanipulasi perempuan agar percaya bahwa mereka benar-benar pasangan yang peduli dan peka akan isu perempuan.</p> <p>Namun, ketika warganet cenderung memandang <em>performative male</em> secara negatif, muncul pertanyaan: sebenarnya apa yang kita cari dari laki-laki? Apakah kita ingin melihat lebih banyak sosok yang mengunggah foto di <em>gym</em> dengan <em>quotes</em> dari <em>influencer sigma male</em> di TikTok?</p> <p>Tak ada yang salah dari perilaku “maskulin” maupun apa yang dilakukan <a href="https://www.cosmopolitan.com/relationships/a65656459/performative-male/"><em>performative male</em></a>. Sosok laki-laki heteroseksual yang secara terbuka menunjukkan sisi feminin mereka justru membawa angin segar.</p> <hr> <p> <em> <strong> Baca juga: <a href="https://theconversation.com/kejar-keadilan-gender-di-dunia-kerja-dengan-5-cara-ini-252525">Kejar keadilan gender di dunia kerja dengan 5 cara ini</a> </strong> </em> </p> <hr> <p>Sebagian orang mungkin akan merasa bahwa <em>performative male</em> bukanlah ‘laki-laki sesungguhnya’ dan mereka hanya berakting. Namun, apakah tidak melelahkan mencurigai setiap orang asing yang kita lihat sehari-hari dan menuduh mereka tak menjadi diri sendiri?</p> <p>Pemikiran dasar kita seharusnya bukanlah memandang laki-laki sebagai manipulator. Cara pandang seperti itu justru menempatkan mereka dalam posisi yang serba salah.</p> <h2><em>Performative male</em> hanya cari validasi di internet?</h2> <p>Ada juga pendapat lain: <em>performative male</em> hanya mengejar validasi di media sosial karena identitas mereka hanyalah estetika belaka.</p> <p>Namun, bukankah memang setiap orang di media sosial atau aplikasi kencan memamerkan <a href="https://www.mediastudies.press/pub/pooley-introduction-sms/release/2?utm_source=chatgpt.com">sisi terbaik mereka sebagai <em>branding</em></a>?</p> <p>Kita merasa harus punya identitas yang ori, tapi kita juga pilih-pilih dalam mencitrakan diri di media sosial. Kita memilih dan mengatur segala unggahan kita dengan rapi. Apakah itu masih identitas asli?</p> <p>Memang masuk akal jika kita komplain soal betapa dangkalnya media sosial. Namun, tak adil rasanya menyalahkan sebagian individu atas kedangkalan media sosial tersebut. Media sosial berperan signifikan terhadap persepsi kita terhadap gender, bukan dari segelintir individu saja.</p> <h2>Tak ada yang murni dalam gender</h2> <p>Bagi siapa pun yang pernah mengambil kelas tentang gender, pasti pernah mendengar kalimat, “gender bersifat performatif (<a href="https://www.routledge.com/rsc/downloads/Gender_Trouble_Chapter_1.pdf"><em>gender is performative</em></a>.”</p> <p>Pada intinya, kajian tersebut berargumen bahwa tidak ada yang bisa disebut sebagai “laki-laki tulen”. Yang ada hanyalah berbagai cara menampilkan maskulinitas. </p> <p><em>Performative male</em> hanyalah salah satu pertunjukan maskulinitas yang lebih modern. Persoalan akan muncul ketika kita melihat ekspresi ini dengan kecurigaan. </p> <p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{&quot;tweetId&quot;:&quot;1951584002688852171&quot;}"></div></p> <p>Bayangkan jika kita melihat <em>performative male</em> atau bahkan <em>queerbaiters</em> dan <em>virtue signallers</em> dengan sinis. Mengasumsikan semua laki-laki dengan <em>tote bag</em> adalah penipu hanya akan melanggengkan kecurigaan dan perasaan bahwa kita selalu berhak memasuki ranah pribadi seseorang.</p> <p>Kecurigaan semacam itu melahirkan narasi berbahaya: mayoritas laki-laki adalah manipulator dan sengaja berakting feminin untuk memperdaya perempuan hanya akan melahirkan lingkungan yang tak sehat.</p> <p>Narasi ini bisa melukai individu yang sekadar memiliki ciri <em>performative male</em> karena mereka menjadi dicap berpura-pura. Diskursus keunikan diri ujung-ujungnya menjadi ironi: kita mengelu-elukan feminisme, tetapi mengejek kehadiran maskulinitas nonkonvensional.</p> <hr> <p> <em> <strong> Baca juga: <a href="https://theconversation.com/hampir-40-laki-laki-bermasalah-dengan-citra-tubuhnya-tetapi-mereka-sulit-mendapatkan-dukungan-219017">Hampir 40% laki-laki bermasalah dengan citra tubuhnya, tetapi mereka sulit mendapatkan dukungan</a> </strong> </em> </p> <hr> <p>Kontradiksi ini bukan hal baru. Asa Seresin, seorang peneliti gender menyebutnya sebagai <a href="https://thenewinquiry.com/on-heteropessimism/"><em>heteropessimism</em></a>: perasaan tak suka pada heteroseksualitas, tetapi tetap menjalani hubungan heteroseksual.</p> <p>Alih-alih menuduh setiap laki-laki lembut sebagai manipulator, mungkin lebih sehat jika kita memberi ruang untuk setiap orang mengekspresikan diri.</p> <p>Kita tak bisa melarang seseorang untuk menjadi <em>performative male</em>, tetapi setidaknya biarkan mereka mengikuti audisi dengan bebas.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/263926/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" /> <p class="fine-print"><em><span>Alexander Stoffel tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p> ‘Performative male’ hanyalah cara lain mengekspresikan maskulinitas. Alexander Stoffel, Lecturer in International Politics, Queen Mary University of London Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives. tag:theconversation.com,2011:article/263536 2025-08-31T01:11:43Z 2025-08-31T01:11:43Z Realita ‘freelance’ pekerja kreatif: Banyak kerja sambilan, minim perlindungan <figure><img src="https://images.theconversation.com/files/687433/original/file-20250826-56-7nvvnx.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;rect=0%2C0%2C5184%2C3456&amp;q=45&amp;auto=format&amp;w=1050&amp;h=700&amp;fit=crop" /><figcaption><span class="caption">Pekerja freelance minim perlindungan hukum</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/bandung-indonesia-may-1-2024-workers-2468407009">Algi Febri Sugita/Shuttershock</a></span></figcaption></figure><p>Apakah kalian merupakan pekerja <em>freelance</em> alias pekerja lepas? Kalau iya, mungkin kamu merasakan pengalaman kerja yang berbeda dari pekerjaan <em>full time</em>.</p> <p>Kelebihan pekerjaan <em>freelance</em> yang kentara adalah fleksibilitas waktu. Kita bisa bekerja di jam yang kita tentukan sendiri. Selain itu, kita bebas mematok harga jasa (<em>rate</em>) dan menjadi bos untuk diri sendiri.</p> <p>Namun, pekerjaan <em>freelance</em> tak luput dari <a href="https://warwick.ac.uk/research/priorities/productivity/about/creativeindustries/freelance/">sisi gelap</a>.</p> <p>Kalau kamu mau terjun di dunia <em>freelance</em>, cobalah mempertimbangkan sisi positif dan negatif dari pekerjaan ini.</p> <h2>Dinamika pekerjaan <em>freelance</em></h2> <p>Sebagian orang bekerja secara <em>freelance</em> karena pilihan. Namun, sebagian lainnya justru tak punya pilihan.</p> <p>Kondisi industri tempat mereka berada, umumnya industri kreatif dan budaya, bergantung pada pekerja terampil dalam <a href="https://lordslibrary.parliament.uk/freelancers-in-the-arts-and-creative-sectors/">format kerja yang fleksibel</a>. Banyak pekerja <em>freelance</em> di industri ini menyambung hidup dari proyek ke proyek, tanpa kantor yang tetap, tidak ada kepastian.</p> <p>Selama lebih dari satu dekade, saya meneliti pekerjaan <em>freelance</em> dan pekerja lepas di industri kreatif. Saya mengamati dan memahami bahwa pengalaman mereka tak bisa dilepaskan dari aspek struktural dan politis.</p> <p>Pekerja <em>freelance</em> umumnya bergantung pada reputasi atau rekomendasi (<em>word-of-mouth</em>) untuk mendapatkan proyek.</p> <p>Sekilas, tidak ada yang salah dari praktik ini. Namun, sistem kerja seperti ini juga membuat pekerja <em>freelance</em> enggan melaporkan pengalaman merugikan yang dialami, apalagi jika mereka masih merintis.</p> <p>“Saya tidak mau dicap sebagai pembuat masalah,” ujar seorang pekerja <em>freelance</em> pada 2003 dalam riset saya yang masih berjalan.</p> <p>Penelitian dan temuan dari subsektor industri kreatif yaitu <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/17510694.2023.2182101">televisi, film</a>, dan <a href="https://www.thestage.co.uk/features/harassment-and-bullying-in-the-theatre-industry-special-report-inside-the-story">teater</a> menunjukkan bahwa pekerja freelance cenderung bungkam ketika menghadapi atau menyaksikan kasus perundungan.</p> <p>“Mereka takut mengungkapkan apa yang mereka alami karena mereka takut di-<em>blacklist</em> dan tidak dapat pekerjaan kalau melaporkan kasus perundungan di tempat kerja,” kata <a href="https://www.bbc.co.uk/news/entertainment-arts-60835576">Brian Hill</a>, sutradara film asal Inggris.</p> <p>Yang membuat kondisi ini semakin buruk adalah pekerja <em>freelance</em> bekerja dengan struktur organisasi tersembunyi. Pekerja <em>freelance</em> dan subkontraktor bisa dipekerjakan untuk merekrut pekerja <em>freelance</em> di bawah mereka.</p> <p>Dengan struktur seperti ini, tidak ada alur pelaporan yang jelas. Berbeda dengan kantor pada umumnya yang memungkinkan pekerja melapor pada manajer lalu diteruskan ke pemegang posisi yang lebih tinggi.</p> <p>Pekerja <em>freelance</em> tak memiliki penanggung jawab yang bisa mengambil keputusan terkait perilaku semena-mena, bahkan ketika perilaku tersebut berkaitan dengan karakteristik yang dilindungi seperti ras, disabilitas, atau kehamilan.</p> <p>Ketakutan untuk “membuat masalah” dikombinasikan dengan dorongan untuk memuaskan klien dapat berujung pada eksploitasi.</p> <h2>Eksploitasi pekerja <em>freelance</em></h2> <p>Bekerja tanpa dibayar tentu saja <a href="https://www.gov.uk/employment-rights-for-interns">ilegal</a>. Sayangnya, masih banyak pekerja <em>freelance</em> di industri kreatif yang bekerja tanpa bayaran. Hal ini mereka lakukan untuk membuka pintu peluang atau menyenangkan atasan sehingga dapat pekerjaan tambahan yang berbayar.</p> <p>Selain bekerja tanpa bayaran, permasalahan lain yang dialami pekerja <em>freelance</em> adalah penerimaan gaji yang sering kali sangat lama. Beberapa bahkan berakhir tak dibayar sama sekali.</p> <p>“Saya terbiasa dengan pembayaran yang terlambat, tertunda, bahkan tak dibayar yang berarti saya sering <em>nombok</em> untuk pekerjaan saya sendiri,” ujar <a href="https://warwick.ac.uk/fac/arts/scapvc/ccmps/staff/heidi_ashton/equity_universal_credit_report.pdf">salah satu pekerja <em>freelance</em></a> pada saya.</p> <p>Pembentukan serikat kerja sebenarnya bisa membantu kasus-kasus seperti ini. Namun, dunia kerja <em>freelance</em> yang amat kompetitif membuka kemungkinan selalu ada orang lain yang menerima pekerjaan dengan bayaran lebih rendah atau kondisi tak ideal. Dalihnya adalah “menambah portofolio” atau berharap mendapat peluang lebih menguntungkan ke depannya.</p> <h2>Jenjang karier dan kesejahteraan pekerja <em>freelance</em></h2> <p>Pekerja <em>freelance</em> tak bisa mendapatkan akses ke pelatihan atau peluang promosi seperti pekerja di suatu organisasi. Artinya, jenjang karier pekerja <em>freelance</em> diukur dan diatur sepenuhnya oleh seorang individu.</p> <figure class="align-center "> <img alt="orang-orang menyiapkan kamerar=" src="https://images.theconversation.com/files/685094/original/file-20250812-66-bu4m4m.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=45&amp;auto=format&amp;w=754&amp;fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/685094/original/file-20250812-66-bu4m4m.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=45&amp;auto=format&amp;w=600&amp;h=338&amp;fit=crop&amp;dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/685094/original/file-20250812-66-bu4m4m.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=30&amp;auto=format&amp;w=600&amp;h=338&amp;fit=crop&amp;dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/685094/original/file-20250812-66-bu4m4m.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=15&amp;auto=format&amp;w=600&amp;h=338&amp;fit=crop&amp;dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/685094/original/file-20250812-66-bu4m4m.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=45&amp;auto=format&amp;w=754&amp;h=425&amp;fit=crop&amp;dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/685094/original/file-20250812-66-bu4m4m.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=30&amp;auto=format&amp;w=754&amp;h=425&amp;fit=crop&amp;dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/685094/original/file-20250812-66-bu4m4m.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=15&amp;auto=format&amp;w=754&amp;h=425&amp;fit=crop&amp;dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"> <figcaption> <span class="caption"></span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/silhouette-film-crews-video-camera-on-2529072309">gnepphoto/Shutterstock</a></span> </figcaption> </figure> <p>“Kamu perlu mengambil segala pekerjaan yang ada, entah level apa pun itu. Memang kamu bisa mengambil risiko dengan menolak <em>job</em> untuk menantikan <em>job</em> yang lebih bagus, tapi bisa juga kamu berakhir dengan tangan kosong,” ujar seorang pekerja freelance yang saya wawancara untuk <a href="https://scholar.google.com/citations?view_op=view_citation&amp;hl=en&amp;user=LegmcgMAAAAJ&amp;citation_for_view=LegmcgMAAAAJ:u-x6o8ySG0sC">riset PhD</a> saya.</p> <p>Pekerja <em>freelance</em> sulit untuk membangun jejaring dengan orang posisi manajerial atau yang lebih tinggi. Hal ini karena adanya kemungkinan mereka juga dipekerjakan oleh pekerja <em>freelance</em> lain. </p> <p>Dengan kondisi ini, mengenalkan seorang pekerja <em>freelance</em> pada rekan atau rekan potensial justru dipandang mengancam pekerjaan sendiri.</p> <p>Masalah besar bagi pekerja <em>freelance</em> generasi muda adalah <a href="https://warwick.ac.uk/research/priorities/productivity/about/creativeindustries/freelance/94344_creative_ind_infographic-3.pdf">ketidakpastian</a> pekerjaan dan tak stabilnya kondisi finansial. Mereka jadi harus punya <a href="https://freelancersmaketheatrework.com/jobjugglingreport2022/">beberapa pekerjaan sambilan</a> dengan berbagai peran.</p> <p>Pekerja <em>freelance</em> juga tak memiliki jatah liburan atau jam kerja yang pasti. Tak ada <a href="https://warwick.ac.uk/fac/arts/scapvc/ccmps/staff/heidi_ashton/equity_universal_credit_report.pdf">bantuan</a> pemasukan di periode tanpa pekerjaan. </p> <p>Bagi individu yang tak memiliki sumber pemasukan lain, tentu kondisi ini meningkatkan stres dan dapat berujung pada <em>burnout</em>.</p> <p>“Saya punya beberapa pekerjaan sampingan… dan itu sangat melelahkan,” ungkap salah <a href="https://warwick.ac.uk/fac/arts/scapvc/ccmps/staff/heidi_ashton/equity_universal_credit_report.pdf">satu pekerja <em>freelance</em></a>.</p> <p>Akumulasi tekanan emosional ini bisa berakibat serius. <a href="https://filmtvcharity.org.uk/research-impact/reports/looking-glass-2024/">Film and TV Charity</a>, organisasi independen untuk mendukung pekerja kreatif belakang layar di Inggris, menemukan bahwa 64% pekerja di sektor ini mempertimbangkan untuk berhenti bekerja karena tekanan kesehatan mental yang berat. Pekerja <em>freelance</em> dan generasi muda menjadi kelompok yang paling rentan.</p> <p>Bagi kamu yang sedang menjalani dunia <em>freelance</em>, penting untuk memiliki mentor atau seseorang yang tulus mendukung diri dan kariermu.</p> <p>Komunitas atau serikat pekerja juga potensial dalam menyediakan dukungan. Di Indonesia, misalnya, serikat pekerja seperti <a href="https://sindikasi.org/resources/Pedoman_Kontrak_Kerja_Freelancer_Sindikasi.pdf">SINDIKASI</a> juga membuka keanggotaan bagi para <em>freelancers</em>.</p> <p><div data-react-class="InstagramEmbed" data-react-props="{&quot;url&quot;:&quot;https://www.instagram.com/p/DCDu-QySe1G&quot;,&quot;accessToken&quot;:&quot;127105130696839|b4b75090c9688d81dfd245afe6052f20&quot;}"></div></p> <p>Komunitas seperti ini dapat menjadi penampungan aduan anonim yang dapat digunakan sebagai bukti perlakuan problematik dari individu atau organisasi tertentu.</p> <p>Meski terdapat beberapa sisi gelap dari bekerja <em>freelance</em>, narasumber saya merasa bahwa pekerjaan ini patut diperjuangkan. Mereka merasa bahwa meski tak mudah, pekerjaan <em>freelance</em> merupakan pekerjaan paling ideal bagi mereka.</p> <hr> <p><em>Kezia Kevina Harmoko berkontribusi dalam penerjemahan artikel ini.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/263536/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" /> <p class="fine-print"><em><span>Heidi Ashton tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p> Pekerja freelance harus punya banyak pekerjaan sampingan dengan berbagai jenis pekerjaan. Heidi Ashton, Associate professor, University of Warwick Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives. tag:theconversation.com,2011:article/263270 2025-08-28T05:34:45Z 2025-08-28T05:34:45Z Tak hanya akurat tapi harus menghibur: Preferensi informasi ala Gen Z <blockquote> <p>● Gen Z menyukai berita singkat, visual, dan menghibur, membuat Folkative, USS Feeds, dan Cretivox makin populer.</p> <p>● Media alternatif unggul dalam aspek hiburan, kenyamanan, dan relevansi. Media berita lebih dipercaya soal akurasi dan kedalaman informasi.</p> <p>● Penelitian menunjukkan Gen Z tidak menolak berita serius, tetapi menuntut kemasan yang lebih ringan, relevan, dan menarik.</p> </blockquote> <hr> <p>Rutinitas mengakses media sosial membuat Gen Z terbiasa mengonsumsi berita dalam format singkat dan kaya visual, bukan artikel panjang. Tak heran, Instagram kini menjadi salah satu sumber utama informasi bagi anak muda. </p> <p><a href="https://datareportal.com/reports/digital-2024-indonesia">Laporan We Are Social 2024</a> mencatat 85,3% pengguna internet Indonesia yang berusia 16–64 tahun aktif di platform ini. Ini memberi keuntungan bagi media alternatif seperti Folkative, USS Feeds, dan Cretivox, yang fleksibel dan cepat beradaptasi dengan selera audiens muda.</p> <p>Penelitian saya terhadap 100 mahasiswa Jabodetabek pada Desember 2024 (belum dipublikasikan) menunjukkan akun Instagram Folkative, USS Feeds, dan Cretivox lebih memuaskan Gen Z dalam aspek hiburan dan kenyamanan. Sementara akun Instagram Detik.com, IDN Times, dan Kompas.com dianggap unggul dalam informasi. </p> <p>Folkative, USS Feeds, dan Cretivox masing-masing memperoleh tingkat kepuasan rata-rata di atas 70%. Dalam aspek kenyamanan, sekitar 72–74% responden merasa puas atau sangat puas saat mengakses konten dari ketiga akun tersebut. Sementara itu, dalam aspek hiburan, tingkat kepuasan mencapai 78–79%. </p> <p>Persentase ini melampaui media berita seperti Detikcom, IDN Times, dan Kompascom. Untuk aspek kenyamanan, rata-rata hanya berada di kisaran 70–74%, sedangkan dalam aspek hiburan lebih rendah lagi, yakni sekitar 69–73%.</p> <p>Data prariset penelitian kami juga menunjukkan bahwa sebanyak 75,53% mengikuti akun Folkative, USS Feeds, dan Cretivox, sedangkan hanya 24,47% mengikuti akun Detik.com, IDN Times, dan Kompas.com. Bahkan, hampir setengah (48,53%) menilai akurasi Folkative, USS Feeds, dan Cretivox setara dengan media berita.</p> <p>Ini menunjukkan strategi memadukan berita atau informasi dengan unsur hiburan (<em>infotainment</em>) di Instagram atau TikTok <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/21670811.2025.2464062">terbukti lebih mudah menarik perhatian audiens muda, terutama Gen Z</a>. </p> <h2>Gen Z peduli relevansi</h2> <p>Berbeda dengan media berita yang membangun komunitas pembacanya di situs web, Folkative, USS Feeds, dan Cretivox menyajikan konten langsung di <em>feed</em>, sehingga informasi dapat dikonsumsi tanpa meninggalkan aplikasi.</p> <p>Formatnya kontennya juga ringkas, yakni tipografi singkat, infografis, atau video kurang dari satu menit.</p> <p><div data-react-class="InstagramEmbed" data-react-props="{&quot;url&quot;:&quot;https://www.instagram.com/p/DFCF9WRTSSr&quot;,&quot;accessToken&quot;:&quot;127105130696839|b4b75090c9688d81dfd245afe6052f20&quot;}"></div></p> <p>Informasi di Instagram sebaiknya memang dibuat singkat dengan asumsi bahwa pembaca sudah tahu konteksnya, sehingga penjelasannya tidak perlu mendetail. Cara ini membuat konten menjadi ringkas tetapi tetap <a href="https://ejournal.upi.edu/index.php/IJAL/article/view/23200">memancing rasa ingin tahu dan komentar dari publik</a>. </p> <p>Dalam aspek identitas pribadi, Folkative, USS Feeds, dan Cretivox menunjukkan kepuasan yang sedikit lebih tinggi dibanding media berita. Ketiga media alternatif tersebut mencatat rata-rata kepuasan sekitar 66–68%, sedangkan media berita seperti @detikcom, @idntimes, dan @kompascom hanya berada di kisaran 62–64%.</p> <p>Keunggulan ini menunjukkan konten di Folkative, USS Feeds, dan Cretivox dibandingkan media berita karena kontennya dianggap lebih “mewakili” citra diri dan relevan dengan Gen Z. Unggahan mereka biasanya berfokus pada topik yang sedang tren di kalangan anak muda. </p> <p>Saya melakukan wawancara dengan lima informan untuk memperdalam hasil survei.</p> <p>Dari wawancara tersebut, informan 1 menilai, “Media-media ini lebih mudah untuk menjangkau kalangan Gen-Z, dan bisa dibilang mereka punya keunikan yang disukai oleh Gen-Z, misalnya kayak beberapa berita atau headline yang menarik, berita yang sedang viral dan penjelasan yang mudah dan singkat.”</p> <p>Mayoritas informan juga sepakat bahwa ketiga media ini merepresentasikan diri mereka.</p> <blockquote> <p>“Menurut saya, sangat mewakilkan citra Gen Z, karena desainnya menarik membuat generasi muda dengan gampang memilihnya, lalu penulisan narasinya lebih santai dan narasinya tidak terlalu panjang,” ujar informan 3.</p> </blockquote> <p>Namun, relevansi ini kadang dipertanyakan karena kontennya terlalu singkat dan membutuhkan validasi dari sumber lain. Menurut kelima informan, Folkative, USS Feeds, dan Cretivox sangat fokus pada topik-topik yang sedang tren.</p> <blockquote> <p>“Ya, sering kali konten yang diunggah mengikuti topik hangat di TikTok, X, atau platform lain. Meski temanya beragam—politik, ekonomi, hingga hiburan—traffic utamanya tetap Gen Z,” kata informan 4.</p> </blockquote> <hr> <figure class="align-left zoomable"> <a href="https://images.theconversation.com/files/658492/original/file-20250330-56-aek5xd.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=45&amp;auto=format&amp;w=1000&amp;fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/658492/original/file-20250330-56-aek5xd.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=45&amp;auto=format&amp;w=237&amp;fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/658492/original/file-20250330-56-aek5xd.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=45&amp;auto=format&amp;w=600&amp;h=750&amp;fit=crop&amp;dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/658492/original/file-20250330-56-aek5xd.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=30&amp;auto=format&amp;w=600&amp;h=750&amp;fit=crop&amp;dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/658492/original/file-20250330-56-aek5xd.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=15&amp;auto=format&amp;w=600&amp;h=750&amp;fit=crop&amp;dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/658492/original/file-20250330-56-aek5xd.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=45&amp;auto=format&amp;w=754&amp;h=943&amp;fit=crop&amp;dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/658492/original/file-20250330-56-aek5xd.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=30&amp;auto=format&amp;w=754&amp;h=943&amp;fit=crop&amp;dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/658492/original/file-20250330-56-aek5xd.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=15&amp;auto=format&amp;w=754&amp;h=943&amp;fit=crop&amp;dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a> <figcaption> <span class="caption"></span> </figcaption> </figure> <p><em>Gaji tak kunjung naik. Promosi mesti pindah perusahaan. Skripsi belum juga ACC. Diet ketat, berat badan tak turun juga. Lingkungan kerja toxic, bosnya narsistik. Gaji bulan ini mesti dibagi untuk orang tua dan anak. Mau sustainable living, ongkosnya mahal. Notifikasi kantor berdenting hingga tengah malam. Generasi Zilenials hidup di tengah disrupsi teknologi, persaingan ketat, dan kerusakan lingkungan.</em> </p> <p><em>Simak ‘Lika Liku Zilenial’ mengupas tuntas permasalahanmu berdasar riset dan saran pakar.</em></p> <hr> <p>Media berita seperti Detik.com, IDN Times, dan Kompas.com sebenarnya juga <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/21670811.2020.1805779">telah mengikuti logika Instagram</a>, yakni visual kuat, interaktif, dan emosional, tetapi menjaga kredibilitas. Mereka berupaya mengadopsi <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/17512786.2021.2012500"><em>social journalism</em></a> dengan menggabungkan informasi faktual dengan narasi visual yang relevan bagi komunitas.</p> <p>Namun, media berita hanya mengungguli Folkative, USS Feeds, dan Cretivox dalam aspek informasi. Rata-rata kepuasan pengguna terhadap media berita seperti @detikcom, @idntimes, dan @kompascom berada di kisaran 75–76%, sedikit lebih tinggi dibandingkan media alternatif (73–75%).</p> <p>Temuan ini menunjukkan, ketika Gen Z membutuhkan informasi yang dianggap akurat, lengkap, dan dapat dipercaya, mereka cenderung beralih ke akun berita seperti Detik.com, IDN Times, atau Kompas.com.</p> <h2>Perlu lebih interaktif</h2> <p>Dalam aspek interaksi sosial, kedua jenis media sama-sama mencatat skor yang relatif rendah. Tingkat kepuasan pengguna pada Folkative, USS Feeds, dan Cretivox berada di kisaran 64–66%. Kepuasan pengguna terhadap media berita seperti @detikcom, @idntimes, dan @kompascom sedikit lebih rendah, yakni sekitar 61–62%.</p> <p>Rendahnya skor ini menandakan bahwa pengguna lebih banyak berperan sebagai konsumen pasif. Kedua jenis media tersebut belum memanfaatkan potensi mereka untuk membangun komunitas atau percakapan interaktif.</p> <p>Bagi media berita mapan, tren ini memunculkan dilema. Mereka memiliki reputasi sebagai penyedia informasi kredibel, tetapi menghadapi audiens yang menginginkan berita cepat, ringan, visual, relevan, dan menghibur.</p> <p>Hambatan utamanya adalah struktur editorial, yakni proses verifikasi yang ketat membuat media berita bergerak lebih lambat dibanding media yang dapat langsung mengunggah konten ringkas begitu peristiwa terjadi.</p> <h2>Serius tapi menarik</h2> <p>Penelitian kami menunjukkan bahwa Gen Z tidak menolak berita serius, mereka hanya menolak cara lama dalam menyajikannya.</p> <p>Folkative, USS Feeds, dan Cretivox membuktikan bahwa kemasan bisa menentukan konsumsi berita. Gen Z menginginkan informasi yang akurat, tetapi juga ingin menikmatinya layaknya menonton video singkat atau melihat infografis.</p> <p>Karena itu, media berita perlu menyesuaikan bukan hanya kemasan, tetapi juga topik pemberitaan agar lebih relevan dengan minat Gen Z.</p> <p><div data-react-class="InstagramEmbed" data-react-props="{&quot;url&quot;:&quot;https://www.instagram.com/p/DGkvFXqNXd2&quot;,&quot;accessToken&quot;:&quot;127105130696839|b4b75090c9688d81dfd245afe6052f20&quot;}"></div></p> <p>Jika media berita dapat mempertahankan akurasi dan kredibilitas sambil memperluas cakupan topik yang relevan bagi Gen Z, mereka berpeluang merebut kembali perhatian audiens muda.</p> <p>Jika tidak, media alternatif seperti Folkative akan terus memperkuat posisinya sebagai sumber informasi generasi mendatang.</p> <hr> <p><em>Artikel ini dituliskan berdasarkan penelitian yang juga melibatkan Hanifa Khayla Putri, mahasiswa di Universitas Pembangunan Jaya, Banten. Tim penulis mengucapkan terima kasih atas kontribusi yang diberikan.</em></p> <hr> <iframe src="https://tally.so/embed/meJzXQ?alignLeft=1&amp;hideTitle=1&amp;transparentBackground=1&amp;dynamicHeight=1" width="100%" height="321" frameborder="0" marginheight="0" marginwidth="0" title="Survey Form"> </iframe><img src="https://counter.theconversation.com/content/263270/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" /> <p class="fine-print"><em><span>Ratna Puspita tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p> Media alternatif seperti Folkative, USS Feeds, dan Cretivox, yang cepat beradaptasi dengan format media sosial, terbukti lebih memuaskan Gen Z dalam aspek hiburan dan kenyamanan. Mengapa? Ratna Puspita, Dosen, Universitas Pembangunan Jaya Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives. tag:theconversation.com,2011:article/263194 2025-08-25T08:58:21Z 2025-08-25T08:58:21Z Bagaimana inflasi memengaruhi pertemanan dan percintaan kita <figure><img src="https://images.theconversation.com/files/685481/original/file-20250409-56-rg2qvl.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;rect=0%2C0%2C6000%2C3997&amp;q=45&amp;auto=format&amp;w=1050&amp;h=700&amp;fit=crop" /><figcaption><span class="caption">Dewasa muda berusia 20-30 tahun menghadapi &quot;krisis hubungan&quot; karena melemahnya kondisi ekonomi.</span> <span class="attribution"><span class="source">(Rene Ranisch/Unsplash)</span></span></figcaption></figure><p>Apakah kamu merasa inflasi memengaruhi hubungan pertemanan dan percintaan? Kamu tak sendirian. </p> <p>Inflasi adalah kenaikan harga barang maupun jasa. Inflasi akibat <a href="https://www.oecd.org/en/about/news/press-releases/2025/03/global-economic-outlook-uncertain-as-growth-slows-inflationary-pressures-persist-and-trade-policies-cloud-outlook.html">kondisi ekonomi</a> yang kurang baik di seluruh dunia memang sangat memengaruhi hubungan personal.</p> <p>Pertumbuhan ekonomi yang melambat mengubah cara kita menjalin relasi. Mulai dari <a href="https://www.rbc.com/newsroom/news/article.html?article=125961">sulitnya menemukan pasangan sampai penundaan capaian hidup</a> (pernikahan, memiliki anak, dan lainnya)—semua ini dipengaruhi oleh kondisi ekonomi.</p> <p>Kehidupan sosial dewasa muda (berusia 20 - 30 tahun) merupakan paling terdampak. Di usia ini, umumnya kita mulai mengambil keputusan-keputusan penting terkait relasi, tetapi menjadi terhambat dengan kondisi ekonomi yang tak mendukung. </p> <h2>Dompet meradang, hubungan merenggang</h2> <p>Uang sering kali menjadi <a href="http://doi.org/10.1111/j.1741-3729.2008.00537.x">pemicu konflik dalam hubungan</a>. Namun, kondisi perekonomian saat ini membuat uang menjadi topik yang kian sensitif.</p> <p>Contohnya di Kanada. Sejumlah 77% pasangan mengalami <a href="https://www.rbc.com/newsroom/news/article.html?article=125961">masalah keuangan</a>. Sekitar 62% pasangan mengakui bahwa mereka <a href="https://www.rbc.com/newsroom/news/article.html?article=125961">bertengkar soal uang</a>. </p> <p>Kenaikan harga sewa tempat tinggal, makanan, dan pengeluaran sehari-hari lainnya membuat banyak pasangan kesulitan mengatur keuangan. Kesulitan ini tak jarang mengacaukan hubungan.</p> <p>Masalah hubungan serupa juga terjadi di negara-negara lainnya. Sebuah penelitian di Inggris menemukan bahwa 38% individu yang menjalani hubungan mengakui bahwa mereka <a href="https://www.aviva.com/newsroom/news-releases/2023/02/almost-two-in-five-people-in-a-relationship-in-the-uk-admit-to-financial-infidelity/">memiliki rekening rahasia</a> atau “dana pribadi” yang tidak diketahui pasangan.</p> <p>Sebuah survei di Amerika Serikat melaporkan bahwa rata-rata setiap pasangan <a href="https://nypost.com/2025/02/11/lifestyle/new-survey-reveals-the-shocking-number-of-times-couples-fight-about-finances-each-year/">bertengkar 58 kali karena masalah keuangan setiap tahunnya</a>.</p> <figure class="align-center "> <img alt="Seorang perempuan duduk di sofa dengan tangan menutupi wajah dan orang lain juga duduk di sofa dengan tangan terlipat di depan" src="https://images.theconversation.com/files/660898/original/file-20250409-56-g1ij0v.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=45&amp;auto=format&amp;w=754&amp;fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/660898/original/file-20250409-56-g1ij0v.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=45&amp;auto=format&amp;w=600&amp;h=337&amp;fit=crop&amp;dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/660898/original/file-20250409-56-g1ij0v.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=30&amp;auto=format&amp;w=600&amp;h=337&amp;fit=crop&amp;dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/660898/original/file-20250409-56-g1ij0v.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=15&amp;auto=format&amp;w=600&amp;h=337&amp;fit=crop&amp;dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/660898/original/file-20250409-56-g1ij0v.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=45&amp;auto=format&amp;w=754&amp;h=424&amp;fit=crop&amp;dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/660898/original/file-20250409-56-g1ij0v.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=30&amp;auto=format&amp;w=754&amp;h=424&amp;fit=crop&amp;dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/660898/original/file-20250409-56-g1ij0v.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=15&amp;auto=format&amp;w=754&amp;h=424&amp;fit=crop&amp;dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"> <figcaption> <span class="caption">Uang memang sering menjadi sumber konflik dalam hubungan.</span> <span class="attribution"><span class="source">(Shutterstock)</span></span> </figcaption> </figure> <p>Yang lebih mengkhawatirkan, ketidakstabilan finansial juga memengaruhi motivasi seseorang untuk memulai atau mengakhiri hubungan. Survei terbaru dari RBC mengungkap bahwa 55% masyarakat Kanada merasa bahwa mereka perlu berada dalam sebuah hubungan romantis <a href="https://www.rbc.com/newsroom/news/article.html?article=125961">agar bisa memenuhi gaya hidup mereka</a>. </p> <p>Dalam kata lain, pasangan seakan menjadi “mesin ATM” bagi individu tersebut.</p> <p>Mencapai kemandirian finansial (<em>financially independent</em>) terasa semakin berat, terutama bagi mereka yang mempertimbangkan untuk berpisah atau bercerai.</p> <p>Kalau dulu, perceraian atau perpisahan berarti tak lagi hidup bersama. Namun, sekarang banyak pasangan yang sebenarnya sudah berpisah, tetapi <a href="https://www.thestar.com/business/personal-finance/the-high-cost-of-living-is-forcing-more-couples-to-live-together-while-separating-where/article_630a1ab0-8fd3-11ef-9e88-670790ab13f9.html">tetap hidup bersama</a>. Itu semata-mata karena mereka tidak punya kekuatan finansial untuk hidup mandiri.</p> <p>Maka dari itu, kita perlu memahami cara menjaga <a href="https://www.ramseysolutions.com/relationships/the-truth-about-money-and-relationships#">hubungan tetap sehat</a> ketika menghadapi masalah keuangan agar hubungan bisa bertahan.</p> <h2>Penundaan capaian penting di kehidupan dewasa</h2> <p>Bagi kita yang telah dewasa, mengamankan capaian penting—seperti menikah dan memiliki anak—menjadi semakin sulit di tengah krisis ekonomi yang dihadapi di seluruh dunia.</p> <p>Sebuah survei di Kanada mengungkap bahwa 38% dewasa muda memutuskan untuk <a href="https://www150.statcan.gc.ca/n1/daily-quotidien/230920/dq230920a-eng.htm">menunda hidup sendiri</a> (umumnya mereka keluar dari rumah orang tua setelah berusia 18 tahun). Angka tersebut meningkat dari yang tadinya 32% di 2018. Alasan utamanya adalah ketidakpastian ekonomi.</p> <p>Penundaan ini tak hanya berpotensi memperlambat, tetapi berpeluang mempersulit proses menjadi sosok dewasa yang independen. Di Inggris, satu dari lima dewasa muda yang sudah memutuskan untuk hidup sendiri akhirnya <a href="https://www.yorkshiretimes.co.uk/article/One-In-Five-Brits-Forced-To-Move-Back-Into-Their-Family-Home">kembali ke rumah orang tua</a> karena krisis biaya hidup.</p> <p>Melambungnya harga rumah jadi faktor penting yang berkontribusi pada penundaan tersebut. Harga rumah naik di berbagai negara termasuk <a href="https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20240516114403-92-1098354/harga-rumah-terus-naik-dan-mahal-kuartal-i-2024">Indonesia</a>, tak terkecuali di <a href="https://ifstudies.org/report-brief/homes-for-young-families-a-pro-family-housing-agenda">Amerika Serikat</a>, <a href="https://www.cmhc-schl.gc.ca/professionals/housing-markets-data-and-research/market-reports/housing-market/housing-market-outlook">Kanada</a>, <a href="https://www.theguardian.com/money/2025/jan/28/london-house-sales-brexit-foxtons-profits">Britania Raya</a>, dan negara-negara lainnya.</p> <hr> <p> <em> <strong> Baca juga: <a href="https://theconversation.com/apakah-kita-mampu-beli-tiny-house-kalau-enggak-beli-kopi-255775">Apakah kita mampu beli 'tiny house' kalau enggak beli kopi?</a> </strong> </em> </p> <hr> <p>Sejumlah 55% anak muda di Kanada mengakui bahwa krisis perumahan membuat mereka menunda keputusan untuk berkeluarga. Kondisi ini tak mengherankan. Sebab, memiliki rumah kini terasa mustahil bagi sebagian besar orang.</p> <figure class="align-center "> <img alt="Tanda rumah dijual dari beberapa agen properti terlihat di sebuah lahan" src="https://images.theconversation.com/files/660896/original/file-20250409-56-b51v9g.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=45&amp;auto=format&amp;w=754&amp;fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/660896/original/file-20250409-56-b51v9g.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=45&amp;auto=format&amp;w=600&amp;h=334&amp;fit=crop&amp;dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/660896/original/file-20250409-56-b51v9g.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=30&amp;auto=format&amp;w=600&amp;h=334&amp;fit=crop&amp;dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/660896/original/file-20250409-56-b51v9g.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=15&amp;auto=format&amp;w=600&amp;h=334&amp;fit=crop&amp;dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/660896/original/file-20250409-56-b51v9g.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=45&amp;auto=format&amp;w=754&amp;h=420&amp;fit=crop&amp;dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/660896/original/file-20250409-56-b51v9g.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=30&amp;auto=format&amp;w=754&amp;h=420&amp;fit=crop&amp;dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/660896/original/file-20250409-56-b51v9g.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=15&amp;auto=format&amp;w=754&amp;h=420&amp;fit=crop&amp;dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"> <figcaption> <span class="caption">Perekonomian yang sulit membuat anak muda di seluruh dunia menunda pencapaian masa dewasa mereka.</span> <span class="attribution"><span class="source">(Shutterstock)</span></span> </figcaption> </figure> <p>Penundaan ini membawa dampak beruntun bagi individu dan masyarakat luas. Misalnya seperti <a href="https://www150.statcan.gc.ca/n1/pub/11-630-x/11-630-x2014002-eng.htm">tren kelahiran yang menurun</a> sampai preferensi <a href="https://abacusdata.ca/the-housing-crisis-impact-on-younger-canadians/">memiliki keluarga kecil</a> (menghindari pertambahan anak).</p> <h2>Pacaran di tengah ekonomi sulit</h2> <p>Di beberapa negara, dampak perekonomian melambat adalah pasangan <a href="https://mashable.com/article/dating-cost-of-living">memutuskan untuk hidup bersama lebih cepat dari biasanya</a>. Hal ini dilakukan untuk menghemat biaya hidup. Sebagian pasangan juga memilih lebih blak-blakan sedari awal hubungan terkait bahasan keuangan, pekerjaan, dan tempat tinggal.</p> <p>Tren mencari “pasangan mapan” juga semakin marak. Berdasarkan laporan tahunan aplikasi kencan Bumble, sejumlah <a href="https://bumble.com/en-ca/the-buzz/bumble-dating-trends-2025">95% individu lajang mengkhawatirkan masa depan</a>. </p> <p>Kekhawatiran ini memengaruhi cara mereka memulai dan menjalani hubungan. Kekhawatiran yang paling umum dimiliki adalah soal kondisi finansial, kepastian kerja, kepemilikan rumah, dan perubahan iklim.</p> <p>Di sisi lain, kondisi ekonomi sulit juga membuat sesi kencan lebih sederhana dan lebih murah. Di Kanada, lebih dari setengah masyarakat Kanada menyebut bahwa <a href="https://www.ctvnews.ca/atlantic/article/the-rising-cost-of-a-date-and-why-you-dont-need-to-spend-a-lot-to-find-love/">kenaikan biaya hidup memengaruhi cara mereka berkencan</a>.</p> <p>Makin banyak orang memilih <a href="https://ici.radio-canada.ca/rci/en/news/1942808/how-the-high-cost-of-living-is-shifting-the-dating-scene">aktivitas kencan yang lebih terjangkau</a>. Misalnya, mereka sekadar pergi ke kafe atau piknik dengan masakan rumahan daripada makan malam mewah atau bepergian di akhir pekan.</p> <p>Di <a href="https://business.yougov.com/content/45316-third-single-britons-say-cost-living-crisis-has-ma">Inggris</a>, inflasi membuat sejumlah 33% individu muda yang lajang makin enggan untuk berkencan. Bahkan, sekitar seperempat dari mereka menyebut bahwa kondisi perekonomian sekarang membuat mereka tak melakukan upaya apa pun untuk mencari pasangan.</p> <figure class="align-center "> <img alt="Dua orang menyulangkan gelas anggur mereka di meja berhiaskan lilin" src="https://images.theconversation.com/files/660900/original/file-20250409-68-awkeo9.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=45&amp;auto=format&amp;w=754&amp;fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/660900/original/file-20250409-68-awkeo9.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=45&amp;auto=format&amp;w=600&amp;h=401&amp;fit=crop&amp;dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/660900/original/file-20250409-68-awkeo9.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=30&amp;auto=format&amp;w=600&amp;h=401&amp;fit=crop&amp;dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/660900/original/file-20250409-68-awkeo9.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=15&amp;auto=format&amp;w=600&amp;h=401&amp;fit=crop&amp;dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/660900/original/file-20250409-68-awkeo9.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=45&amp;auto=format&amp;w=754&amp;h=503&amp;fit=crop&amp;dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/660900/original/file-20250409-68-awkeo9.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=30&amp;auto=format&amp;w=754&amp;h=503&amp;fit=crop&amp;dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/660900/original/file-20250409-68-awkeo9.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=15&amp;auto=format&amp;w=754&amp;h=503&amp;fit=crop&amp;dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"> <figcaption> <span class="caption">Tekanan ekonomi membuat semakin sedikit pasangan melakukan aktivitas kencan yang mahal dan mewah.</span> <span class="attribution"><span class="source">(Shutterstock)</span></span> </figcaption> </figure> <p>Kondisi perekonomian yang tak mendukung ini juga memaksa para <a href="https://about-us.bmo.com/the-price-of-love-how-a-rising-cost-of-living-is-affecting-dating-and-relationships/">individu lajang di Amerika Serikat</a> untuk menyesuaikan rencana kencan mereka agar lebih ramah kantong.</p> <p>Sekitar 44% dari mereka menyesuaikan kencan dengan alasan keuangan. Sebanyak 27% lainnya membatalkan rencana kencan untuk berhemat. Jelas bahwa perekonomian global benar-benar memengaruhi ranah kehidupan kita, bahkan kencan sekali pun.</p> <p>Di Kanada, sejumlah 38% individu yang sedang berkencan merasa bahwa <a href="https://newsroom.bmo.com/2025-02-06-BMO-Survey-Rising-Cost-of-Living-is-Affecting-Dating">biaya untuk berkencan</a> menghambat proses mereka menjadi independen secara finansial. Tak heran, sebagian individu bahkan memutuskan untuk tak berkencan sama sekali.</p> <h2>Harga pertemanan</h2> <p>Pertemanan tak luput dari pengaruh inflasi. Kegiatan seperti makan malam bersama atau pergi ke konser terasa makin memberatkan kantong. </p> <p>Sekitar 40% masyarakat <a href="https://vancouver.citynews.ca/2023/11/27/canada-inflation-isolation/">Kanada</a>, 42% masyarakat <a href="https://fareshare.org.uk/news-media/press-releases/cost-of-living-crisis-causing-loneliness-epidemic-for-young-people/">Inggris</a>, dan 37% masyarakat <a href="https://www.cbsnews.com/video/how-inflation-impacting-americans-social-lives/">Amerika Serikat</a> memutuskan untuk mengurangi <em>hangout</em> karena alasan keuangan.</p> <hr> <p> <em> <strong> Baca juga: <a href="https://theconversation.com/ternyata-mentraktir-teman-bisa-tingkatkan-kebahagian-kita-261953">Ternyata mentraktir teman bisa tingkatkan kebahagian kita</a> </strong> </em> </p> <hr> <p>Mungkin pengurangan agenda sosial ini terkesan sepele. Namun, penurunan interaksi sosial berdampak serius. Interaksi sosial rutin punya dampak positif untuk <a href="https://www.thenewhopemhcs.com/the-role-of-social-connections-in-mental-wellness/">kesehatan mental</a>, ketahanan menghadapi masalah, dan perkembangan karier. Semakin berkurang interaksi sosial, semakin besar <a href="https://doi.org/10.1007/s00127-020-01891-z">risiko kesepian dan rasa terisolasi</a>—dua faktor yang amat penting untuk kesejahteraan diri.</p> <p>Banyak dari kita kini memilih kegiatan yang lebih ramah kantong. Namun, dengan penyesuaian sekreatif apa pun, ekonomi sulit membuat peluang mempertahankan pertemanan jadi sempit.</p> <h2>Ekonomi sulit, hubungan rumit</h2> <p>Di usia 20-30 tahun, kita mungkin merasakan sendiri dampak kondisi ekonomi pada hubungan yang kita jalani. Inflasi memengaruhi relasi—mulai dari dengan siapa kita tinggal, cara kita berkencan, sampai apakah kita akan mengambil keputusan penting dalam hidup atau tidak.</p> <p>Penting untuk kita dapat mempertahankan relasi sosial yang sehat dan kuat di tengah tekanan perekonomian yang berat. <a href="https://doi.org/10.1111/jomf.12284">Sebuah penelitian</a> menunjukkan tiga cara efektif yang dapat kita lakukan: memberikan dukungan emosional pada pasangan, menyelesaikan masalah secara positif, dan menjaga komunikasi terbuka.</p> <hr> <p> <em> <strong> Baca juga: <a href="https://theconversation.com/membedah-childfree-secara-ekonomi-berapa-biaya-membesarkan-anak-168196">Membedah 'childfree' secara ekonomi: berapa biaya membesarkan anak?</a> </strong> </em> </p> <hr> <p>Mungkin kita bisa mengganti agenda kencan dengan kegiatan yang lebih <em>budget-friendly</em>. Mungkin kita menunda pernikahan karena belum punya cukup biaya untuk hidup bersama. Mungkin kita memilih untuk tak menikah atau <em>childfree</em> karena alasan ekonomi.</p> <p>Kamu tak sendirian, kondisi ekonomi memang memengaruhi relasi.</p> <hr> <p><em>Kezia Kevina Harmoko berkontribusi dalam penerjemahan artikel ini.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/263194/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" /> <p class="fine-print"><em><span>Melise Panetta tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p> Uang memang sering menjadi sumber konflik dalam hubungan. Namun, kondisi ekonomi saat ini membuat hubungan makin sulit dijalani. Melise Panetta, Lecturer of Marketing in the Lazaridis School of Business and Economics, Wilfrid Laurier University Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives. tag:theconversation.com,2011:article/262700 2025-08-17T05:06:15Z 2025-08-17T05:06:15Z Demotivasi bukan kemalasan: Pahami sinyal psikologis yang satu ini <blockquote> <p>● Demotivasi adalah kondisi psikologis yang sering muncul saat makna, kendali, atau keterhubungan dalam aktivitas terganggu.</p> <p>● Penyebabnya meliputi hilangnya relevansi tugas, beban kerja berlebih, otonomi kurang, kelelahan, dan rutinitas monoton.</p> <p>● Ada beragam cara mengelola demotivasi. Mulai dari menemukan kembali makna personal, hingga menyesuaikan ekspektasi.</p> </blockquote> <hr> <p>Pernah mengalami hari-hari ketika segalanya terasa berat? Pekerjaan menumpuk, tenggat waktu mendekat, tetapi dorongan untuk mulai seolah menghilang?</p> <p>Banyak orang menganggap kondisi seperti ini sebagai kemalasan. Kita buru-buru menyalahkan diri sendiri: kurang disiplin, kurang motivasi, atau terlalu manja. </p> <p>Padahal, dalam banyak kasus, yang terjadi bukan malas, melainkan demotivasi. Ini adalah <a href="https://doi.org/10.1037/0003-066X.55.1.68">kondisi psikologis</a> yang berkaitan erat dengan turunnya motivasi intrinsik atau dorongan yang datang dari dalam diri, bukan eksternal. </p> <p>Demotivasi adalah pengalaman manusiawi. Mereka yang biasanya aktif dan penuh semangat pun bisa mengalaminya. Menurut <a href="https://link.springer.com/rwe/10.1007/978-3-031-17299-1_2630">teori <em>Self-Determination</em> (determinasi diri)</a>, motivasi akan bertahan ketika tiga kebutuhan dasar manusia terpenuhi. Tiga kebutuhan dasar manusia antara lain merasa mampu, memiliki kendali, dan terhubung dengan orang lain. </p> <p>Jika salah satunya terganggu, motivasi bisa melemah tanpa kita sadari.</p> <p>Maka, ketika semangat kerja atau belajar tiba-tiba meredup, mungkin yang kita butuhkan bukan nasihat motivasional, melainkan ruang untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi di dalam diri.</p> <h2>Demotivasi vs kemalasan</h2> <p>Label “malas” sering kali melekat begitu saja pada seseorang yang terlihat tidak produktif. Padahal, dari sudut pandang psikologi, kondisi ini lebih kompleks.</p> <p>Kemalasan cenderung dipahami sebagai sifat dan stigma yang melekat pada karakter seseorang. Sementara <a href="https://doi.org/10.1093/oxfordhb/9780190666453.001.0001">demotivasi</a> adalah keadaan psikologis yang bersifat sementara dan dipengaruhi oleh konteks.</p> <p>Seseorang bisa saja terlihat tidak bergerak, tapi bukan berarti tidak peduli. Bisa jadi dirinya sedang mengalami konflik batin antara keinginan dan kapasitas, antara tanggung jawab dan keterbatasan energi mental. Artinya, <a href="https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC5113774/?utm_source=chatgpt.com">demotivasi</a> bukanlah kekurangan kemauan, melainkan kehilangan arah atau makna.</p> <p>Penelitian di Amerika Serikat (AS) pada 2017 menunjukkan bahwa persepsi terhadap relevansi tugas <a href="https://doi.org/10.1177/1069072716680047">sangat menentukan tingkat motivasi seseorang</a>. Ketika sebuah tugas tidak lagi terasa bermakna, <a href="https://doi.org/10.1016/j.riob.2010.09.001">semangat untuk mengerjakannya menurun drastis.</a></p> <p>Demotivasi juga bisa muncul ketika individu merasa <a href="https://journals.sagepub.com/doi/full/10.1177/21582440211041101">tidak memiliki kendali atas apa yang mereka lakukan</a>. Dalam konteks pekerjaan atau studi, perasaan dikekang, dipantau berlebihan, atau tidak diberikan ruang untuk mengambil keputusan sendiri dapat secara signifikan mengikis motivasi.</p> <p><div data-react-class="InstagramEmbed" data-react-props="{&quot;url&quot;:&quot;https://www.instagram.com/p/DFcu6YGvOkn&quot;,&quot;accessToken&quot;:&quot;127105130696839|b4b75090c9688d81dfd245afe6052f20&quot;}"></div></p> <h2>Penyebab umum demotivasi</h2> <p>Penelitian tahun 2019 pada mahasiswa Papua menunjukkan bahwa persepsi atas makna berpengaruh besar terhadap <a href="https://doi.org/10.1177/2158244018823449">motivasi jangka panjang</a>. Tanpa makna, seseorang akan kesulitan <a href="https://doi.org/10.1016/j.riob.2010.09.001">mempertahankan keterlibatan emosional dan kognitif dalam pekerjaannya</a>. </p> <p>Artinya, ketika tugas atau pekerjaan tidak lagi terasa penting, semangat pun mulai luntur. Aktivitas yang dulunya menyenangkan berubah menjadi rutinitas kosong.</p> <p>Faktor lain yang sering memicu demotivasi adalah beban kerja yang berlebihan. Saat terlalu banyak hal harus dilakukan dalam waktu bersamaan, otak merasa kewalahan. Dalam kondisi ini, kita cenderung tidak tahu dari mana harus memulai.</p> <p>Fenomena ini dikenal sebagai <a href="https://doi.org/10.5465/amj.2005.18803921"><em>mental overload</em> (kelebihan beban mental)</a>—tekanan kognitif yang terlalu besar sehingga menghambat pengambilan keputusan dan fokus. Alih-alih menjadi produktif, kita malah terdorong untuk menunda atau menghindari aktivitas.</p> <p>Rasa kehilangan kendali juga memengaruhi motivasi. Ketika seseorang merasa dipaksa, diawasi terus-menerus, atau tidak diberi ruang untuk memilih, kebutuhan dasar akan otonomi menjadi tidak terpenuhi.</p> <p>Demotivasi juga dapat muncul dari kelelahan emosional dan fisik yang tersembunyi. Banyak orang mengabaikan kebutuhan istirahat hingga tubuh dan pikiran memprotes secara halus.</p> <p>Menurunnya motivasi sering kali merupakan cara tubuh “memaksa” kita berhenti sebelum benar-benar kehabisan energi. <em>Burnout</em> atau kelelahan psikologis yang kronis juga dapat <a href="https://doi.org/10.1002/wps.20311">melemahkan perasaan keterlibatan dan kompetensi</a>, dua elemen penting dalam mempertahankan motivasi.</p> <p>Menariknya, demotivasi juga bisa muncul bukan karena terlalu sibuk, tetapi justru karena rutinitas yang monoton. Ketika tidak ada tantangan baru atau ruang untuk tumbuh, seseorang bisa <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/19368623.2022.1996304">kehilangan gairah untuk terlibat</a>.</p> <p>Ini disebut sebagai <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/19368623.2022.1996304"><em>boreout</em></a>, yaitu kelelahan psikologis yang muncul karena kebosanan dan kurangnya makna dalam pekerjaan. Dalam jangka panjang, <em>boreout</em> bisa sama berbahayanya dengan <em>burnout</em>, karena sama-sama mengikis energi psikologis dan rasa keberdayaan.</p> <hr> <figure class="align-left zoomable"> <a href="https://images.theconversation.com/files/658492/original/file-20250330-56-aek5xd.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=45&amp;auto=format&amp;w=1000&amp;fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/658492/original/file-20250330-56-aek5xd.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=45&amp;auto=format&amp;w=237&amp;fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/658492/original/file-20250330-56-aek5xd.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=45&amp;auto=format&amp;w=600&amp;h=750&amp;fit=crop&amp;dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/658492/original/file-20250330-56-aek5xd.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=30&amp;auto=format&amp;w=600&amp;h=750&amp;fit=crop&amp;dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/658492/original/file-20250330-56-aek5xd.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=15&amp;auto=format&amp;w=600&amp;h=750&amp;fit=crop&amp;dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/658492/original/file-20250330-56-aek5xd.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=45&amp;auto=format&amp;w=754&amp;h=943&amp;fit=crop&amp;dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/658492/original/file-20250330-56-aek5xd.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=30&amp;auto=format&amp;w=754&amp;h=943&amp;fit=crop&amp;dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/658492/original/file-20250330-56-aek5xd.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=15&amp;auto=format&amp;w=754&amp;h=943&amp;fit=crop&amp;dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a> <figcaption> <span class="caption"></span> </figcaption> </figure> <p><em>Gaji tak kunjung naik. Promosi mesti pindah perusahaan. Skripsi belum juga ACC. Diet ketat, berat badan tak turun juga. Lingkungan kerja toxic, bosnya narsistik. Gaji bulan ini mesti dibagi untuk orang tua dan anak. Mau sustainable living, ongkosnya mahal. Notifikasi kantor berdenting hingga tengah malam. Generasi Zilenials hidup di tengah disrupsi teknologi, persaingan ketat, dan kerusakan lingkungan.</em> </p> <p><em>Simak ‘Lika Liku Zilenial’ mengupas tuntas permasalahanmu berdasar riset dan saran pakar.</em></p> <hr> <h2>Bagaimana mengelola demotivasi?</h2> <p>Secara psikologis, motivasi adalah kondisi yang dinamis, bisa naik dan turun. Motivasi juga bergantung pada banyak faktor, seperti konteks, emosi, energi, dan kebutuhan personal.</p> <p>Penelitian di AS tahun 2025 dalam bidang psikologi kognitif dan afektif menunjukkan bahwa fluktuasi motivasi merupakan <a href="https://doi.org/10.1111/j.1751-9004.2007.00001.x">reaksi normal</a> terhadap perubahan lingkungan, beban kerja, serta regulasi emosi yang sedang terjadi.</p> <p>Ketika motivasi menurun, dorongan pertama kita adalah menyemangati diri sendiri sekeras mungkin. Namun, memaksakan produktivitas justru memperpanjang siklus demotivasi. Sebaliknya, memahami akar penyebab dan meresponsnya dengan empati bisa lebih efektif.</p> <p>Berikut beberapa pendekatan yang dapat membantu:</p> <p><strong>1. Temukan ulang makna personal dari aktivitas</strong></p> <p>Alih-alih berfokus pada “apa yang harus diselesaikan”, cobalah bertanya, “kenapa aku ingin (atau dulu ingin) melakukan ini?”</p> <p>Mengingat kembali alasan personal—rasa ingin tahu, tujuan jangka panjang, atau nilai yang kita yakini—<a href="https://doi.org/10.1016/j.riob.2010.09.001">dapat menghidupkan kembali motivasi intrinsik</a>.</p> <p><strong>2. Mulailah dari langkah kecil</strong></p> <p>Motivasi sering kali datang setelah kita memulai, bukan sebelumnya. Maka, daripada menunggu <em>mood</em> datang, lebih baik ambil satu langkah kecil yang konkret.</p> <p>Konsep ini dikenal sebagai <a href="https://doi.org/10.1093/clipsy.8.3.255"><em>behavioral activation</em></a>—ketika tindakan kecil mampu memicu dorongan emosional yang lebih besar.</p> <p><strong>3. Berhenti sejenak</strong></p> <p>Demotivasi bisa jadi sinyal bahwa tubuh dan pikiran butuh istirahat. Menunda dengan sadar untuk memulihkan energi bukanlah kemalasan, melainkan perawatan diri. </p> <p>Bahkan, jeda yang disengaja sering kali membantu memulihkan kejernihan berpikir dan arah tujuan.</p> <p><strong>4. Kurangi ekspektasi yang tidak realistis</strong></p> <p>Tekanan berlebih tidak selalu mempercepat kemajuan, tapi kadang justru melumpuhkan. Demotivasi pun muncul ketika kita menuntut terlalu banyak dalam waktu singkat.</p> <p>Merapikan ekspektasi, menyesuaikan standar, dan menyederhanakan daftar tugas bisa memberikan kita ruang bernapas. </p> <p><strong>5. Bangun ulang rasa otonomi dan keterhubungan</strong> </p> <p>Diskusikan perasaan dengan orang terdekat, atasan, atau rekan kerja. Dukungan sosial yang hangat bisa membantu kita merasa kembali terkoneksi dan memegang kendali atas situasi yang dihadapi.</p> <p>Demotivasi bukan pertanda bahwa kita gagal, malas, atau kurang ambisi. Ia adalah sinyal dari dalam diri bahwa ada sesuatu yang perlu ditinjau ulang: nilai, ritme hidup, tujuan, atau cara kita merawat diri. </p> <p>Dalam hidup yang penuh tekanan untuk selalu produktif, penting untuk memberi ruang bagi keterlambatan, ketidaksempurnaan, dan istirahat.</p> <hr> <iframe src="https://tally.so/embed/m6lL7N?alignLeft=1&amp;hideTitle=1&amp;transparentBackground=1&amp;dynamicHeight=1" width="100%" height="321" frameborder="0" marginheight="0" marginwidth="0" title="Survey Form"> </iframe><img src="https://counter.theconversation.com/content/262700/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" /> <p class="fine-print"><em><span>Nur&#39;aini Azizah tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p> Demotivasi sering dianggap sebagai kemalasan. Padahal, demotivasi adalah pengalaman yang sangat manusiawi. Nur'aini Azizah, Dosen Psikologi, Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives. tag:theconversation.com,2011:article/260294 2025-07-11T06:44:01Z 2025-07-11T06:44:01Z Cara membahas masalah tanpa menimbulkan pertengkaran: Tip dari ahli <figure><img src="https://images.theconversation.com/files/677742/original/file-20240821-16-32c8m.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;rect=30%2C7%2C5031%2C3354&amp;q=45&amp;auto=format&amp;w=1050&amp;h=700&amp;fit=crop" /><figcaption><span class="caption"></span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/breakup-depressed-asian-young-quarrel-couple-2480511549">Pormezz / Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Kita sebagai manusia memiliki perbedaan satu sama lain yang memengaruhi pendapat kita. Maka dari itu, ada kalanya kita tidak setuju dengan pendapat orang lain.</p> <p>Berbeda pendapat kadang berubah menjadi perselisihan kecil yang bisa kita cegah sesimpel dengan mengedit <em>chat</em>. Namun, perdebatan topik sensitif dapat berujung pada pertengkaran serius.</p> <p>Mungkin kita pernah mengalami perdebatan intens menjelang hari raya. Biasanya pada momen hari besar, kita menghabiskan lebih banyak waktu dengan kerabat dibanding hari biasa. Interaksi inilah yang menjadi cikal bakal pertikaian.</p> <p>Sebuah pertikaian bisa bermula dari berbagai hal, mulai dari pembahasan politik sampai perilaku tertentu. Kita bisa melihat banyak contohnya di media sosial. Semakin kuat pendapat seseorang, semakin intens dan kompleks pula pertengkarannya.</p> <p>Lalu, apa yang dapat kita lakukan agar perdebatan kecil tidak menjadi pertengkaran serius, baik di dunia maya atau dunia nyata?</p> <p>Sebagai seorang ahli interaksi sosial, saya merasa bahwa kita perlu memperhatikan pernyataan seseorang dan bagaimana cara orang itu mengatakannya. Selain itu, kita juga perlu belajar bagaimana menanggapi tanpa mengeruhkan perdebatan.</p> <p>Perbedaan pendapat itu normal. Namun, ini tak melulu harus berakhir pada pertikaian serius. Saya punya tiga tip bagaimana menghindarinya.</p> <h2>1. Cegah eskalasi perdebatan</h2> <p>Ketika kita tidak setuju dengan seseorang, pastikan percakapan tetap terarah dengan <a href="https://theconversation.com/arguing-with-the-people-you-love-how-to-have-a-healthy-family-dispute-159565">tidak menyerang secara personal</a>. Hindari pula tindakan yang dapat <a href="https://www.taylorfrancis.com/chapters/edit/10.4324/9780429058011-13/conflict-interaction-phillip-glenn">membuat seseorang merasa disudutkan</a> misalnya menuduh, menjelekkan, atau mengeluh tentang mereka.</p> <p>Ketika berdebat, kita cenderung menaruh penekanan pada pendapat kita sendiri dan pada <a href="https://books.google.co.uk/books?id=EXF41KW0ZToC&amp;dq=billig+arguing+and+thinking&amp;lr=&amp;source=gbs_navlinks_s">asumsi kita</a> terhadap pemikiran orang lain. </p> <p>Selain memikirkan, “Apa inti argumen ini?” kita juga memikirkan, “Ini sekadar salah paham atau <a href="https://theconversation.com/going-home-for-the-holidays-how-to-navigate-conflict-and-deal-with-difficult-people-196751">karakter orang itu</a> membuat dia punya bias dan tujuan tersembunyi?” </p> <figure class="align-center "> <img alt="Perempuan dan laki-laki muda duduk di meja sambil memandang ponsel sambil menunjukkan ekspresi frustrasi." src="https://images.theconversation.com/files/627368/original/file-20241022-15-syfd4s.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=45&amp;auto=format&amp;w=754&amp;fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/627368/original/file-20241022-15-syfd4s.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=45&amp;auto=format&amp;w=600&amp;h=375&amp;fit=crop&amp;dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/627368/original/file-20241022-15-syfd4s.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=30&amp;auto=format&amp;w=600&amp;h=375&amp;fit=crop&amp;dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/627368/original/file-20241022-15-syfd4s.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=15&amp;auto=format&amp;w=600&amp;h=375&amp;fit=crop&amp;dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/627368/original/file-20241022-15-syfd4s.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=45&amp;auto=format&amp;w=754&amp;h=472&amp;fit=crop&amp;dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/627368/original/file-20241022-15-syfd4s.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=30&amp;auto=format&amp;w=754&amp;h=472&amp;fit=crop&amp;dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/627368/original/file-20241022-15-syfd4s.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=15&amp;auto=format&amp;w=754&amp;h=472&amp;fit=crop&amp;dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"> <figcaption> <span class="caption">Media sosial telah memunculkan peluang konflik tanpa batas.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/smartphone-addiction-concept-frustrated-annoyed-young-512202448">pathdoc / Shutterstock</a></span> </figcaption> </figure> <p>Kita juga sangat sensitif terhadap apakah seseorang benar-benar meyakini apa yang mereka bicarakan. Riset menunjukkan bahwa kita cenderung membenci sosok yang dengan <a href="https://academic.oup.com/pq/advance-article-abstract/doi/10.1093/pq/pqae033/7661066">sengaja berbeda pendapat</a> sekadar untuk mengetes argumen kita.</p> <p>Sebenarnya, kita tidak pernah tahu tujuan asli seseorang. Maka dari itu, ada baiknya kita tidak langsung <a href="https://scholar.colorado.edu/concern/graduate_thesis_or_dissertations/qb98mf58n">berpikiran negatif</a> tentang mereka. </p> <p>Ketika pikiran negatif bermain, kita akan cenderung berinteraksi dengan mereka seakan-akan mereka memang sosok yang manipulatif, tak adil, menyakitkan, atau tak logis. Padahal, belum tentu dugaan kita benar.</p> <h2>2. Jadilah <em>open-minded</em></h2> <p>Terkadang, perkataan seseorang terdengar (dan terasa) menyakitkan. Ketika kita mendengar perkataan menyakitkan, ingatlah dua hal berikut.</p> <p>Yang pertama, apapun yang seseorang ucapkan tak pernah bermakna tunggal. Biasanya, apa yang seseorang katakan punya <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/0163853X.2022.2028088">beberapa makna</a>. Kita tidak bisa langsung menelan mentah-mentah perkataan yang terlontar dari seseorang, apalagi ketika berada dalam diskusi panas.</p> <p>Dalam sebuah pertikaian, kita perlu ambil waktu untuk menenangkan diri dan memikirkan berbagai <a href="https://theconversation.com/how-to-resolve-friendship-tension-like-lorde-and-charli-xcx-234025">makna alternatif</a> dari sebuah pernyataan. </p> <p>Kita pun dapat secara terbuka meminta waktu untuk berpikir. Kita bisa juga menyeduh minuman sejenak untuk menenangkan suasana, supaya perdebatan tidak semakin kehilangan arah.</p> <p>Yang kedua, ketika kita sudah berusaha berpikir positif, tetapi argumen lawan bicara kita tetap negatif, cobalah untuk meminta mereka menjelaskan lebih lanjut.</p> <p>Tentu ini tidak mudah kita lakukan. Namun, cara ini dapat mendorong seseorang <a href="https://www.taylorfrancis.com/chapters/edit/10.4324/9780429058011-13/conflict-interaction-phillip-glenn">mengungkapkan maksud mereka yang sebenarnya</a>. Tindakan ini juga membuat mereka merasa benar-benar didengar sehingga memperkecil peluang reaksi negatif karena merasa tak dihargai.</p> <h2>3. Fokus pada topik utama</h2> <p>Selain belajar menanggapi argumen seseorang, kita juga perlu belajar memberikan tanggapan yang tak melenceng dari topik utama. Kita perlu berhati-hati pada apa yang kita ucapkan. </p> <p>Kita juga perlu memperhitungkan bagaimana persepsi orang lain ketika kita mengatakan sesuatu.</p> <p>Perlu diingat, siapa pun, termasuk diri kita sendiri, dapat terjebak dalam pertikaian dan mengatakan sesuatu yang akan kita sesali.</p> <p>Oleh karena itu, ada kalanya kita perlu berhenti berdebat untuk merefleksikan apa yang diperdebatkan dan bagaimana kita menyampaikannya.</p> <p>Misalnya dengan berkata, “Kita sedang membicarakan tentang masa depan kita. Aku tidak paham mengapa kamu sangat agresif tentang ini.” Langkah ini bermanfaat agar perbincangan tidak hilang fokus. Namun, langkah ini memang berpeluang <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/08351813.2020.1826765?casa_token=aowetNDp0rsAAAAA:siG2I5HjeA3_CAiN7GpLsqtTicAk4UGcB8PVrFoDR_qGNrSDa1iiYVYIUOYN-Pe4Ce6z9L4gnhVf">diartikan sebagai sindiran</a> pada lawan bicara.</p> <p>Jika kita merasa perlu melakukan langkah tersebut, maka kita perlu menyampaikan permintaan maaf terlebih dahulu dan berbicara dengan nada yang lebih tenang. Cara ini penting diterapkan untuk mencegah lawan bicara merasa diserang atau “tertuduh”. </p> <p>Teknik komunikasi ini memang tidak mudah sehingga jangan berkecil hati jika kita tidak berhasil melakukannya saat pertama kali.</p> <figure class="align-center "> <img alt="Seorang laki-laki dan perempuan berdebat saat bekerja, seorang perempuan lain memegang kepalanya." src="https://images.theconversation.com/files/614893/original/file-20240821-22-j0uv6x.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=45&amp;auto=format&amp;w=754&amp;fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/614893/original/file-20240821-22-j0uv6x.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=45&amp;auto=format&amp;w=600&amp;h=400&amp;fit=crop&amp;dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/614893/original/file-20240821-22-j0uv6x.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=30&amp;auto=format&amp;w=600&amp;h=400&amp;fit=crop&amp;dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/614893/original/file-20240821-22-j0uv6x.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=15&amp;auto=format&amp;w=600&amp;h=400&amp;fit=crop&amp;dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/614893/original/file-20240821-22-j0uv6x.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=45&amp;auto=format&amp;w=754&amp;h=503&amp;fit=crop&amp;dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/614893/original/file-20240821-22-j0uv6x.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=30&amp;auto=format&amp;w=754&amp;h=503&amp;fit=crop&amp;dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/614893/original/file-20240821-22-j0uv6x.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=15&amp;auto=format&amp;w=754&amp;h=503&amp;fit=crop&amp;dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"> <figcaption> <span class="caption">Siapa pun dapat terjebak dalam sebuah pertikaian, termasuk kita sendiri.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/stressed-annoyed-office-employee-manager-having-1368238667">fizkes / Shutterstock</a></span> </figcaption> </figure> <h2>Apakah kita memegang nilai yang sama?</h2> <p>Seseorang tidak berdebat hanya karena menginginkannya. Salah satu alasan umum seseorang berdebat adalah untuk menunjukkan posisi atau nilai yang mereka percayai dalam sebuah hubungan. Mereka ingin tahu apakah kita berada di sisi yang sama dan memegang nilai yang sama atau tidak.</p> <p>Argumen erat kaitannya dengan identitas. Argumen yang kontroversial memunculkan <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1002/ejsp.2420190303?casa_token=nYHJk2R9dYAAAAAA%3AKAqQf7aOGsQPiLkUFbomcgEfNFIaTi7szsaVmB1qc7FIflplwySrWJkteO9VIl4jqiPuzDTcXCGWKg">perasaan yang intens</a>. Kita sadar bahwa ada kemungkinan kita dihakimi karena pendapat kita. Sebaliknya, orang lain juga berasumsi bahwa kita dapat menghakimi mereka.</p> <p>Penghakiman satu sama lain sangat mudah memburuk. Tak hanya di tengah perdebatan, tetapi juga dalam sebuah hubungan. Penghakiman dapat menyebabkan keretakan sementara atau bahkan berakhirnya sebuah hubungan.</p> <p>Umumnya, kita berusaha tidak menghakimi orang lain dengan cara mengesampingkan perasaan dan “fokus ke fakta yang ada”. Namun, respons emosional sebenarnya merupakan fakta bahwa seseorang <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0378216618304302?casa_token=AV5JY_4eFtQAAAAA:xbmjXvMZvx-XaYVKMCiuOnyvjFVfYYRqZc-IzJ-A_FOk0sW74MQPsMNR-0i0omssfgydyB6auA">memegang nilai tertentu</a>.</p> <p>Berkaca pada hal tersebut, penting untuk kita lebih peka pada perasaan orang lain. Dari sana, kita dapat mengira-ngira, apakah kita bisa mengubah pikiran mereka, seberapa jauh kita bisa mengubahnya, atau justru lebih baik tak meneruskan perdebatan—setidaknya dalam waktu dekat.</p> <hr> <p><em>Kezia Kevina Harmoko berkontribusi dalam penerjemahan artikel ini.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/260294/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" /> <p class="fine-print"><em><span>Jessica Robles tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p> Arguments are a fact of life, but they don’t have to ruin your relationships. Jessica Robles, Lecturer in Social Psychology, Loughborough University Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives. tag:theconversation.com,2011:article/258460 2025-07-02T07:15:57Z 2025-07-02T07:15:57Z Kamu nyaman curhat dengan AI? Hati-hati kena gangguan mental <figure><img src="https://images.theconversation.com/files/677789/original/file-20250702-56-iljeqi.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;rect=428%2C0%2C3240%2C2160&amp;q=45&amp;auto=format&amp;w=1050&amp;h=700&amp;fit=crop" /><figcaption><span class="caption">Seorang perempuan sedang duduk sambil curhat dengan robot humanoid AI di sebuah ruang tamu.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/side-view-serious-young-woman-sitting-2444655751">VesnaArt/Shutterstock</a></span></figcaption></figure><blockquote> <p>● Kaum muda kini sering menjadikan ‘chatbot’ AI sebagai teman curhat.</p> <p>● Ketergantungan terhadap AI dalam kehidupan sosial membawa dampak negatif.</p> <p>● Perlu ada pendekatan etis dalam mendesain AI.</p> </blockquote> <hr> <p>Pernahkah kamu mencoba berkomunikasi dengan chatbot seperti ChatGPT, Replika, atau asisten virtual lainnya?</p> <p>Seiring berkembangnya era digital, sejumlah <a href="https://journal.uc.ac.id/index.php/calathu/article/view/5376">riset</a> menunjukkan munculnya fenomena baru: chatbot AI mulai digunakan sebagai <a href="https://ejurnal.stikpmedan.ac.id/index.php/JIKQ/article/view/503">teman curhat</a>, terutama di kalangan kaum muda.</p> <p>Bagi mereka, <a href="https://ejurnal.stikpmedan.ac.id/index.php/JIKQ/article/view/503">AI bisa menjadi</a> konsultan profesional hingga teman diskusi untuk menemukan solusi persoalan sehari-hari. </p> <p>Dua penelitian tentang <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/0144929X.2025.2502467">teknologi</a> dan <a href="https://dl.acm.org/doi/abs/10.1145/3487890">perilaku manusia</a> menemukan bahwa sebagian orang mulai menjalin hubungan sosial, bahkan emosional, dengan AI. Ikatan yang terbentuk bukan hanya interaksi teknis biasa, melainkan berkembang menjadi ikatan psikologis. </p> <p>Dalam beberapa kasus, AI bahkan sudah <a href="https://jurnal.uinsu.ac.id/index.php/KOMUNIKOLOGI/article/download/16653/7703">dianggap sebagai sahabat</a> hingga <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1111/pere.12572">pasangan virtual</a>. <a href="https://jurnal.uinsu.ac.id/index.php/KOMUNIKOLOGI/article/download/16653/7703">Rasa aman dan perasaan dimengerti</a> menjadi alasan utama orang memilih berkomunikasi dengan AI.</p> <p>Namun, hubungan semu semacam ini menyimpan risiko. Ketergantungan berlebih pada AI bisa menjauhkan seseorang dari realitas sosial, menurunkan motivasi untuk berinteraksi dengan sesama, bahkan memicu gangguan mental.</p> <p>Oleh karena itu, pendekatan etis dalam pengembangan AI perlu segera dilakukan.</p> <h2>Mengapa AI bisa mengerti kita?</h2> <p>Tanpa kita sadari, komunikasi yang intens dengan chatbot akan memberi ruang bagi AI untuk mengenal penggunanya. Teknologi ini belajar dari data dan membentuk pola interaksi.</p> <figure class="align-center "> <img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/677790/original/file-20250702-56-wjxnws.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=45&amp;auto=format&amp;w=754&amp;fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/677790/original/file-20250702-56-wjxnws.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=45&amp;auto=format&amp;w=600&amp;h=316&amp;fit=crop&amp;dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/677790/original/file-20250702-56-wjxnws.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=30&amp;auto=format&amp;w=600&amp;h=316&amp;fit=crop&amp;dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/677790/original/file-20250702-56-wjxnws.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=15&amp;auto=format&amp;w=600&amp;h=316&amp;fit=crop&amp;dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/677790/original/file-20250702-56-wjxnws.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=45&amp;auto=format&amp;w=754&amp;h=398&amp;fit=crop&amp;dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/677790/original/file-20250702-56-wjxnws.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=30&amp;auto=format&amp;w=754&amp;h=398&amp;fit=crop&amp;dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/677790/original/file-20250702-56-wjxnws.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=15&amp;auto=format&amp;w=754&amp;h=398&amp;fit=crop&amp;dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"> <figcaption> <span class="caption">Sebuah robot humanoid AI sedang duduk di depan komputer melakukan pekerjaan, di sampingnya ada beberapa manusia yang juga sedang bekerja.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/robot-working-computer-among-people-maschine-2229125163">VesnaArt/Shutterstock</a></span> </figcaption> </figure> <p><a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/10447318.2023.2193514">Riset terbaru</a> mengungkap bagaimana desain AI yang menyerupai manusia—disebut antropomorfisme—dapat memunculkan empati pengguna. Sifat-sifat seperti suara ramah, respons emosional, atau kepribadian dalam chatbot membuat AI terasa lebih “hidup”.</p> <p>Saat seseorang mencurahkan perasaan, respons AI bisa membuat pengguna nyaman, merasa didengar dan dipahami, meskipun chatbot sebenarnya tidak memiliki emosi. <a href="https://jurnal.uinsu.ac.id/index.php/KOMUNIKOLOGI/article/download/16653/7703">Riset</a> menunjukkan chatbot mampu memberikan saran dan masukan yang membantu pengguna memahami masalah mereka sendiri.</p> <p>Secara teknis, AI memang dirancang untuk memahami kebutuhan manusia melalui analisis data dan algoritma dalam setiap pola interaksi, preferensi, hingga emosi pengguna. Dengan teknologi <em>Natural Language Processing</em> (NLP), AI bisa memahami konteks percakapan dan merespons seolah ia benar-benar memahami lawan bicaranya.</p> <p>Rasa aman dan dimengerti ini membuat banyak orang merasa nyaman membuka diri kepada AI. Mereka AI tidak akan menghakimi dan selalu “hadir” saat dibutuhkan.</p> <p>Namun, penting diingat bahwa hubungan antarmanusia tetap tidak tergantikan dalam memenuhi kebutuhan emosional dan sosial secara utuh.</p> <h2>Risiko ketergantungan emosional dengan AI</h2> <p>Meskipun bisa memberi rasa nyaman, keterikatan emosional dengan AI menyimpan sejumlah risiko serius.</p> <p><strong>1. Terputus dari relasi sosial nyata</strong></p> <p>Ketergantungan emosional pada AI berpotensi menarik seseorang dari relasi sosial nyata antarmanusia. Hal ini berisiko melemahkan kemampuan dan motivasi untuk bersosialisasi, yang sebenarnya penting untuk kesehatan mental dan keseimbangan hidup.</p> <figure class="align-center "> <img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/677787/original/file-20250702-56-gb5olk.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=45&amp;auto=format&amp;w=754&amp;fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/677787/original/file-20250702-56-gb5olk.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=45&amp;auto=format&amp;w=600&amp;h=400&amp;fit=crop&amp;dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/677787/original/file-20250702-56-gb5olk.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=30&amp;auto=format&amp;w=600&amp;h=400&amp;fit=crop&amp;dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/677787/original/file-20250702-56-gb5olk.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=15&amp;auto=format&amp;w=600&amp;h=400&amp;fit=crop&amp;dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/677787/original/file-20250702-56-gb5olk.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=45&amp;auto=format&amp;w=754&amp;h=503&amp;fit=crop&amp;dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/677787/original/file-20250702-56-gb5olk.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=30&amp;auto=format&amp;w=754&amp;h=503&amp;fit=crop&amp;dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/677787/original/file-20250702-56-gb5olk.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=15&amp;auto=format&amp;w=754&amp;h=503&amp;fit=crop&amp;dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"> <figcaption> <span class="caption">Seorang perempuan sedang menggunakan chatbot AI melalui ponselnya.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/chat-bot-concept-female-hands-holding-577254667">panuwat phimpha/Shutterstock</a></span> </figcaption> </figure> <p>Hubungan yang terlalu dalam dengan AI bisa menciptakan ekspektasi tidak realistis dalam menjalin relasi dengan manusia lain, bahkan bisa memperdalam rasa kesepian.</p> <p><strong>2. AI bisa manipulatif juga</strong></p> <p>Belakangan muncul perdebatan bahwa AI bisa didesain untuk memengaruhi perilaku pengguna. Hubungan emosional yang terbangun bisa dimanfaatkan untuk mendorong konsumsi, loyalitas, atau perilaku lain yang menguntungkan pihak tertentu.</p> <p><a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0969698923004253">Penelitian 2024</a> menunjukkan bagaimana penggunaan AI dalam pemasaran di media sosial mampu memperkuat keterikatan emosional antara pengguna dan merek. </p> <p>Ketika pengguna secara intens berkomunikasi dengan akun <em>brand</em> tertentu, AI merekam pola dan preferensi mereka. AI kemudian menyajikan rekomendasi produk yang disesuaikan, seolah-olah memahami kebutuhan pengguna secara personal.</p> <p>Ketika pengguna mulai merasa “nyaman” dan “dimengerti,” keterikatan ini berpotensi dimanfaatkan untuk meningkatkan loyalitas dan mendorong keputusan untuk membeli produk, tanpa disadari sepenuhnya oleh pengguna.</p> <p><strong>3. Kesehatan mental</strong></p> <p>Meskipun tidak secara langsung menimbulkan gangguan kesehatan mental, <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/38495087/">penelitian</a> menunjukkan bahwa ketergantungan terhadap AI berpotensi menimbulkan gejala kecemasan, memperkuat isolasi sosial, hingga mengurangi resiliensi emosional. </p> <p>Bahkan, dalam jangka panjang mampu melemahkan kemampuan manusia untuk mengelola emosi tanpa bantuan teknologi. Relasi dengan AI yang tidak dikelola dengan baik dapat mengganggu keseimbangan psikologis.</p> <p>Pada akhirnya, AI yang mungkin awalnya diciptakan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia, justru bisa menciptakan kerentanan baru.</p> <h2>Perlu penyeimbang</h2> <p>Menghindari dampak negatif dari ketergantungan emosional pada AI bukan berarti harus melarang penggunaannya. Hal yang dibutuhkan adalah pendekatan yang bisa menyeimbangkan antara pemanfaatan teknologi dan perlindungan bagi penggunanya.</p> <figure class="align-center "> <img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/677786/original/file-20250702-68-3rh7w2.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=45&amp;auto=format&amp;w=754&amp;fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/677786/original/file-20250702-68-3rh7w2.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=45&amp;auto=format&amp;w=600&amp;h=400&amp;fit=crop&amp;dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/677786/original/file-20250702-68-3rh7w2.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=30&amp;auto=format&amp;w=600&amp;h=400&amp;fit=crop&amp;dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/677786/original/file-20250702-68-3rh7w2.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=15&amp;auto=format&amp;w=600&amp;h=400&amp;fit=crop&amp;dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/677786/original/file-20250702-68-3rh7w2.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=45&amp;auto=format&amp;w=754&amp;h=503&amp;fit=crop&amp;dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/677786/original/file-20250702-68-3rh7w2.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=30&amp;auto=format&amp;w=754&amp;h=503&amp;fit=crop&amp;dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/677786/original/file-20250702-68-3rh7w2.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=15&amp;auto=format&amp;w=754&amp;h=503&amp;fit=crop&amp;dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"> <figcaption> <span class="caption">Seorang perempuan sedang berbicara dengan robot humanoid sambil menggunakan tabletnya.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-illustration/asian-woman-talking-robot-while-using-1081564826">Phonlamai Photo/Shutterstock</a></span> </figcaption> </figure> <p>Salah satu pendekatannya adalah prinsip <a href="https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC11450345/"><em>ethics of care</em></a>, yang menekankan pentingnya hubungan antar individu, empati, tanggung jawab, dan perhatian pada kesejahteraan pengguna dalam jangka panjang.</p> <p>Namun, implementasi dari <em>ethics of care</em> tidak akan optimal tanpa dukungan sistemik yang berkelanjutan.</p> <p>Diperlukan kebijakan publik dan regulasi teknis yang mengikat untuk menetapkan standar desain AI yang bertanggung jawab, terutama untuk melindungi kelompok masyarakat rentan (anak-anak, remaja, lansia, orang dengan disabilitas) dari desain AI yang manipulatif.</p> <p>AI berpotensi meningkatkan keterasingan sosial dan memperluas jarak emosional antar manusia. Namun, jika dirancang dengan etika relasional, AI akan mampu menjadi sarana untuk memperkuat empati, koneksi, dan solidaritas. </p> <p>Sebagai pengguna, kita perlu memahami bagaimana AI bekerja dan bagaimana ia memengaruhi emosi kita. Literasi emosional digital menjadi penting agar kita tidak hanya tahu cara menggunakan teknologi, tetapi juga menyadari dampaknya terhadap kehidupan kita.</p> <hr> <iframe src="https://tally.so/embed/nW6r7J?alignLeft=1&amp;hideTitle=1&amp;transparentBackground=1&amp;dynamicHeight=1" width="100%" height="321" frameborder="0" marginheight="0" marginwidth="0" title="Survey Form"> </iframe><img src="https://counter.theconversation.com/content/258460/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" /> <p class="fine-print"><em><span>Dyana Chusnulitta Jatnika tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p> Chatbot AI kerap menjadi teman curhat anak muda, bahkan menjalin hubungan emosional. Ketergantungan ini dapat mengganggu realitas dan menyebabkan gangguan mental. Dyana Chusnulitta Jatnika, Dosen Kesejahteraan Sosial, Universitas Padjadjaran Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives. tag:theconversation.com,2011:article/259156 2025-06-30T05:00:41Z 2025-06-30T05:00:41Z Cemas saat berulang tahun? Simak tip psikolog untuk hadapi ‘birthday blues’ <figure><img src="https://images.theconversation.com/files/674755/original/file-20250530-56-fqa408.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;rect=3%2C0%2C3102%2C2068&amp;q=45&amp;auto=format&amp;w=1050&amp;h=700&amp;fit=crop" /><figcaption><span class="caption"></span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/sad-bored-woman-party-having-no-781424419">DavideAngelini/Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Ulang tahun biasanya jadi momen membahagiakan penuh dengan tawa, perayaan, dan hadiah. Namun, tak jarang menjelang ulang tahun, kita justru merasa sedih.</p> <p>Ulang tahun dapat memunculkan emosi menyakitkan bagi orang-orang yang merasa <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0277953614008120">tak dipedulikan, kesepian, atau kecewa</a> dalam hidup mereka.</p> <p>Ulang tahun juga menjadi pengingat <a href="https://theconversation.com/why-thinking-about-ageing-is-so-complex-when-youre-a-woman-in-your-20s-today-251437">bertambahnya usia</a> dan semakin dekatnya kita dengan kematian. Maka dari itu, ulang tahun dapat menimbulkan perasaan duka akan waktu yang telah hilang atau memunculkan rasa takut akan masa depan.</p> <p>Sebuah riset di Jepang menunjukkan bahwa ulang tahun di usia mayor seperti 30 atau 40 sering kali berkaitan dengan <a href="https://www.nature.com/articles/s41598-019-53203-4">peningkatan kasus bunuh diri</a>. Banyak pula individu yang meninggal akibat <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/16728650/">stroke dan serangan jantung</a> menjelang atau tak lama setelah ulang tahun mereka dibandingkan saat hari lain.</p> <p>Segala perasaan negatif, entah depresi ekstrem atau sedikit kekecewaan, perasaan ini dapat disebut sebagai “<em>birthday blues</em>”.</p> <hr> <p> <em> <strong> Baca juga: <a href="https://theconversation.com/fear-of-ageing-is-really-a-fear-of-the-unknown-and-modern-society-is-making-things-worse-220925">Fear of ageing is really a fear of the unknown – and modern society is making things worse</a> </strong> </em> </p> <hr> <p>Salah satu faktor penting yang memengaruhi apakah kita akan merasakan <em>birthday blues</em> atau tidak adalah seberapa puas kita dengan hidup. Kepuasan ini terkait sejauh mana hidup kita sejalan dengan ekspektasi: sudah, melebihi, atau <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/16367493/">masih jauh dari tujuan hidup kita</a>.</p> <p>Jika kita mendekati ulang tahun yang mayor, kita rawan terjebak dalam <a href="https://theconversation.com/three-steps-for-getting-over-social-media-envy-advice-from-a-psychologist-214446">jebakan perbandingan</a> (<em>comparison trap</em>) dari media sosial. Kita jadi merasa minder dengan pencapaian selama ini. Terlebih, ulang tahun sering kali menjadi tolak ukur yang tak terhindarkan, menilai seberapa baik kehidupan kita di usia tertentu.</p> <p>Faktor penting lainnya adalah seberapa kita memahami tujuan hidup kita. Berdasarkan <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/18331281/">riset yang masih berlangsung</a>, ketika tujuan hidup kita semakin jelas, peluang merasakan kesejahteraan mental yang lebih baik akan semakin membesar. Hal ini karena tujuan hidup berkaitan dengan masalah kesehatan mental.</p> <p>Ulang tahun yang mayor sering kali mendorong seseorang <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/25404347/">mengevaluasi kembali makna hidup</a>. Sesi refleksi diri ini dapat menimbulkan tekanan emosional, penurunan kesejahteraan mental, bahkan memunculkan pemikiran bunuh diri. Namun, bisa juga introspeksi diri menjadi langkah positif menyambut dekade yang baru.</p> <h2>Memaknai ulang tahun</h2> <p>Kita mungkin pernah membayangkan bagaimana perayaan ulang tahun kita yang akan datang, tetapi kadang kenyataan tak seindah angan.</p> <p>Kita mungkin sudah memikirkan pesta besar, lalu menyadari bahwa kita tidak punya teman sebanyak itu. Mereka bisa jadi sudah sibuk atau mempunyai prioritas lain.</p> <p>Bisa jadi kita justru mengharapkan perayaan kecil hanya dengan pasangan atau anak, tapi justru masih hidup di rumah orang tua, tak punya pasangan, atau bahkan tak lagi memiliki keluarga.</p> <p>Berikut beberapa tip praktis yang bisa kamu coba agar merasa lebih positif jelang ulang tahun.</p> <p><strong>1. Bayangkan versi terbaik dirimu</strong></p> <p><a href="https://psycnet.apa.org/record/2018-44207-002">Saya dan kolega</a> pernah meriset sekelompok kecil perempuan berusia di atas 55 tahun yang merasa tak siap menghadapi masa pensiun. Kebanyakan mereka berpandangan bahwa masa depan penuh dengan ketidakpastian dan ketakutan. </p> <p>Untuk mengubah pemikiran mereka, kami melakukan aktivitas bernama “Diriku yang Terbaik”.</p> <p>Kami mendorong partisipan untuk membayangkan ulang tahun mereka di masa depan, memfokuskan pandangan ke hal-hal yang dapat berjalan dengan baik, dan menyusun rencana untuk mencapai visi mereka.</p> <p>Setelah tiga bulan, optimisme partisipan meningkat signifikan—bahkan termasuk individu yang berpandangan sangat negatif terhadap masa depan mereka. Aktivitas yang dilakukan mengingatkan mereka bahwa masa depan masih bisa memunculkan kebahagiaan. </p> <p>Kita juga bisa mulai berlatih menulis tentang versi terbaik diri kita. Cukup 20 menit per hari selama beberapa hari, terutama menjelang hari ulang tahun. Tindakan ini dapat membantu kita menata kembali masa depan dan menumbuhkan harapan, meski mungkin kondisi kita sedang kurang baik.</p> <figure class="align-center "> <img alt="Seorang laki-laki dikelilingi dekorasi ulang tahun terlihat sedih di hadapan sebuah kue" src="https://images.theconversation.com/files/671321/original/file-20250530-68-1wwrjx.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=45&amp;auto=format&amp;w=754&amp;fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/671321/original/file-20250530-68-1wwrjx.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=45&amp;auto=format&amp;w=600&amp;h=400&amp;fit=crop&amp;dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/671321/original/file-20250530-68-1wwrjx.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=30&amp;auto=format&amp;w=600&amp;h=400&amp;fit=crop&amp;dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/671321/original/file-20250530-68-1wwrjx.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=15&amp;auto=format&amp;w=600&amp;h=400&amp;fit=crop&amp;dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/671321/original/file-20250530-68-1wwrjx.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=45&amp;auto=format&amp;w=754&amp;h=503&amp;fit=crop&amp;dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/671321/original/file-20250530-68-1wwrjx.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=30&amp;auto=format&amp;w=754&amp;h=503&amp;fit=crop&amp;dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/671321/original/file-20250530-68-1wwrjx.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=15&amp;auto=format&amp;w=754&amp;h=503&amp;fit=crop&amp;dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"> <figcaption> <span class="caption">Perayaan ulang tahunku, aku bebas melakukan apa pun, termasuk menangis.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/sad-young-man-celebrating-his-birthday-2451555777">India Picture/Shutterstock</a></span> </figcaption> </figure> <p><strong>2. Pilih lokasi atau aktivitas ulang tahun yang berbeda</strong> </p> <p>Perayaan ulang tahun tak melulu harus besar-besaran. Cobalah rencanakan aktivitas atau kunjungi tempat yang benar-benar kita sukai, membuat kita nyaman, dan merasa bahagia. Bisa sesederhana jalan ke taman, menonton pertunjukan teater, atau seharian bersantai di rumah.</p> <p>Upayakan untuk tidak terjebak dalam rutinitas. Fokuslah meningkatkan kualitas emosional dari aktivitas yang kita lakukan. Misalnya, pilih tempat yang punya makna atau memori spesial bagi kita. Bisa juga dengan melakukan aktivitas di rumah yang bisa membuat kita semangat, entah itu memasak makanan kesukaan, membuat karya seni, atau menonton film yang kita suka.</p> <p><strong>3. Latihan memiliki kesadaran penuh</strong> </p> <p>Perhatikan suara, aroma, dan sensasi lain yang muncul di sekitar kita sepanjang hari. Perhatikan perasaan yang muncul dari setiap sensasi, apakah itu perasaan bahagia, nostalgia, atau penuh harap.</p> <p>Pikirkan bagaimana pikiran kita berjalan setelah mengalami sensasi tertentu. Misalnya sensasi tertentu membuat kita jadi memikirkan hal-hal yang bisa kita syukuri, hal-hal yang kita capai tahun lalu, seberapa banyak tantangan yang kita lalui d masa lalu, sampai pandangan penuh harapan untuk masa depan.</p> <p><strong>4. Ekspresikan dan tumbuhkan pengalaman positif saat ulang tahun</strong> </p> <p>Kita dapat mencari cara bermakna untuk mengekspresikan dan mengabadikan momen ulang tahun. Hal ini bisa dilakukan dengan menulis buku harian, menghubungi seseorang dan bercerita tentang hidup kita, atau membuat sesuatu: <em>playlist</em>, kumpulan foto, atau gambar untuk menangkap momen.</p> <p>Ketakutan dengan bertambahnya usia terkait dengan <a href="https://theconversation.com/fear-of-ageing-is-really-a-fear-of-the-unknown-and-modern-society-is-making-things-worse-220925">ketakutan akan hal-hal yang belum pasti</a>. Kita dapat menghadapi ketakutan ini dengan menumbuhkan harapan—menyadari apa saja yang berjalan baik dalam hidup kita dan mempercayai bahwa akan ada hari-hari baik yang akan datang.</p> <p>Tekanan yang kita rasakan jelang ulang tahun bisa jadi datang dari ucapan “<em>happy birthday</em>” yang seakan menuntut kita harus jadi bahagia. Maka dari itu, ada baiknya kita lebih berempati dan mengganti “<em>happy birthday</em>” menjadi “<em>hopeful birthday</em>” sebagai pengingat akan masa depan yang penuh harapan.</p> <p>Pemikiran akan ulang tahun yang lebih penuh harapan ini membuat kita sadar bahwa pertambahan usia memang sebuah proses yang kompleks. Kita berhak merayakan sekaligus merasa sedih di hari ulang tahun. Di tengah dunia yang selalu menuntut kita terus bahagia, selalu tersenyum, dan menyembunyikan rasa tak nyaman—kita berhak memberikan jeda pada diri sendiri.</p> <hr> <p><em>Kezia Kevina Harmoko berkontribusi dalam penerjemahan artikel ini.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/259156/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" /> <p class="fine-print"><em><span>Jolanta Burke tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p> Hari ulang tahun sering kali mendorong kita untuk merenung. Berikut tip untuk merasa lebih positif jelang ulang tahun. Jolanta Burke, Associate Professor, Centre for Positive Health Sciences, RCSI University of Medicine and Health Sciences Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives. tag:theconversation.com,2011:article/258826 2025-06-24T08:36:40Z 2025-06-24T08:36:40Z Pertemanan itu penting: Bagaimana kalau kita enggak punya teman sama sekali? <p><em>Semua nama partisipan dalam artikel ini merupakan nama samaran.</em></p> <p>Bagaimana jadinya jika kita tidak mempunyai banyak teman atau tidak memiliki teman sama sekali—meski hubungan sosial adalah kunci hidup berarti? Ini menjadi pertanyaan utama dalam <a href="https://doi.org/10.1111/cars.12484">penelitian terbaru kami</a> tentang pertemanan modern di kota Kanada Atlantik.</p> <p>Pertemanan menjadi topik yang sedang disorot banyak pihak: mulai dari <a href="https://us.macmillan.com/books/9781250333025/theothersignificantothers/">jurnalis</a> sampai <a href="https://www.harpercollins.com/products/together-vivek-h-murthy">ahli fisika</a>. Beragam ahli menganggap bahwa memiliki koneksi sosial berupa hubungan pertemanan merupakan hal penting dalam menjalani hidup dan melawan “<a href="https://theconversation.com/curing-americas-loneliness-epidemic-would-make-us-healthier-fitter-and-less-likely-to-abuse-drugs-206059">epidemi kesepian</a>.”</p> <p>Sayangnya, tak semua orang cukup beruntung untuk memiliki pertemanan yang memuaskan. Andrew, mahasiswa berusia 20-an tahun yang terlibat dalam penelitian kami, mengklaim bahwa ia tak memiliki teman. Ia bercerita:</p> <blockquote> <p>“Aku sering merasa sedih dan kesepian. Namun, satu sisi aku juga merasakan perasaan damai karena aku cukup <em>introverted</em>. Aku memang ingin memiliki waktu sendirian. Aku agak kesulitan dalam mengalami masa-masa menikmati punya teman dan capek banget menghadapi teman. Dua hal itu selalu bertentangan.”</p> </blockquote> <p>Pengalaman Andrew mewakili permasalahan mendalam yang dialami banyak orang tentang pertemanan di masa modern. Hubungan pertemanan memang diperlukan. Namun, budaya barat juga <a href="https://www.penguinrandomhouse.ca/books/22821/quiet-by-susan-cain/9780307352156">mengapresiasi kesendirian</a> dan menghargai perilaku <em>introvert</em>.</p> <p>Pandangan terkait kesendirian ini memang memberikan justifikasi terhadap keinginan kita akan ketenangan. Namun, tetap saja pandangan tersebut tak membuat seseorang langsung baik-baik saja hidup tanpa teman. Pandangan yang bertentangan ini bisa jadi justru membuat kita bingung akan bagaimana harus mengatur pertemanan.</p> <h2>Menjadi orang dewasa tanpa teman</h2> <p>Melalui riset, kami mewawancarai 21 laki-laki dan perempuan untuk memahami pengalaman mereka menjalani hidup tanpa teman. Lebih dari setengah partisipan sedang dalam fase krisis “<em>quarter life</em>” alias berada pada usia 20-30an. Mereka merupakan profesional muda, pelajar, sampai pekerja upah minimum.</p> <p>Beberapa partisipan memiliki hubungan keluarga, pekerjaan, atau pasangan yang sangat baik. Beberapa lainnya benar-benar terisolasi secara sosial. Namun, semua partisipan memandang bahwa kondisi tak memiliki teman merupakan sebuah masalah. Atau setidaknya, kondisi itu mereka perlu pikirkan maupun klarifikasi pada orang lain.</p> <figure class="align-center "> <img alt="Seorang perempuan membongkar tas dan seorang pria menjaga anak perempuan sambil berlutut di taman" src="https://images.theconversation.com/files/668022/original/file-20250514-56-qlknmv.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=45&amp;auto=format&amp;w=754&amp;fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/668022/original/file-20250514-56-qlknmv.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=45&amp;auto=format&amp;w=600&amp;h=338&amp;fit=crop&amp;dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/668022/original/file-20250514-56-qlknmv.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=30&amp;auto=format&amp;w=600&amp;h=338&amp;fit=crop&amp;dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/668022/original/file-20250514-56-qlknmv.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=15&amp;auto=format&amp;w=600&amp;h=338&amp;fit=crop&amp;dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/668022/original/file-20250514-56-qlknmv.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=45&amp;auto=format&amp;w=754&amp;h=424&amp;fit=crop&amp;dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/668022/original/file-20250514-56-qlknmv.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=30&amp;auto=format&amp;w=754&amp;h=424&amp;fit=crop&amp;dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/668022/original/file-20250514-56-qlknmv.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=15&amp;auto=format&amp;w=754&amp;h=424&amp;fit=crop&amp;dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"> <figcaption> <span class="caption">Beberapa partisipan memiliki hubungan keluarga yang kuat, tetapi tak menjalin hubungan pertemanan yang memuaskan. Orang tua muda menghabiskan waktu dengan anak mereka di Vancouver pada 2018.</span> <span class="attribution"><span class="source">(Shutterstock)</span></span> </figcaption> </figure> <p>Penelitian menunjukkan bahwa orang yang <a href="https://doi.org/10.1093/geronb/63.6.S375">sendirian tidak selalu kesepian</a>. Setiap orang juga dapat memiliki <a href="https://doi.org/10.1525/si.1992.15.4.481">pandangan yang berbeda tentang kesendirian</a>.</p> <p>Kami menetapkan partisipan dengan kriteria “orang-orang yang tak memiliki teman”, bukan orang-orang yang “kesepian. Kriteria ini kami tetapkan karena tidak ingin berasumsi bahwa seseorang yang tak memiliki teman pasti kesepian. Kami justru ingin memahami bagaimana mereka menjalani hidup tanpa teman.</p> <h2>Mengapa beberapa orang sulit untuk berteman</h2> <p>Partisipan penelitian kami menceritakan berbagai tantangan yang mereka alami dalam menjalin pertemanan,, sekaligus bagaimana rasanya tak memiliki teman.</p> <p>Umumnya, mereka mengalami hambatan berteman karena kehilangan kontak dengan teman akibat perubahan sekolah, pekerjaan, atau berhenti menggunakan media sosial. Ada juga partisipan yang merasa kecewa oleh teman di masa lalu atau memprioritaskan hal lain selain pertemanan.</p> <p>Misalnya Tim, seorang pengacara berusia pertengahan 30 tahun. Ia menjelaskan ada banyak hal yang bisa menjadi "tolak ukur” hidup yang baik. Ia memaparkan bahwa ia tak memiliki teman karena memilih mengalokasikan waktu pada karier dan keluarga.</p> <p>Melissa, seorang asisten administratif di usia 20-an tahun. Ia merasa selalu berada di hubungan pertemanan yang tak berimbang karena selalu lebih banyak memberi dibanding menerima.</p> <p>Andrew menjelaskan bahwa ia tak lagi punya teman di universitasnya setelah pindah tempat tinggal. Ia tak bisa menjalin pertemanan karena pembatasan kesehatan masyarakat akibat pandemi COVID-19.</p> <p>Meski begitu, pandemi tak semerta-merta menciptakan hambatan pertemanan. Sebagian besar partisipan kami menyatakan bahwa mereka memang tidak memiliki teman sebelum pandemi sehingga karantina wilayah tidak memengaruhi apa pun.</p> <h2>Tak punya teman bukan berarti kesepian</h2> <p>Penelitian kami menemukan bahwa ada dua tema dominan dari para partisipan tentang perbedaan kondisi tak memiliki teman dengan kesepian. Mereka melaporkan perasaan kesepian yang intens dan merasa menderita tak memiliki teman, tetapi memunculkan kesempatan untuk menjadi mandiri dan bebas.</p> <p>Kami menemukan bahwa pada dasarnya, tidak ada perbedaan mencolok antara partisipan yang mengklaim diri mereka kesepian maupun tidak. Justru mereka sering kali menyampaikan cerita yang berlawanan: merasa kesepian tanpa teman atau merasa baik-baik saja sendirian atau mengandalkan diri sendiri.</p> <figure class="align-center "> <img alt="Seorang perempuan muda menggunakan ponsel sambil menikmati kopi di luar ruangan" src="https://images.theconversation.com/files/668017/original/file-20250514-56-dd8405.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=45&amp;auto=format&amp;w=754&amp;fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/668017/original/file-20250514-56-dd8405.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=45&amp;auto=format&amp;w=600&amp;h=401&amp;fit=crop&amp;dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/668017/original/file-20250514-56-dd8405.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=30&amp;auto=format&amp;w=600&amp;h=401&amp;fit=crop&amp;dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/668017/original/file-20250514-56-dd8405.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=15&amp;auto=format&amp;w=600&amp;h=401&amp;fit=crop&amp;dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/668017/original/file-20250514-56-dd8405.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=45&amp;auto=format&amp;w=754&amp;h=503&amp;fit=crop&amp;dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/668017/original/file-20250514-56-dd8405.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=30&amp;auto=format&amp;w=754&amp;h=503&amp;fit=crop&amp;dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/668017/original/file-20250514-56-dd8405.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=15&amp;auto=format&amp;w=754&amp;h=503&amp;fit=crop&amp;dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"> <figcaption> <span class="caption">Partisipan melaporkan berbagai tantangan dalam menjalani pertemanan dan pengalaman mereka tak memiliki teman.</span> <span class="attribution"><span class="source">(Shutterstock)</span></span> </figcaption> </figure> <p>Melissa misalnya, bercerita tentang rasa kesepian mendalam yang ia alami. Namun, ia juga dengan bangga menjelaskan bagaimana ia mengandalkan dirinya sendiri untuk menghadapi segala masalah karenatak punya siapa-siapa yang bisa diandalkan selain dirinya sendiri.</p> <hr> <p> <em> <strong> Baca juga: <a href="https://theconversation.com/lonely-extroverts-happy-hermits-why-being-alone-isnt-the-same-as-being-lonely-and-why-it-matters-235767">Lonely extroverts, happy hermits: why being alone isn't the same as being lonely – and why it matters</a> </strong> </em> </p> <hr> <p>Tanpa membahas level kesepian yang dirasakan partisipan, bagi partisipan yang sedang dalam fase krisis “<em>quarter life</em>”, mereka sering merasa malu atau dicap negatif karena tak memiliki teman. Beberapa partisipan bahkan berpikir bahwa ada yang salah pada diri mereka.</p> <p>Jika kamu merasakan perasaan serupa, kamu tidak sendirian. Beberapa orang cenderung menyalahkan diri atau merasa malu karena tak memiliki teman. Namun, sebagai seorang peneliti sosial, kami percaya bahwa penyebab individu tak memiliki teman atau kesepian tak serta-merta karena pilihan individu.</p> <h2>Menjalin pertemanan bukanlah sekadar tantangan personal</h2> <p>Solusi untuk menyambung hubungan sosial tidak semudah bertanya, “kenapa orang-orang ini tidak langsung berkenalan dan berteman?” </p> <p>Memang, pertemanan terlihat seperti pilihan pribadi dan dipengaruhi oleh kecocokan antarindividu. Namun, seperti hubungan sosial lainnya, pertemanan juga dapat <a href="https://theconversation.com/why-loneliness-is-both-an-individual-thing-and-a-shared-result-of-the-cities-we-create-198069">dipengaruhi dan dibatasi oleh struktur masyarakat kita yang lebih luas</a>.</p> <p>Jika epidemi kesepian terjadi, kita tidak bisa semata-mata menyalahkan individu karena memilih untuk tidak punya teman atau menyalahkan media sosial atau teknologi lainnya sebagai penghambat. </p> <p>Kita juga perlu melihat <a href="https://doi.org/10.1177/14647001211062739">kondisi struktural</a> di balik hubungan pertemanan, mulai dari <a href="https://doi.org/10.1080/02673843.2023.2223671">kurangnya infrastruktur sampai kegagalan kebijakan</a>. Kondisi struktural memerlukan solusi yang kolektif, tidak bisa diselesaikan dengan pilihan individu saja.</p> <p>Pertanyaan yang lebih mendalam adalah: apakah semua orang memiliki akses untuk menjalin pertemanan? Apakah ada cukup tempat publik gratis dan inklusif yang memungkinkan orang-orang bertemu dan menjalin pertemanan? Bagaimana pengaruh jadwal kerja yang padat dan tak bisa diprediksi membuat orang dewasa-muda <a href="https://theconversation.com/why-do-we-find-making-new-friends-so-hard-as-adults-171740">kesulitan memulai pertemanan</a>?</p> <p>Kamu mungkin menyadari beberapa tantangan menjalin pertemanan ini dalam hidupmu sendiri dan merasa kesepian. Itu barangkali bukan karena kita tidak berusaha berteman, tetapi karena memang kondisi kita tak mendukung untuk berteman.</p> <p>Jika masyarakat kita menganggap pertemanan sangat penting untuk menghalau rasa kesepian, maka kita harus melakukan lebih banyak upaya untuk menciptakan ruang dan kebijakan yang memungkinkan koneksi sosial.</p> <hr> <p><em>Kezia Kevina Harmoko berkontribusi dalam penerjemahan artikel ini.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/258826/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" /> <p class="fine-print"><em><span>Laura Eramian menerima dana dari Social Sciences and Humanities Research Council of Canada.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Peter Mallory menerima dana dari Social Sciences and Humanities Research Council of Canada.</span></em></p> Penelitian terbaru mengungkap bagaimana orang dewasa tanpa teman menjalani hidup. Laura Eramian, Associate Professor, Department of Sociology and Social Anthropology, Dalhousie University Peter Mallory, Associate Professor, Sociology, St. Francis Xavier University Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives. tag:theconversation.com,2011:article/256572 2025-06-16T04:30:12Z 2025-06-16T04:30:12Z ‘Brain rot’ mudah menimpa anak dan remaja karena konten serba cepat <blockquote> <p>● Popularitas ‘Italian brain rot’ mencerminkan pergeseran preferensi digital generasi muda.</p> <p>● Paparan konten digital secara berlebihan berdampak negatif pada fokus, regulasi emosi, kualitas tidur, dan perkembangan anak.</p> <p>● Pencegahan dampak negatif ‘brain rot’ memerlukan kerja sama keluarga dan sekolah.</p> </blockquote> <hr> <p>Sejak Januari lalu, karakter unik seperti <a href="https://www.forbes.com/sites/lesliekatz/2025/05/03/what-is-italian-brain-rot-the-surreal-tiktok-obsession-explained/">Tralalero Tralala, Bombardiro Crocodilo, Tripi Tropi dan meme “aneh” lainnya bermunculan di TikTok</a> dan <em>game</em> <a href="https://www.roblox.com/games/99791605069929/Be-a-Italian-Brainrot">Roblox</a>. Salah satu yang mencuri perhatian adalah <a href="https://economictimes.indiatimes.com/news/international/us/tung-tung-tung-sahur-meme-explained-know-the-origin-story-behind-ramadans-viral-wake-up-call/articleshow/120493740.cms?from=mdr">Tung Tung Sahur</a>—karakter berbentuk batang kayu silinder yang membangunkan orang saat waktu sahur.</p> <p>Karakter-karakter tersebut disebut sebagai <em>Italian brain rot</em>, <a href="https://www.thetablereadmagazine.co.uk/what-is-italian-brainrot-a-guide-for-parents/">meme internet bergaya surealis yang menampilkan makhluk-makhluk aneh dengan nama-nama pseudo-Italia.</a> Meme ini umumnya berbentuk perpaduan antara hewan, benda sehari-hari, makanan atau senjata, disertai dengan narasi suara sintetis beraksen “Italia” yang menyampaikan cerita absurd, seringkali berima.</p> <p>Ciri khas visualnya aneh tapi lucu, memanfaatkan efek <a href="https://spectrum.ieee.org/what-is-the-uncanny-valley"><em>uncanny valley</em></a>—ketika sesuatu yang ganjil terlihat hampir nyata sehingga terasa mengganggu (atau justru menghibur). Sampai saat ini, karakter anomali <em>brain rot</em> terus bertambah dan menjadi tren di kalangan remaja dan anak-anak.</p> <p>Namun, di balik kelucuannya, tren ini membuat resah. Sebab, paparan konten media sosial yang berlebihan bisa membuat <a href="https://journal.tofedu.or.id/index.php/journal/article/view/408">anak-anak dan remaja mengalami kelebihan stimulasi digital</a>. Overstimulasi dapat berujung pada ‘brain rot'—kondisi saat seseorang mengalami <a href="https://corp.oup.com/news/brain-rot-named-oxford-word-of-the-year-2024/">kemunduran mental atau intelektual akibat konsumsi materi remeh atau tidak menantang secara terus-menerus</a>.</p> <h2>Preferensi yang berubah</h2> <p>Dominasi <em>Italian brain rot</em> di media sosial menunjukkan pergeseran minat konsumsi konten digital. Humor absurd amat digemari meski menampilkan karakter aneh dan narasi suara yang tidak masuk akal. Sebagian kaum muda menyebut kegemaran ini sebagai perayaan absurditas.</p> <p>Konten <em>italian brain rot</em> merupakan bentuk <a href="https://www.forbes.com/sites/lesliekatz/2025/05/03/what-is-italian-brain-rot-the-surreal-tiktok-obsession-explained/">pelarian bagi pengguna media sosial</a>, terutama anak muda, yang kewalahan oleh berita yang penuh tekanan, pasar kerja yang membuat frustasi. Mereka juga menghindari ketakutan-ketakutan baru seperti deportasi, wabah penyakit campak, serta bencana akibat pemanasan global.</p> <p>Dalam aspek ketertarikan dan konsumsi konten digital, generasi muda saat ini tidak ingin berusaha keras untuk mendapatkan hiburan sehingga mereka lebih menyukai <a href="https://humancg.com/brands-exploit-italian-brainrot/#About_the_author">konten spontan, surealis, dan gampang dicerna</a>. </p> <h2>Bahaya overstimulasi digital</h2> <p>Sejak permulaan kehidupan hingga awal masa dewasa, otak berada dalam fase plastisitas tinggi alias cepat sekali berkembang. Ini adalah masa penting untuk menciptakan miliaran koneksi baru untuk mendukung <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/10884961/">perkembangan pendengaran, bahasa, dan keterampilan eksekutif</a>. Dalam fase ini, otak akan sangat rentan terhadap <a href="https://www.frontiersin.org/journals/psychology/articles/10.3389/fpsyg.2021.611155/full">rangsangan eksternal</a>.</p> <p>Overstimulasi melalui konsumsi media digital yang cepat dan intens, seperti <em>video game</em> atau media sosial, bisa membuat otak jadi “kelebihan rangsangan”. Hal ini bisa menganggu hubungan antara dua bagian otak, yaitu <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/35430923/">korteks prefrontal dan striatum</a>: masing-masing mengatur fungsi kognitif dan perilaku.</p> <p>Stimulasi makin berlebihan jika seseorang sedang <a href="https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC11543232/"><em>multitasking</em> digital</a>, yaitu ketika individu menjalankan lebih dari satu aplikasi secara bersamaan atau berpindah-pindah tab <em>browser</em>. Ini terbukti mempengaruhi <a href="https://www.researchgate.net/publication/315599130_Dealing_with_media_distractions_an_observational_study_of_computer-based_multitasking_among_children_and_adults_in_the_Netherlands">kemampuan perhatian anak pada berbagai dimensi, termasuk atensi dan fokus</a>.</p> <p>Selain itu <em>screen time</em> yang berlebihan terutama di malam hari, mengganggu pola tidur anak sehingga berdampak negatif pada <a href="https://www.researchgate.net/profile/Mashael-Khayyat-2/publication/358137811_Related_Increased_Negative_Impact_of_the_Unmonitored_Use_of_Digital_Technology_on/links/61f22caf9a753545e2fca68d/Related-Increased-Negative-Impact-of-the-Unmonitored-Use-of-Digital-Technology-on.pdf">daya ingat</a> dan <a href="https://www.granthaalayahpublication.org/Arts-Journal/ShodhKosh/article/view/2626">regulasi emosi </a>.</p> <hr> <figure class="align-left zoomable"> <a href="https://images.theconversation.com/files/658492/original/file-20250330-56-aek5xd.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=45&amp;auto=format&amp;w=1000&amp;fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/658492/original/file-20250330-56-aek5xd.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=45&amp;auto=format&amp;w=237&amp;fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/658492/original/file-20250330-56-aek5xd.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=45&amp;auto=format&amp;w=600&amp;h=750&amp;fit=crop&amp;dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/658492/original/file-20250330-56-aek5xd.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=30&amp;auto=format&amp;w=600&amp;h=750&amp;fit=crop&amp;dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/658492/original/file-20250330-56-aek5xd.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=15&amp;auto=format&amp;w=600&amp;h=750&amp;fit=crop&amp;dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/658492/original/file-20250330-56-aek5xd.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=45&amp;auto=format&amp;w=754&amp;h=943&amp;fit=crop&amp;dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/658492/original/file-20250330-56-aek5xd.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=30&amp;auto=format&amp;w=754&amp;h=943&amp;fit=crop&amp;dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/658492/original/file-20250330-56-aek5xd.jpg?ixlib=rb-4.1.0&amp;q=15&amp;auto=format&amp;w=754&amp;h=943&amp;fit=crop&amp;dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a> <figcaption> <span class="caption"></span> </figcaption> </figure> <p><em>Gaji tak kunjung naik. Promosi mesti pindah perusahaan. Skripsi belum juga ACC. Diet ketat, berat badan tak turun juga. Lingkungan kerja toxic, bosnya narsistik. Gaji bulan ini mesti dibagi untuk orang tua dan anak. Mau sustainable living, ongkosnya mahal. Notifikasi kantor berdenting hingga tengah malam. Generasi Zilenials hidup di tengah disrupsi teknologi, persaingan ketat, dan kerusakan lingkungan.</em> </p> <p><em>Simak 'Lika Liku Zilenial’ mengupas tuntas permasalahanmu berdasar riset dan saran pakar.</em></p> <hr> <h2>Dampak akademis dan sosial</h2> <p>Konten digital dengan stimulasi tinggi seperti <em>Italian brain rot</em> ini juga dapat menyebabkan <em>attention hijacking</em>. Maksudnya, konten model tersebut dapat membajak fokus seseorang secara tidak sengaja ke hal lain yang mungkin tidak relevan. Ini dapat memengaruhi sistem dopamin anak sehingga <a href="https://www.frontiersin.org/journals/psychology/articles/10.3389/fpsyg.2021.611155/full">mereka terbiasa dengan hiburan instan, sehingga aktivitas seperti membaca atau menyimak pelajaran di kelas terasa membosankan</a>.</p> <p>Selain itu, kecanduan konten digital juga mengganggu proses belajar yang memengaruhi <a href="https://escholarship.org/uc/item/1537045t"><em>executive functions skills</em></a>, <a href="https://journals.plos.org/plosone/article?id=10.1371/journal.pone.0259163">menurunnya kemampuan mempertahankan fokus, dan kualitas belajar di lingkungan sekolah</a>. Stimulasi cepat dari konten <em>brain rot</em> pada <em>video game</em> dan media sosial dapat melemahkan <a href="https://www.researchgate.net/publication/315599130_Dealing_with_media_distractions_an_observational_study_of_computer-based_multitasking_among_children_and_adults_in_the_Netherlands">kemampuan anak-anak untuk menahan godaan distraksi fisik dan mental</a>.</p> <p>Ini juga dapat berpengaruh pada menurunnya minat beraktivitas fisik atau kegiatan restoratif seperti bermain di luar ruangan pada anak-anak. Akibatnya, anak-anak <a href="https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC11592547/">kesulitan mengelola emosi dan keterampilan sosial mereka menurun</a>. Ketiadaan papaparan ke lingkungan alami juga dapat <a href="https://escholarship.org/uc/item/1537045t">memperburuk gangguan perhatian yang sudah terjadi akibat overstimulasi </a>. </p> <h2>Ekosistem digital ramah anak</h2> <p>Dalam aspek pendampingan, kecepatan konten-konten <em>brain rot</em>—yang jumlahnya terus bertambah—menimbulkan keresahan. Bagaimana “mengimbangi” cara berpikir dan berperilaku anak yang sudah terformat algoritma?“. </p> <p>Keluarga perlu mencegah dampak negatif konten <em>brain rot</em> dengan mendampingi anak-anak melalui literasi digital dan diskusi kritis. Hal ini penting karena sering kali <a href="https://www.granthaalayahpublication.org/Arts-Journal/ShodhKosh/article/view/2626">orang tua memberikan <em>gadget</em> sebagai alat hiburan atau "pengasuh” sementara, tanpa pemantauan konten dan durasi penggunaan yang memadai</a>.</p> <p>Orang tua juga perlu membatasi akses media sosial oleh anak. Studi di Arab Saudi pada 2022 menunjukkan bahwa keluarga yang menetapkan <a href="https://www.researchgate.net/profile/Mashael-Khayyat-2/publication/358137811_Related_Increased_Negative_Impact_of_the_Unmonitored_Use_of_Digital_Technology_on/links/61f22caf9a753545e2fca68d/Related-Increased-Negative-Impact-of-the-Unmonitored-Use-of-Digital-Technology-on.pdf">batas <em>screen time</em> dan memanfaatkan teknologi secara terarah dapat mengurangi gangguan perhatian pada anak</a>.</p> <p>Orang tua bisa menyediakan aktivitas pengganti lain yang lebih kreatif, seperti aktivitas olahraga, seni, dan aktivitas lain yang dapat mengoptimalkan minat anak. </p> <p>Lingkungan sekolah juga perlu menyediakan ruang pemulihan anak yang kecanduan <em>gadget</em> melalui <a href="https://www.mdpi.com/1660-4601/17/13/4780"><em>pelatihan</em></a> dan juga pendekatan berbasis teknologi seperti <a href="https://www.mdpi.com/2079-8954/10/4/104"><em>virtual reality</em></a> untuk membantu meningkatkan kemampuan fokus anak.</p> <p>Rumah dan sekolah semestinya bekerja sama untuk menciptakan budaya digital yang berimbang dan bermakna. Pada akhirnya, sinergi antara sekolah dan rumah dapat <a href="https://www.researchgate.net/publication/233237784_Contributions_of_Attentional_Control_to_Socioemotional_and_Academic_Development">mempercepat peningkatan keterampilan perhatian dan mendukung perkembangan akademis anak</a> sehingga mengurangi dampak <em>brain rot</em>.</p> <hr> <iframe src="https://tally.so/embed/nPWWJ5?alignLeft=1&amp;hideTitle=1&amp;transparentBackground=1&amp;dynamicHeight=1" width="100%" height="321" frameborder="0" marginheight="0" marginwidth="0" title="Survey Form"> </iframe><img src="https://counter.theconversation.com/content/256572/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" /> <p class="fine-print"><em><span>Siti Aminah merupakan mahasiswa Program Doktor Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Malang dan penerima Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI) Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi.</span></em></p> Brain rot mudah menimpa anak-anak dan remaja karena overstimulasi digital akibat paparan konten media sosial berlebihan. Siti Aminah, Lecturer at Department of Educational Psychology and Guidance, Faculty of Education and Psychology, Universitas Negeri Yogyakarta Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives. tag:theconversation.com,2011:article/258693 2025-06-13T09:12:56Z 2025-06-13T09:12:56Z Gap generasi: Bagaimana cara agar Zilenial dan orang tua sepaham dalam investasi digital? <blockquote> <p>● Zilenial memiliki kecenderungan investasi produk keuangan dan aset digital.</p> <p>● Kemudahan berinvestasi melalui platform digital jadi salah satu pemupuk minat kaum muda.</p> <p>● Namun, minat besar ini terhalang ketidakpahaman orangtua.</p> </blockquote> <hr> <p>Generasi Milenial dan Z (Zilenial) bahkan Alfa hidup di era aset kripto, <em>blockchain</em>, dan <em>non-fugible token</em> (<a href="https://www.ocbc.id/id/article/2023/09/25/nft-adalah">NFT</a>) berkembang pesat hingga jadi salah satu rujukan <a href="https://repository.pnb.ac.id/id/eprint/7982/2/RAMA_93308_2215764020_12086106_5038005_part.pdf">instrumen utama investasi</a> mereka. </p> <p>Namun di sisi lain, instrumen-intrumen investasi baru ini tidak bersahabat dengan para generasi pendahulu. Bahkan tidak sedikit di antaranya yang skeptis.</p> <p>Di sinilah muncul paradoks zaman: anak-anak yang tumbuh di era digital memiliki pemahaman finansial yang berbeda. Dalam beberapa hal, mereka lebih maju dibandingkan generasi pendahulunya. </p> <p>Namun, apakah pemahaman ini benar-benar mencerminkan literasi finansial yang sehat? Ataukah ini justru menandai jurang baru dalam pendidikan keuangan lintas generasi?</p> <p>Perbedaan ini dapat memicu gesekan komunikasi dan ketidaksepahaman. Orang tua cenderung memandang kripto sebagai <a href="https://ojs.uid.ac.id/index.php/jrh/article/view/478/183">aset penuh risiko dan berunsur perjudian</a>. Sementara anak-anak menganggap orang tuanya terlalu konservatif dan kurang adaptif terhadap teknologi baru.</p> <h2>Gap finansial antargenerasi</h2> <p>Fenomena ini juga memperlihatkan adanya <a href="https://www.michigancfo.com/2025/04/generational-gap-in-financial-literacy/"><em>financial generation gap</em></a>. Sayangnya, belum banyak ruang yang mempertemukan lintas generasi untuk saling memahami dan menyamakan perspektif mereka terhadap aktivitas investasi/menabung.</p> <p><a href="https://ojk.go.id/id/kanal/edukasi-dan-perlindungan-konsumen/Pages/literasi-keuangan.aspx#:%7E:text=Literasi%20Keuangan%20adalah%20pengetahuan%2C%20keterampilan,untuk%20mencapai%20kesejahteraan%20keuangan%20masyarakat.">Literasi keuangan</a> tidak sekadar pemahaman cara menghitung bunga atau menyusun anggaran rumah tangga. </p> <p>Makna literasi keuangan meluas hingga mencakup pemahaman produk-produk keuangan digital, risiko sistemis, regulasi yang berlaku. Literasi juga termasuk kemampuan memilah informasi yang valid di tengah banjir konten TikTok dan YouTube yang menjanjikan kekayaan instan. </p> <p>Selama beberapa dekade, <a href="https://ojk.go.id/id/kanal/edukasi-dan-perlindungan-konsumen/Pages/literasi-keuangan.aspx#:%7E:text=Literasi%20Keuangan%20adalah%20pengetahuan%2C%20keterampilan,untuk%20mencapai%20kesejahteraan%20keuangan%20masyarakat.">literasi keuangan</a> di keluarga-keluarga Indonesia terkait dengan praktik sederhana seperti menabung di celengan, hingga mengenal perbedaan antara kebutuhan dan keinginan, serta menjauhi utang konsumtif.</p> <p>Kini, aset seperti kripto, <a href="https://repository.its.ac.id/111169/">saham fraksional</a>, dan platform <a href="https://mtrading.com/id/education/articles/forex-basics/apa-itu-defi-dan-bagaimana-cara-kerjanya">DeFi</a> (<em>decentralized finance</em>) telah mengubah wajah sistem keuangan dan cara para zilenial menginvestasikannya.</p> <p>Menurut data <a href="https://bappebti.go.id/Bulletin_perdagangan_berjangka/download/bulletin_perdagangan_berjangka_1970_01_01_su236b6v_id.pdf">Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi</a> (Bappebti) Kementerian Perdagangan, lebih dari 60% pengguna aset kripto di Indonesia berada dalam rentang usia 18 hingga 30 tahun (September 2024). Selain itu, Bappebti mencatat total volume transaksi <a href="https://bappebti.go.id/Bulletin_perdagangan_berjangka/download/bulletin_perdagangan_berjangka_1970_01_01_su236b6v_id.pdf">aset kripto</a> pada bulan tersebut mencapai Rp33,7 triliun, meningkat sebesar 323,26% dibandingkan dengan nilai transaksi pada September 2023 yang tercatat sebesar Rp7,96 triliun. </p> <p><a href="https://bappebti.go.id/Bulletin_perdagangan_berjangka/download/bulletin_perdagangan_berjangka_1970_01_01_su236b6v_id.pdf">Realisasi</a> di atas menunjukkan bahwa aset digital telah menjadi pintu masuk finansial pertama bagi banyak anak muda, bukan lagi tabungan di bank konvensional. Perubahan ini bukan sekadar pergeseran alat, tetapi paradigma. </p> <p>Anak muda kini diajak berpikir atau sekadar berminat secara alamiah tentang spekulasi, volatilitas (tingkat perubahan harga aset keuangan), risiko tinggi, dan desentralisasi sejak dini. Mereka tidak sekadar menabung; mereka “bermain” dengan fluktuasi pasar global.</p> <p>Dengan kata lain, kita membutuhkan <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1111/joca.12510"><em>critical digital financial literacy</em></a>—kemampuan untuk menavigasi ekosistem finansial digital dengan pengetahuan, etika, dan kebijaksanaan. Namun, pemahaman ini tidak bisa hadir secara instan. </p> <p>Untuk mencapai literasi ini, kita memerlukan pendekatan edukasi lintas generasi yang memungkinkan orang tua dan anak bisa saling belajar. Pandangan orang tua berangkat dari kebijaksanaan finansial karena pengalaman hidup mereka, sedangkan anak terkait akses cepat ke informasi serta inovasi.</p> <h2>Perlunya inisiatif untuk saling adaptif</h2> <p>Supaya Gen Z lebih semangat berinvestasi, orang tua tidak cukup hanya membatasi atau melarang anak menggunakan aplikasi kripto atau investasi daring. Sebaliknya, orang tua perlu terlibat untuk memahami teknologi dan risiko yang menyertainya.</p> <p>Misalnya, alih-alih melarang anak membeli aset kripto, orang tua bisa mengajak diskusi soal dasar nilai uang, pentingnya diversifikasi, dan manajemen risiko. Bahkan, ini bisa menjadi momen belajar bersama—orang tua ikut mengeksplorasi bagaimana dompet digital bekerja, apa perbedaan antara koin dan token, atau bagaimana <a href="https://www.ojk.go.id/id/regulasi/Documents/Pages/POJK-27-2024-AKD-AK/POJK%2027%20Tahun%202024%20Penyelenggaraan%20Perdagangan%20Aset%20Keuangan%20Digital%20Termasuk%20Aset%20Kripto%20AKD%20AK.pdf">regulasi OJK</a> memayungi aset kripto di Indonesia.</p> <p>Sayangnya, <a href="https://kurikulum.kemdikbud.go.id/file/1729244746_manage_file.pdf">kurikulum formal</a> di sekolah-sekolah Indonesia belum optimal menyentuh isu literasi finansial digital. Pendidikan ekonomi sering kali masih berkutat pada teori dasar permintaan-penawaran, tanpa menjangkau realitas anak muda yang hari ini lebih mengenal <a href="https://www.binance.com/en">Binance (bursa mata uang kripto)</a> ketimbang bursa efek lokal.</p> <p>Penting bagi lembaga pendidikan untuk segera merespons ini dengan menyesuaikan kurikulum. Misalnya, dengan memasukkan modul tentang aset digital, praktik keamanan siber dalam transaksi keuangan, dan etika dalam investasi. Pendidikan finansial tidak boleh lagi dipisahkan dari konteks digital yang melingkupi kehidupan generasi muda.</p> <p>Tumbuh sebagai <a href="https://www.kompas.com/skola/read/2023/06/28/200000969/apa-yang-dimaksud-generasi-digital-native-ini-penjelasannya--?page=all"><em>digital native</em></a> bukan jaminan bahwa seseorang otomatis <a href="https://theconversation.com/are-you-financially-literate-here-are-7-signs-youre-on-the-right-track-202331">melek finansial</a>. Akses terhadap teknologi dan informasi harus diimbangi dengan kebijaksanaan finansial yang dibentuk dari nilai-nilai, pengalaman, dan pembelajaran berkelanjutan.</p> <p>Maka, tantangan kita hari ini adalah memastikan bahwa literasi keuangan tidak tertinggal oleh percepatan teknologi. </p> <p>Ini bukan hanya tugas guru atau regulator, tetapi juga orang tua. Keluarga menjadi ruang paling awal dan paling penting dalam membentuk kecakapan finansial yang luwes sekaligus bertanggung jawab.</p> <p>Daripada saling menyalahkan, mengapa tidak saling belajar? </p> <p>Alih-alih mengatakan “anak zaman sekarang terlalu nekat,” atau “orang tua ketinggalan zaman,” mari kita bangun dialog yang membumi. Perubahan memang tak bisa dihindari, tapi literasi bisa kita bentuk—dan perkuat bila kita melakukannya bersama-sama. Semua pihak, baik tua maupun muda, akan terus berada dalam fase belajar menghadapi dunia keuangan digital yang baru. </p> <hr> <iframe src="https://tally.so/embed/m65rRk?alignLeft=1&amp;hideTitle=1&amp;transparentBackground=1&amp;dynamicHeight=1" width="100%" height="321" frameborder="0" marginheight="0" marginwidth="0" title="Survey Form"> </iframe><img src="https://counter.theconversation.com/content/258693/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" /> <p class="fine-print"><em><span>Rusydi Umar tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p> Belum banyak ruang yang mempertemukan dua perspektif untuk saling memahami dan menyamakan perspektifnya terhadap aktivitas investasi/menabung lintas generasi. Rusydi Umar, ST., M.T., Ph.D sebagai dosen, Universitas Ahmad Dahlan Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.